Liputan6.com, Jakarta PT Golden Eagle Energy Tbk (SMMT) sukses menjalankan beberapa langkah strategis di saat momentum harga dan permintaan batu bara sedang tinggi-tingginya di 2021.
Alhasil, pencapaian kinerja keuangan dan operasional Perseroan tahun 2021 melampaui target yang ditetapkan.
Baca Juga
“Tambang Sumatera untuk pertama kalinya berhasil menembus volume produksi dan penjualan lebih dari 1 juta ton di 2021 atau dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Hasil penjualan meningkat 143 persen YoY dan laba bersih menjadi Rp 250 miliar," kata dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (9/4/2022)
Advertisement
Dengan kinerja yang positif ini, saldo kas dan setara kas mengalami kenaikan Rp123 miliar menjadi Rp188 miliar, diikuti rasio lancaryang membaik menjadi 2,13 kali per posisi 31 Desember 2021.
"Manajemen memberikan apresiasi yang tinggi kepada seluruh karyawan dan tim manajemen atas kerja keras selama ini” lanjut Roza.
Menurut dia, pencapaian 2021 merupakan validasi atas kesigapan Perseroan menghadapi situasi kenaikan permintaan batubara yang tidak terduga. "Hal ini tentunya menaikkan semangat kerja dan kepercayaan diri seluruh karyawan," tutur Roza.
Untuk melanjutkan semangat yang sudah terbentuk tersebut, Perseroan menargetkan volume produksi dan penjualan 2022 setidaknya 15-20 persen lebih tinggi dari tahun sebelumnya, dengan proporsi penjualan domestik yang masih akan mendominasi.
"Kami juga tentunya akan selalu memenuhi kewajiban DMO yang ditetapkan pemerintah," ucapnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Paparan Publik Insidentil
Golden Eagle Energy pun telah melakukan Paparan Publik Insidentil secara daring dalam rangka untuk memenuhi permintaan Bursa sehubungan dengan kenaikan harga saham Perseroan yang signifikan di Maret 2022.
Hingga saat ini, Bursa masih menghentikan sementara perdagangan saham Perseroan sejak 23 Maret 2022 sampai dengan pengumuman lebih lanjut.
Terkait lonjakan harga saham SMMT, Roza menyampaikan bahwa Perseroan menyerahkan sepenuhnya pergerakan harga saham kepada mekanisme pasar yang berlaku.
"Kami percaya bahwa lonjakan harga saham SMMT terutama di bulan Maret 2022 berkolerasi erat dengan pertumbuhan kinerja keuangan dan operasional Perseroan tahun 2021, yang tercermin dalam laporan keuangan berkala yang disampaikan kepada Bursa.
"Dengan harga komoditas batubaru yang masih tinggi hingga saat ini dan permintaan yang tinggi, kami percaya faktor-faktor tersebut akan menjadi booster saham emiten batubara pada umumnya. Dan wajar bila investor saham menaruh harapan besar pada pertumbuhan laba emiten batubara di 2022," tutup dia.
Advertisement
Perang Rusia-Ukraina Bawa Harga Batu Bara Melambung 92,9 Persen
Konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina telah mendorong kenaikan harga-harga komoditas. Perang ini jelas mempengaruhi harga energi, karena memang Rusia menjadi salah satu produsen energi yang besar.
Hal itu disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KITA Edisi Maret 2022, secara virtual, Senin (28/3/2022).
Komoditas yang harganya naik diantaranya, natural gas mengalami kenaikan sebesar 58 persen, batu bara melonjak harganya 92,9 persen, minyak Brent mengalami kenaikan 54 persen, CPO naik 27 persen.
Kemudian, harga gandum juga naik, lantaran dalam hal ini Rusia dan Ukraina merupakan produsen penting penghasil gandum. Harga gandum melonjak 42 persen dan harga dari jagung juga mengalami kenaikan sebesar 26,7 persen.
“Harga barang barang ini adalah barang yang menentukan inflasi, karena dia menentukan harga energi harga pangan di negara barat maupun bahkan di negara kita. Karena dia juga mempengaruhi banyak sekali konsumsi yang sekarang basisnya adalah gandum dan jagung termasuk dalam hal ini harga pangan untuk peternakan,” kata Menkeu.
Artinya dengan kenaikan energi, komoditas dan harga pangan maka tekanan inflasi melonjak sangat tinggi. Kata Menkeu, dilihat dari index producer price kenaikannya sudah sangat tinggi, bahkan di Eropa kenaikannya sudah mencapai 30 persen, meskipun inflasinya baru meningkat 5,6 persen.
“Ini menggambarkan tekanan yang berat dari sektor producer, karena mereka mengalami kenaikan harga barang-barang, tapi di sisi lain harga barang jadinya di tingkat masyarakat hanya naik 5,6 persen, dan ini dilemma dan komplikasi pemulihan ekonomi inilah yang akan dihadapi oleh semua negara banyak negara, Indonesia juga pasti terkena imbasnya,” jelasnya.
Negara Lain
Selain Eropa, negara lainnya yang nilai producer price lebih tinggi dari consumer price, diantaranya Amerika Serikat, Jerman, Tiongkok, Meksiko, India, Inggris, Brazil, Italia, dan Indonesia.
“Nantinya negara-negara ini memiliki kebijakan yang makin sulit, jika harga sudah sangat tinggi pasti tekanan terhadap producer kalau di naikkan suku bunga akan menekan daya beli juga akan menekan investasi lebih besar lagi,” katanya.
Sehingga ancaman terhadap momentum pemulihan ekonomi itu menjadi sangat nyata, dengan dilemma kebijakan yang sekarang dihadapi oleh semua negara, yaitu menstabilkan harga yang sangat menantang.
Namun, disisi lain menjaga momentum pemulihan ekonomi juga mengalami perlemahan yang terlalu cepat. Banyak negara yang sudah melakukan response policy.
“Semuanya producer price nya sudah diatas consumer price, pertanyaannya berapa cepat dan Berapa besar producer price index ini akan diterjemahkan menjadi harga ditingkat konsumen yang meningkat,” ujarnya.
Inilah yang menjadi salah satu hal antisipasi bagi semua negara, untuk kemudian menentukan seberapa cepat pengetatan dari kebijakan fiskal dan moneter terhadap adanya tren kenaikan harga-harga di tingkat produsen dan konsumen ini.
Advertisement