Liputan6.com, Jakarta Industri penerbangan di Indonesia disebut dimonopoli oleh satu grup maskapai yang menguasai sekitar 60 persen pasar dalam negeri. Pengamat menilai, alih-alih mengatur, pemerintah justru seakan memberikan dukungannya.
Pengamat Penerbangan dan Analis Independen Bisnis Penerbangan Nasional Gatot Rahardjo menilai pasar penerbangan Indonesia sudah masuk pada fase monopoli. Sementara, pemerintah memberikan jalan cukup mulus bagi maskapai ini.
Baca Juga
"Alih-alih mengendalikan agar tidak terjadi monopoli di penerbangan, pemerintah justru seperti merestuinya," kata dia dalam keterangannya, Senin (13/6/2022).
Advertisement
Gatot mengamini ada satu group maskapai yang mempunyai kekuatan armada, jumlah rute dan jaringan serta pangsa pasar dan jumlah penumpang yang sudah lebih dari 60 persen pangsa pasar nasional. Bahkan Kemenhub masih memberikan izin untuk adanya penambagan maskapai baru lagi.
"Apakah maskapai tersebut salah? Tidak. Karena tidak ada aturan yang dilanggarnya. Bahkan ketika group tersebut mengajukan proposal untuk membuat maskapai baru lagi, tetap diizinkan oleh Kementerian Perhubungan, sehingga kekuatannya menjadi lebih besar," terangnya.
"Ibaratnya, saat ini secara de facto terjadi monopoli, tetapi secara de jure tidak," tambah Gatot.
Ia menjelaskan dalam kondisi monopoli, pasar tentu akan diatur oleh kelompok perusahaan yany dominan. Jika yang memonopoli perusahaan pemerintah atau BUMN, masih bisa dimengerti karena kebijakan perusahaan akan tetap bisa dievaluasi oleh pemerintah.
"Tapi kalau yang monopoli swasta, tentu pemerintah tidak bisa mengendalikannya. Jika pemerintah memaksa, bisa saja maskapai tersebut menghentikan operasinya. Kalau ini terjadi, barulah akan benar-benar terjadi kiamat di penerbangan nasional karena lebih dari 60 persen suplai penerbangan akan hilang," tuturnya.
Â
Aturannya
Ia menuturkan aturan yang dimaksud melanggengkan praktik monopoli di industri penerbangan tadi. Yakni, dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perhubungan no. PM 35 tahun 2021 menggantikan Keputusan Menteri Perhubungan no. KM 25 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.
Pada KM 25/ 2008, dalam hal penambahan kapasitas dan frekuensi penerbangan di satu rute, baru bisa dilakukan jika LF (keterisian) rata-rata maskapai sudah tinggi dan penambahan kapasitas atau frekuensi tidak boleh menyebabkan LF turun.
Misalnya, untuk rute utama dengan tingkat kepadatan sangat padat dan dilayani oleh lebih dari satu maskapai seperti Jakarta-Medan, penambahan kapasitas dan frekuensi penerbangan baru dapat dilakukan bila LF rata-rata sudah mencapai 80 persem selama 6 bulan. Penambahan kapasitas dan frekuensi itu juga tidak boleh menyebabkan LF menjadi lebih rendah dari 70 persen.
"Pada PM 35/ 2021, aturan tersebut dihapus. Dengan demikian setiap maskapai boleh saja menambah kapasitas dan frekuensi penerbangan ke satu rute, tanpa memperhatikan kondisi pasar dan kondisi maskapai lain," katanya.
"Hal ini akan mengakibatkan perang antar maskapai dan yang kuat pasti akan menang karena mempunyai sumber daya yang lebih besar. Jika sudah demikian, secara pelan tapi pasti akan terjadi monopoli di rute tersebut," tambahnya.
Â
Advertisement
Pemerintah Dianggap Tak Serius
Lebih jauh, Gatot menilai pemerintah seakan tidak serius dalam melihat pernasalah di sektor transportasi udara. Padahal, transportasi jni yang dibutuhkan dalam menooang pergerakan di wilayah kepulauan.
Gatot menyebut, konektivitas udara dibutuhkan oleh para pelajar dari pelosok daerah untuk belajar ke kota atau ke pulau lain. Kemudian dibutuhkan para pelaku UMKM untuk memasarkan produknya, dibutuhkan para pelaku wisata, dibutuhkan para pedagang.
Serta dibutuhkan para politisi untuk kunjungan ke daerah, dibutuhkan masyarakat yang ingin melakukan kunjungan keluarga, dan sebagainya. "Transportasi udara bukan lagi milik para orang-orang berduit hanya sekedar untuk gengsi," katanya.
"Tanpa transportasi udara, niscaya perekonomian nasional akan melambat seperti pada masa pandemi Covid-19 saat transportasi udara dibatasi," tambah Gatot.
Ia mengungkaos Saat ini aturan dan kebijakan yang dibuat terutama soal bisnis penerbangan lebih banyak bersifat jangka pendek tanpa memperhitungkan dampaknya di masa mendatang. Kemudian, evaluasi aturan dikaitkan dengan kondisi faktual juga lamban dilakukan sehingga banyak kebijakan bisnis penerbangan yang seharusnya diperbaiki, tapi dibiarkan saja.
"Ibaratnya, ada bom waktu di penerbangan nasional. Sayangnya, pemerintah sendiri lah yang membuat bom waktu tersebut," tukasnya.
Â
Harga Tiket Mahal
Tiket pesawat terpantau masih berada di harga tinggi. Pengamat penerbangan menyebut, hal ini mengulang kejadian yang sama sekitar 2018-2019 lalu.
Pengamat Penerbangan dan Analis Independen Bisnis Penerbangan Nasional Gatot Rahardjo mengatakan kenaikan harga tiket pesawat juga menjadi penghambat pariwisata. Alasannya, banyak pelancong menggunakan pesawat ke titik-titik pariwisata.
"Masyarakat hingga Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno juga mengeluh karena tingginya harga tiket pesawat menghambat pariwisata. Wisatawan memang lebih banyak datang menggunakan pesawat," kata dia dalam keterangannya, Minggu (12/6/2022).
"Kondisi ini mengingatkan kita pada kondisi yang sama pada tahun 2018-2019. Ibarat pepatah, saat ini penerbangan nasional 'jatuh 2 kali di lubang yang sama!'," tambahnya.
Menurut temuannya, harga tiket pesawat setelah lebaran 2022 sampai saat ini, ternyata tidak juga turun. Maskapai masih memasang harga tiket dengan tarif di sekitar batas atas (TBA) yang ditentukan pemerintah.
"Silahkan anda mencari sendiri tarif penerbangan ke kota-kota lain melalui website maskapai atau travel agen online dan offline, kemudian cocokkan dengan Keputusan Menteri Perhubungan no. KM 106 tahun 2019. Anda akan mendapati rata-rata tarif di batas atas," paparnya.
Bahkan beberapa maskapai juga memasang biaya tambahan fuel surcharge. Karena sejak April hingga Juli 2022 pemerintah memang memberi keleluasaan maskapai untuk menambah biaya tambahan ini. Alasannya karena harga avtur yang naik imbas dari perang Rusia-Ukraina.
Advertisement