Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut, sejumlah negara berkembang dan berpendapatan rendah berpotensi tak bisa bayar utang. Sebab, adanya kenaikan harga komoditas secara global yang juga mempengaruhi tingkat ekonomi negara berkembang.
Ada tiga faktor yang menjadi dasar dari pernyataan Sri Mulyani ini. Pertama, kenaikan harga energi, kedua, kenaikan harga pangan, dan ketiga, tekanan inflasi. Ketiga hal ini akan berimbas pada kemampuan negara berkembang di seluruh dunia.
Baca Juga
“Kita mulai sebelum pandemi dan kemudian karena pandemi karena sudah menggunakan ruang fiskal kita yang berimplikasi pada peningkatan posisi utang. Sekarang, dengan ancaman rangkap tiga ini akan menjadi lebih kompleks yang sangat mengerikan untuk dikelola,” katanya dalam pembukaan Finance Minister and Central Bank Governors (FMCBG) Meeting G20, Nusa Dua, Bali, Jumat (15/7/2022).
Advertisement
Menurutnya, sudah ada banyak negara berpenghasilan rendah berada dalam kondisi kesulitan karena utang. Kemudian, negara berkembang lainnya memiliki potensi tak mampu membayar utangnya tahun depan.
“Sekitar 60 persen dari negara-negara berpenghasilan rendah sudah berada dalam atau mendekati kesulitan utang. Sementara negara-negara berkembang mungkin tidak dapat memenuhi pembayaran utang selama satu tahun ke depan,” ujarnya.
Ia menegaskan ini bukan satu atau dua kasus luar biasa. Ia memprediksi dengan tekanan yang ada, tak mampunya negara untuk membayar utangnya akan semakin meluas kedepannya. Maka, peran menteri keuangan, gubernur bank sentral, organisasi internasional dan lembaga multilateral menjadi penting.
“Tantangan signifikan ini berada di atas masalah global yang belum terpecahkan seperti yang kita semua bicarakan dalam dua tahun terakhir, yaitu pandemi COVID 19, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan iklim, dan juga keberlanjutan utang yang ada di banyak negara berpenghasilan rendah,” katanya.
“Ini semua menciptakan rintangan yang signifikan untuk tujuan bersama kita, yaitu Presidensi G20 Indonesia sudah dipilih saat itu ketika kita melanjutkan kepresidenan dari Italia yang ingin kita lihat pada 2022,” paparnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Krisis Energi dan Pangan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap saat ini dunia dihadapi krisis energi. Kondisi ini diyakini akan memperburuk upaya pemulihan ekonomi.
Dimana, menurut data yang dimilikinya, harga minyak dunia mengalami kenaikan 350 persen dalam dua tahun. Ini berdampak pada kenaikan harga energi di seluruh negara di dunia.
"Pada bulan Juni, kami menyaksikan harga gas alam di Eropa meningkat sebesar 60 persen, hanya dalam dua minggu. kelangkaan bahan bakar sedang berlangsung di seluruh dunia," katanya dalam pembukaan 3rd Finance Minister and Central Bank Governors (FMCBG) di Bali International Convention Center, Jumat (15/7/2022).
Mengutip data Bank Dunia, ia menyebut harga minyak mentah dunia meningkat 350 persen dari April 2020 hingga April 2022. Padahal, di awal pandemi, ia melihat harga minyak mentah dunia sempat mendekati nol bahkan minus.
"Dan sekarang kita menghadapi situasi ekstrim yang sangat berbeda. Peningkatan 350 persen ini merupakan peningkatan terbesar untuk periode dua tahun sejak 1970-an," katanya.
Dengan adanya kenaikan komoditas energi ini, Menkeu Sri Mulyani menyebut ini berdampak pada kondisi sosial politik di beberapa negara. Sehingga, secara global, ini akan mengancam upaya pemulihan ekonomi.
"Dan kami melihat ini memiliki implikasi politik dan sosial yang besar di Sri Lanka, Ghana, Peru, Ekuador, dan di tempat lain. Kelangkaan ini karena harga gas yang tinggi benar-benar menjadi masalah, yang mengancam pemulihan kita. Dunia berada di tengah krisis energi global," kata dia.
Advertisement
Harga Pangan Dunia
Di sisi lain, bendahara negara ini mengatakan kenaikan harga juga terjadi di sektor pangan dunia. Dengan ini, ia menilai akan berdampak lebih luas pada kerawanan pangan yang menyangkut jutaan orang.
Menurut World Food Programme, jumlah orang yang menghadapi kerawanan pangan akut meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 2019 sebelum pandemi dari 135 juta menjadi 276 juta.
"Ada urgensi dimana krisis pangan harus ditangani. Pengerahan semua mekanisme pembiayaan yang tersedia segera diperlukan untuk menyelamatkan nyawa dan memperkuat stabilitas keuangan dan sosial," kata dia.
Kemudian, Menkeu Sri Mulyani mengatakan kebijakan ekonomi makro yang baik juga menjadi penting secara fundamental yang telah membantu banyak negara melewati krisis. Guna merespons kenaikan harga pangan dan energi dunia.
"Saya yakin Anda semua sebagai menteri keuangan sekaligus gubernur bank sentral melihat ini sebagai ancaman bagi stabilitas makro ekonomi kita serta lingkungan yang kondusif bagi kita untuk mempertahankan pemulihan.
Inflasi
Menkeu Sri Mulyani mengatakan, kondisi perang dan lonjakan harga juga memperburuk lonjakan inflasi global. Serta meningkatkan lebih tinggi ketidakstabilan sosial.
"Kita bisa melihat penurunan lebih lanjut dalam standar hidup, terutama untuk rumah tangga miskin dan rentan. Negara-negara pengimpor komoditas berpenghasilan rendah kemungkinan akan sangat terpengaruh. yang dapat menyebabkan kerusuhan sosial dan politik lebih lanjut," paparnya.
Ia pun melihat lonjakan inflasi yang mengarah ke pengetatan kebiakan moneter glolbal yang lebih cepat dari yang diantisipasi. Sehingga negara maju dan negara berkembang mulai ikut menaikkan suku bunga.
"Mengingat dengan pengetatan kebijakan moneter global, serta disertai dengan kondisi likuiditas, negara-negara berkembang perlu semakin diwaspadai, yang akan menciptakan kerentanan yang berasal dari arus keluar modal dan peningkatan biaya pembiayaan," katanya.
"Jadi ancaman perang tiga kali lipat melindungi harga komoditas dan meningkatkan inflasi global," tambahnya.
Advertisement