Cerita Sukses UMKM Wanita di Surabaya, Bangun Komunitas Usaha "Kampung Kue" Beromzet Puluhan Juta

Kerja keras dan keinginan Choirul Mahpuduah (53 tahun), untuk berubah telah membawanya menjadi pebisnis sukses.

oleh Tira Santia diperbarui 10 Mei 2022, 19:20 WIB
Diterbitkan 10 Mei 2022, 19:14 WIB
Choirul Mahpuduah (53 tahun), sukses membangun komunitas usaha “Kampung Kue” di Surabaya, Jawa Timur.
Choirul Mahpuduah (53 tahun), sukses membangun komunitas usaha “Kampung Kue” di Surabaya, Jawa Timur.

Liputan6.com, Surabaya - Kesuksesan tidak pernah mengenal latar belakang. Setiap orang berhak untuk meraih kesuksesan sepanjang mau bekerja keras dan berusaha. Hal itu juga yang diyakini Choirul Mahpuduah (53 tahun), yang sukses membangun komunitas usaha “Kampung Kue” di Surabaya, Jawa Timur.

Kerja keras dan keinginan untuk berubah telah membawanya menjadi pebisnis sukses. Sebelumnya, Mahpuduah pernah bekerja sebagai buruh pabrik. Namun, usai kena PHK dia memilih untuk mendirikan komunitas usaha perempuan di kampungnya.

Di dalam komunitas ini terdapat beberapa unit usaha termasuk usaha kue milik Mahpuduah. Dia menyebut “Kampung Kue” merupakan paguyuban yang anggotanya terdiri dari 63 orang pengusaha kue.

“Kampung Kue saya gagas mulai tahun 2005. Saya melihat tahun 2005 itu banyak ibu-ibu di kampung saya kalau pagi-pagi sudah menganggur atau merumpi tidak melakukan kegiatan yang produktif. Kalau siang sebagian dari mereka dikejar-kejar rentenir,” kata Mahpuduah, kepada Liputan6.com.

Dari situ dia berpikir, untuk membuat komunitas “Kampung Kue” di Rungkut Lor Gang 2 RT 04 RW 05 Kelurahan Kalirungkut Kecamatan Rungkut Kota Surabaya, agar ibu-ibu di sana menjadi produktif.

Sebelum mendirikan komunitas, perempuan berusia 53 tahun ini terlebih dahulu melakukan pengamatan kecil-kecilan. Warga setempat pada tahun 1970-an dikenal sebagai produsen pakaian dalam laki-laki dan perempuan.

Kemudian, ibu-ibu di Rungkut Lor Gang 2 sebagian ada yang memproduksi kue. Tapi saat itu tidak terlalu berdampak besar apalagi dampaknya terhadap masyarakat lingkungan sekitar.

Akhirnya Mahpuduah, mencoba mengembangkan potensi yang pertama yaitu mengembalikan kejayaan Rungkut Lor Gang 2 dengan membuka usaha sulam pita. Tapi, usaha itu tidak berpengaruh besar terhadap perekonomian ibu-ibu.

“Ternyata tidak menjawab keinginan saya, waktu itu saya bilang ke ibu-ibu kita memiliki kegiatan yang cepat menghasilkan uang yang halal untuk makan dan bantu perekonomian keluarga. Akhirnya saya beralih dengan potensi kedua, saya berkunjung ke rumahnya ibu-ibu untuk mendiskusikan untuk mengkomunikasikan keinginan saya. Karena pada saat itu saya kalau berpikir satu kampung membuat kue semua ini luar biasa,” ungkapnya.

Menurutnya, dengan membangun komunitas usaha bisa mengangkat martabat perempuan menjadi pribadi yang produktif, khususnya bagi ibu-ibu di Rungkut Lor Gang 2 yang sebelumnya menganggur.

Meski diakui, masih ada sebagian ibu-ibu yang menolak pendirian komunitas, namun dia menganggap hal itu lumrah.

Berbekal tekad yang kuat, akhirnya pada tahun 2005 resmi berdiri komunitas “Kampung Kue” yang didalamnya terdiri dari 63 pengusaha kue, baik kue basah dan kering.

“Saya tetap fokus bahwa Insya Allah apa yang saya gagas ini akan berujung. Dari situ saya mengajak ibu-ibu pelatihan bikin kue sebisa saya. Kemudian lama-kelamaan kita punya jaringan dengan LSM-LSM perempuan, serikat buruh dan dinas-dinas dengan perusahaan perusahaan swasta, BUMN, universitas dan para mahasiswa yang akhirnya membuat nama kampung kue semakin dikenal,” ujarnya.

Bermodal Rp 150 Ribu

Saat awal mendirikan komunitas Kampung Kue, dihadapkan dengan kesulitan pembiayaan. Saat itu, semua pendanaan masih keluar dari kantong pribadi Mahpuduah. Kemudian, dia sadar bahwa diperlukan urunan dana dari anggota.

Terkumpulah dana sebanyak Rp 150 ribu yang berasal dari 3 orang anggota komunitas Kampung Kue. Dana tersebut digunakan untuk simpan pinjam anggota jika memerlukan dana untuk membuat kue.

Seiring berjalannya waktu, anggota komunitas terus bertambah, dari 10 orang menjadi 15 orang, seterusnya hingga kini ada 63 orang.

Setiap anggota diarahkan untuk memiliki simpanan pokok Rp 50 ribu dan simpanan sukarela disesuaikan dengan kemampuan anggota, sementara simpanan wajibnya Rp 10 ribu per bulan.

“Saat pertama kali berdiri komunitasnya kesulitan dalam pendanaan. Tapi setelah semua perusahaan swasta BUMN pemerintah akademisi mengenal kampung kue sehingga untuk akses permodalan pun lebih mudah misalnya ke BRI,” ujarnya.

 

Omzet

Choirul Mahpuduah (53 tahun), sukses membangun komunitas usaha “Kampung Kue” di Surabaya, Jawa Timur.
Para ibu-ibu di komunitas Kampung Kue di Surabaya, Jawa Timur.

Untuk omzet sendiri, sebelum pandemi perputaran uang per hari dalam komunitas Kampung Kue mampu mencapai Rp 20 juta per hari. Namun, ketika pandemi hanya 10 persennya.

Sekitar bulan Juli tahun 2021 ekonomi semakin membaik, akhirnya di tahun 2022 ini Kampung Kue bisa bangkit kembali.

Mahpuduah menjelaskan, memang penghasilan setiap anggota berbeda-beda karena pengelolaannya diserahkan ke masing-masing individu.

Tapi dengan banyaknya jumlah anggota, dan karakter bisnisnya ibu-ibu itu berbeda-beda, ada yang mempekerjakan karyawan bahkan ada juga yang masih memanfaatkan anggota keluarganya masing-masing untuk membantu membuat kue.

“Saya sendiri mempekerjakan 5 orang, saya dan suami. Namun ketika pandemi mereka berhenti, tapi satu orang saya panggil lagi, sisanya mereka sudah kerja ditempat lain. Kendati setiap anggota memiliki usaha kue masing-masing, luar biasanya komunitas “Kampung Kue” ini menerapkan sistem kolaborasi. Jadi siapapun bisa menerima orderan, makannya mereka dapat orderan saya juga senang. Ini sistem kolaborasi yang kita kembangkan agar mereka bisa menjaga mutu sendiri-sendiri,” imbuhnya.

Produk kue yang dihasilkan komunitasnya dibagi menjadi dua jenis yaitu kue basah dan kue kering. Untuk Kue basah ada dadar mawar, pisang coklat, dadar gulung, lumpur, pandan fla, puding, onde-onde, muffin.

Adapula apem, terang bulan, pastel, risoles, pie susu, pie apel, pie susu keju, donat dan masih banyak lainnya.

Sementara, produk kue kering terdiri dari Almond Crispy, kacang, dan Cheese stick. Untuk harga, Kampung Kue mematok di kisaran Rp 1.500 – Rp 4.500 untuk kue basah. Sementara kue kering mulai dari Rp 15.000 hingga Rp 70.000.

“Ada Kue-kue basah tetapi ada juga kue-kue kering yang dihasilkan di kampung kue, dan bisa menjadi oleh-oleh khas Surabaya misalnya almond crispy yang saya produksi itu sudah bisa dijual bisa menembus pasar Singapura melalui Bank Indonesia,” katanya.

Sebab kue kering itu sifatnya tahan lama dibanding kue basah, sehingga penjualannya bisa sampai ke luar negeri, dan penjualannya hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Seperti ke Jakarta, Kalimantan, Bogor, Batam, Mataram, dan Bali.

Tak hanya penjualan offline, komunitas Kampung Kue juga menjual berbagai produknya secara online, baik melalui media sosial seperti facebook, Instagram, dan WhatsApp. Anggota komunitas juga sudah mengikuti kelas-kelas digital marketing.

“Jadi, untuk digital marketing bukan hal yang baru lagi bagi saya. Saya kemarin juga sempat jual lewat gofood, cuman kurang produktif. Jadi perlu diperbaiki lagi (manajemennya),” ujarnya.

Disisi lain, pihaknya juga memanfaatkan momen lebaran dengan memproduksi kue kering khas lebaran, seperti kastengel, nastar, dan juga menerima jasa hampers bagi perusahaan-perusahaan kecil yang skalanya tidak terlalu besar.

 

Bantuan CSR BRI

Choirul Mahpuduah (53 tahun), sukses membangun komunitas usaha “Kampung Kue” di Surabaya, Jawa Timur.
Mahpuduah mengatakan, hampir semua anggota komunitas Kampung Kue adalah nasabah BRI.

Mahpuduah mengatakan, hampir semua anggota komunitas Kampung Kue adalah nasabah BRI. Akhirnya begitu mantri BRI datang dan mereka tertarik dengan kegiatan Kampung Kue, hingga memutuskan menyalurkan bantuan berupa sarana dan prasarana pada tahun 2021.

“Seperti tenda, celemek, meja, baju, topi, dan pameran-pameran kita diajak BRI untuk mempromosikan produk Kampung Kue. Kami tidak dapat bantuan uang tidak, tapi sarana dan prasarana dalam bentuk barang yang bisa kita manfaatkan,” ungkapnya.

Kata dia, pada 8 Februari 2022 kemarin Kampung Kue telah diresmikan oleh Wali Kota Surabaya sebagai Kampung Wisata Kuliner, dan edukasi. Apa yang diberikan BRi sangat bermanfaat, karena meja dan tendanya bisa dipakai untuk berjualan.

Sementara, untuk bantuan bentuk uang lebih ke KUR. Para anggota komunitas Kampung Kue menjadi mudah mendapatkan pinjaman dari BRI.

“Selama kita bekerjasama dengan banyak pihak kita tidak pernah dalam bentuk uang, tapi lebih ke sarana dan prasarana, dan pelatihan-pelatihan, digital marketing, food photography. BRI juga mengajak kita untuk ikut Bazar Ramadhan di Maspion Square. Menurut saya BRI sudah memudahkan ibu-ibu membuka usaha,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya