Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Rusia mengatakan sudah melakukan pembayaran utang luar negeri obligasi berdenominasi dolar dengan mata uang rubel.
Pembayaran ini diumumkan ketika Rusia berupaya menghindari gagal bayar utang atau default, di tengah sanksi Barat atas konflik di Ukraina.
Baca Juga
Dikutip dari The Straits Times, Kamis (7/4/2022) Kementerian Keuangan Rusia mengatakan terpaksa membayar USD 649,2 juta kepada pemegang utang luar negeri dalam rubel.
Advertisement
Langkah tersebut dilakukan setelah bank koresponden menolak untuk melaksanakan instruksi pembayaran.
"Sebuah bank koresponden asing menolak untuk mengeksekusi instruksi pembayaran utang dua obligasi pada 4 April," demikian keterangan Kementerian Keuangan Rusia.
Untuk memenuhi kewajiban utang negara Federasi Rusia, Kementerian Keuangan 'dipaksa untuk menarik lembaga keuangan Rusia untuk melakukan pembayaran yang diperlukan'.
Sejauh ini, Kementerian Keuangan Rusia belum merinci apakah pembayaran rubel sudah diterima.
Tolak Prediksi Default
Di sisi lain, banyak analis yang menyebut Rusia menuju default, tetapi Kremlin menolak pernyataan itu pada Rabu (6/4).
"Rusia memiliki semua sumber daya yang diperlukan untuk membayar utangnya," kata juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov kepada wartawan.
Sebelumnya, Amerika Serikat menghentikan Rusia untuk membayar utangnya sebesar lebih dari USD 600 juta dari cadangan yang disimpan di bank-bank Amerika.
Selain memotong akses Rusia ke dolar, pemerintahan Presiden AS Joe Biden juga mengumumkan sanksi baru terhadap lembaga keuangan dan entitas Rusia, termasuk dua putri Presiden Rusia Vladimir Putin dan putri menteri luar negeri Rusia, Sergey Lavrov.
Advertisement
JPMorgan Perkirakan Rusia Punya Utang Asing Rp 574,5 T pada Akhir 2021 Lalu
Dilansir dari CNN Business, JPMorgan memperkirakan bahwa Rusia memiliki utang mata uang asing sekitar USD 40 miliar atau setara Rp 574,5 triliun akhir tahun lalu, dengan sekitar setengahnya berada di investor asing.
Namun laporan yang beredar tentang kematian warga sipil di Bucha, Ukraina membuat negara-negara Barat memberlakukan lebih banyak sanksi ekonomi terhadap Rusia.
"(Sanksi) akan semakin menguras sumber daya yang digunakan Putin untuk melanjutkan perangnya melawan Ukraina dan akan menyebabkan lebih banyak ketidakpastian serta tantangan bagi sistem keuangan mereka," kata juru bicara Departemen Keuangan AS pada Senin (4/4).
Di tengah serangkaian sanksi ekonomi yang dihadapinya, Rusia telah mampu menjaga nilai rubel tinggi secara artifisial dengan menaikkan suku bunga dan mendesak eksportir mengalihkan penggunaan mata uang asing dengan rubel.
Negara itu juga baru-baru ini mempertahankan ekonominya dengan mendesak importir migas membayar dengan rubel.
Tetapi pemblokiran akses ke dolar semakin membuat Rusia dekat dengan risiko default.
Situasi tersebut memaksa Rusia untuk melakukan pembayaran bunga yang lebih tinggi atas utangnya, jika memilih untuk membayar.