Truk Obesitas Masalah Menahun, Apa Solusinya?

Truk dengan muatan berlebih atau truk obesitas telah menjadi masalah menahun yang tak kunjung usai.

oleh Arief Rahman H diperbarui 24 Feb 2022, 20:00 WIB
Diterbitkan 24 Feb 2022, 20:00 WIB
Kemenhub Optimis Target Indonesia Bebas ODOL 2022 Tercapai
Truk melintas di ruas Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Truk dengan muatan berlebih atau truk obesitas telah menjadi masalah menahun yang tak kunjung usai. Praktik overloading ini disinyalir menyebabkan kerusakan jalan yang menghabiskan dana perbaikan hingga Rp 43 triliun.

Ketua Umum Perkumpulan Keamanan dan Keselamatan Indonesia (Kamselindo) Kyatmaja Lookman menilai ada dua cara untuk menyelesaikan masalah truk overloading ini. Pertama, dengan mengurangi jumlah muatan sampai batas yang ditentukan. Dan kedua, meningkatkan daya angkut kendaraan.

“Fokus kami lebih kepada pendekatan kedua, yaitu meningkatkan daya angkut kendaraan. daya angkut kendaraan dihitung berdasarkan jumlah berat yang diizinkan (JBI) dan/atau Jumlah berat kombinasi yang diijinkan (JBKI) dikurangi dengan berat kendaraan,” kata dia dalam keterangannya, Kamis (24/2/2022).

Ia menyebut praktik di lapangan, JBI pada buku uji kendaraan ini bisa berbeda-beda tergantung kelas jalan yang ada di daerahnya. Perusahaan yang beralamat pada kabupaten/kota di jalan kelas I akan akan lebih memiliki keuntungan daripada perusahaan yang beralamat pada kelas jalan yang lebih rendah (Kelas Jalan II atau III).

“Buku uji kendaraan akan mencantumkan daya angkut yang lebih rendah untuk perusahaan yang beralamat pada kelas jalan yang lebih rendah tersebut. Jelas ini kurang adil dan merugikan,” katanya.

“Kami berharap JBI pada buku uji bisa dibuat seragam di seluruh kabupaten/kota di Indonesia sesuai dengan daya angkut berdasarkan jumlah berat bruto (JBB) yang diterbitkan oleh APM dan telah disetujui oleh Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perindustrian sebelum dijual ke pasar,” terangnya.

Sementara itu, Kyatmaja menyampaikan keseragaman JBI ini dibutuhkan untuk mendapatkan kepastian hukum, agar semua kendaraan sejenis memiliki kapasitas angkut yang sama. Pada Peraturan Pemerintah 55 tentang Kendaraan Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), JBI ini dapat disamakan dengan Jumlah berat bruto (JBB) dan jumlah berat kombinasi bruto (JBKB).

“Penggunaan JBB dan JBKB untuk menentukan kapasitas angkut digunakan oleh negara tetangga kita Thailand. Penyesuaian kendaraan sesuai dengan JBB dan JBKB kami pandang tidak akan secara signifikan merusak jalan, menimbang tingginya angka OVERLOADING yang sudah terjadi pada saat ini,” katanya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simulasi Perhitungan

Truk kelebihan muatan atau Overdimension and Overload (odol) melintas di jalan tol. (Istimewa)
Truk kelebihan muatan atau Overdimension and Overload (odol) melintas di jalan tol. (Istimewa)

Lebih lanjut, Kyatmaja menyampaikan perhitungan meningkatkan JBI ke JBB, menggunakan simulasi perhitungan kendaraan 1.2.2. Misalnya, JBI 24000 (Kelas 1) menjadi 26500 = peningkatan kapasitas angkut 10 persen.

Peningkatan 10 persen ini, kata dia akan membuat kendaraan jenis 1.2.2 dengan beban total 26500 kebawah tidak masuk kategori overloading.

“Selain itu dengan acuan JBB maka kita memiliki daya angkut yang sama dengan Thailand. Daya angkut yang sama ini juga akan meningkatkan daya saing pengangkutan barang menjadi setara dengan negara tetangga kita Thailand,” katanya.

Secara alternatif, pada Peraturan Pemerintah 55 tentang Kendaraan Pasal 57 ayat (1) butir e., JBI kendaraan ditentukan berdasarkan kelas jalan. Hal ini menyebabkan ketidak-seragaman buku uji kendaraan. Namun, ia menemukan fakta di lapangan untuk kendaraan jenis, tahun pembuatan, dan karoseri yang sama bisa memiliki daya angkut yang berbeda. Tentunya hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum untuk kapasitas angkut kendaraan tersebut.

“Oleh karena itu kami harap JBI bisa ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan berdasarkan jalan Kelas I (satu) untuk digunakan sebagai acuan dalam buku uji. Penggunaan kelas jalan yang berbeda dalam buku uji menyebabkan ketidakpastian hukum,” tuturnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya