Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan, kemungkinan akan terjadi revisi ke bawah terkait pertumbuhan ekonomi global di 2022. Hal itu dibayangi oleh risiko geopolitik, tingginya harga komoditas, dan normalisasi moneter The Fed dan Bank Sentral lainnya.
Perry menjelaskan, pada 2021 ekonomi global tumbuh tinggi di angka 5,7 persen. Pertumbuhan tersebut bertumpu pada dua negara besar yaitu Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Namun, di 2022 ketidakseimbangan dari pola perekonomian global diperkirakan masih terjadi dikarenakan beberapa faktor, yaitu distribusi vaksin Covid-19 yang tidak merata, dan juga kemampuan untuk membuat stimulus kebijakan.
Advertisement
“Masalahnya memang pada sekarang ini kemungkinan kemungkinan akan terjadi revisi ke bawah karena beberapa faktor tadi. Vaksinasi yang belum merata, normalisasi kebijakan moneter dari negara maju dan eskalasi ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina,” kata Perry dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Selasa (22/3/2022).
Oleh karena itu, pihaknya sedang melakukan asesmen untuk mengetahui seberapa jauh dampak dari ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina ini terhadap pola pertumbuhan ekonomi global di Tahun 2022, kemungkinan akan lebih rendah dari 4,4 persen.
“Perlu kita lihat negara-negara mana yang akan direvisi ke bawah, Rusia jelas. Tapi negara-negara berkembang lain yang menjadi mitra dagang utama Indonesia tidak terlalu buruk, sehingga bisa mendukung prospek ekonomi kita,” ujarnya.
Baca Juga
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Harga Komoditas
Lebih lanjut, terkait meningkatnya harga komoditas llobal yang tinggi. Tentu berdampak terhadap Indonesia, di satu sisi menguntungkan yakni terjadi perbaikan dari sisi eksternal, karena ekspor Indonesia menjadi lebih baik. Namun disisi lain timbul kemungkinan dampak terhadap inflasi.
Tak hanya itu saja, ketidakpastian pasar keuangan global semakin meningkat, sehingga aliran modal masuk ke Emerging Market (Ems) akan lebih terbatas. Artinya terjadi risiko pengalihan ke aset yang aman (safe haven asset) dan berpotensi memberi tekanan nilai tukar, termasuk Indonesia.
“Kami terus berkoordinasi dengan Bu menteri keuangan pemerintah untuk menjaga stabilitas dari ekonomi kita agar membawa pemulihan ekonomi lebih lanjut,” pungkasnya.
Advertisement