Liputan6.com, Jakarta Merespon kenaikan inflasi di berbagai negara, Dana Moneter Internasional (IMF) meminta para bank sentral untuk segera menaikkan suku bunga acuan. Sebab bila tidak segera melakukan penyesuaian, dampaknya nanti bisa lebih berat saat menaikkan suku bunga.
Menanggapi itu, Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia, Sahminan menyebut, soal kenaikan suku bunga, setiap negara memiliki bauran kebijakan masing-masing dalam merespon situasi yang terjadi. Mengingat tiap negara memiliki kondisi domestik yang berbeda dalam hal kecepatan pemulihan ekonominya.
Baca Juga
"Itu sebabnya ada bauran kebijakan yang ditakar untuk negara tersebut dengan takaran dan syok yang dihadapi," kata Sahminan di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) 2, Nusa Dua, Bali, ditulis Sabtu (16/7/2022).
Advertisement
Dia menjelaskan kecepatan pemulihan ekonomi di negara berkembang dan negara maju tidak sama. Negara maju cenderung puli lebih cepat, sebaliknya negara pasar berkembang memiliki kecepatan yang berbeda. Maka, tidak mungkin ada satu kebijakan yang diterapkan di negara berbeda.
"Sehingga kebijakan yang dibuat tidak onspeed all, perlu ada bauran kebijakan yang sesuai dengan takarannya," kata dia.
Dalam hal ini Sahminan mengatakan Bank Indonesia memiliki berbagai instrumen kebijakan. Semisal tahun ini bauran kebijakan bank sentral diarahkan untuk menjaga stabilitas terhadap nilai tukar rupiah.
Ada juga kebijakan makroprudensial yang diarahkan untuk menjaga stabilitas di pasar keuangan atau untuk mendorong pemulihan ekonomi. Semua kebijakan tersebut diambil setelah melihat kondisi ekonomi terkini.
"Jadi bukan kita tidak mau (mengikuti saran kebijakan (tersebut), yang perlu dilakukan oleh suatu negara membuat kebijakan yang sesuai dengan kondisi terkini," pungkasnya.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Ekonom Prediksi Suku Bunga Acuan BI Bakal Sentuh 4 Persen pada Akhir 2022
Ekonom Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto mengatakan, Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) pada September dan Desember masing-masing sebanyak 25 basis poin (bps).
"Kita perkirakan (Bank Indonesia) akan menaikkan suku bunga itu di September dan Desember masing-masing sebanyak 25 basis poin sehingga BI 7 Day Reverse Repo Rate akan berada di posisi 4 persen di akhir 2022,” kata Rully dalam acara Media Day, Selasa (12/7/2022).
Kenaikan suku bunga acuan tersebut dinilai seiring kenaikan inflasi. Rully menuturkan, pemicu terbesar dari inflasi karena kenaikan harga-harga bahan makanan dalam beberapa bulan terakhir setelah lebaran.
Selain itu, dipengaruhi juga oleh gangguan atau semacam cuaca yang tidak kurang kondusif yang menyebabkan terjadinya gagal panen antara lain komoditas seperti cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan lainnya.
"Inflasi di Indonesia itu kalau kita lihat menjadi salah satu risiko utama yang harus dihadapi di semester 2 ini," ujar dia.
Dia menuturkan, dalam mengatasi hal di atas secara lebih efektif bukan dengan menaikkan suku bunga. Akan tetapi, lebih ke perbaikan distribusi, pemerintah pun telah melakukan sejumlah upaya untuk mendorong agar terciptanya supply.
Salah satu yang dilakukan pemerintah, yakni melakukan diplomasi di berbagai negara-negara penghasil komoditas utama.
"Kenaikan yang disebabkan oleh sisi supply, adanya gejolak harga-harga komoditas, harga bahan pangan, itu kurang efektif apabila diatasi dengan kenaikan suku bunga. Karena kenaikan suku bunga itu hanya akan efektif apabila terjadi inflasi dari sisi permintaan,” ungkapnya.
Advertisement
Ekonom: Inflasi Terkendali, Jadi Alasan BI Pertahankan Suku Bunga Acuan
Sebelumnya, Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, mendukung keputusan Bank Indonesia yang masih mempertahankan suku bunga, dibanding menaikkannya.
“Saya mendukung keputusan BI untuk menunggu sinyal yang lebih jelas lagi, terutama tingkat inflasi inti, walaupun alasan saya tidak terlalu sama dengan BI,” kata Ronny kepada Liputan6.com, Jumat, 1 Juli 2022.
Dia menjelaskan, saat ini inflasi pada Juni 2022 tercatat 0,61 persen dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Inflasi tahun kalender adalah 3,19 persen. Secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi Juni 2022 berada di 4,35 perse. Lebih tinggi dibandingkan Mei 2022 yang 3,55 persen sekaligus jadi yang tertinggi sejak Juni 2017.
Kemudian, inflasi inti mencapai 2,63 persen dan harga yang diatur pemerintah 5,33 persen serta yang bergejolak 10,3 persen. Sementara itu, the Fed sudah lebih dulu menaikan suku bunga acuan Amerika 75 basis point beberapa waktu lalu.
“Sehingga dengan torehan tingkat inflasi Indonesia dan kenaikan FFR tersebut dijadikan alasan oleh beberapa pihak untuk mempertanyakan sikap BI yang masih mempertahankan suku bunga acuan. Diyakini, akam terjadi capital outflow di satu sisi dan pelemahan mata uang di sisi lain,” ujarnya.
Sejumlah Alasan
Menurutnya, terdapat beberapa alasan BI mempertahankan suku bunga. Pertama, inflasi Indonesia secara komparatif masih jauh lebih rendah dibanding negara lainya.
Kedua, inflasi di Indonesia utamanya bukan disebabkan oleh kelimpahan liquiditas alias bukan karena naik tajamnya jumlah uang beredar sehingga BI tak harus melakukan pengetatan moneter saat ini.
Ketiga, nominal GDP nasional masih terbilang tinggi secara komparatif di satu sisi dan belum overheating karena peningkatan aggregate demand di sisi lain, yang berarti BI sebaiknya masih mempertahankan kebijakan moneter expansionary, bukan contractionary, yang berpeluang menggangu raihan pertumbuhan nasional.
Advertisement