Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) masih terus menahan kenaikan suku bunga acuan atau BI-7 Day Reverse Repo (BI7DRR) di level 3,5 persen sejak April 2021. Artinya, sudah satu tahun lebih bunga acuan ini bertahan saat bank sentral negara lain berlomba-lomba menaikkan suku bunga acuan.
Langkah BI menahan suku bunga ini karena memang dengan suku bunga saat ini masih bisa menahan laju inflasi. Namun langkah ini bisa saja berakibat pada pelarian simpanan valuta asing (valas) atau deposito valas ke luar negeri seperti ke bank-bank di Singapura.
Baca Juga
Pasalnya, suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk dolar Amerika Serikat (USD) hanya 0,25 persen. LPS mungkin saja menaikan suku bunga agar simpanan dolar tidak kabur ke luar negeri, tapi mereka masih menunggu kenaikan BI7DRR.
Advertisement
Pengamat Perbankan Paul Sutaryono tak memungkiri, kondisi suku bunga acuan yang tak segera naik ini berpotensi membuat rekening valas para konglomerat nasional berpindah ke luar negeri, termasuk Singapura.
"Tentu tidak dapat dihindari bahwa suku bunga acuan yang tetap bertahan itu akan mendorong pelarian modal (capital flight)," ujar Paul kepada Liputan6.com, Senin (1/8/2022).
Sebagai perbandingan, sejumlah bank Singapura menawarkan suku bunga simpanan valas lebih tinggi dari bunga penjaminan LPS, dimana selisihnya bisa mencapai 2 persen lebih.
Sebagai contoh, HSBC Singapore memasang rates tertinggi 1,40 persen untuk deposito valas di atas USD 1 juta dengan tenor 12 bulan. Begitu juga OCBC Bank, yang mematok suku bunga 1,83 persen untuk simpanan di atas USD 500 ribu, dengan tenor 6 bulan.
DBS bahkan mematok suku bunga hingga maksimal 2,45 persen untuk deposito valas di atas USD 500 ribu dengan masa tenor 12 bulan.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Jaga Pasokan Valas
Untuk itu, Paul menghimbau bank wajib menjaga posisi dana valuta asing di tengah gejolak valas yang fluktuatif. Caranya, dengan menjaga prinsip kehati-hatian.
"Strateginya, prudential banking," tegas Paul Sutaryono.
Kendati begitu, ia menilai Bank Indonesia sudah barang tentu memiliki alasan kuat untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan sejak 18 bulan lalu. Sebut saja, karena inflasi inti masih di bawah target inflasi 3 persen, meskipun inflasi tahun kalender per Juli 2022 sudah mencapai 4,94 persen.
"Selain itu, karena BI sudah menerapkan giro wajib minimum (GWM) per 1 Juli 2022 dan diteruskan tahap berikutnya per 1 September 2022. Upaya itu bertujuan untuk menyerap kelebihan dana di industri perbankan nasional hingga sekitar Rp 400 triliun," tuturnya.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
BI Diprediksi Menaikkan Suku Bunga di Kuartal III-2022
Sebelumnya, ekonom Bank Permata Josua Pardede, memprediksi Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 75 bps, pada kuartal III hingga akhir tahun 2022.
"Hingga akhir tahun BI berpotensi menaikkan suku bunga BI7RR sebesar 75 bps mempertimbangkan inflasi fundamental yang meningkat melampaui level 3 persen pada kuartal III-2022 ini," kata Josua krpada Liputan6.com, pada Selasa 26 Juli 2022.
Menurutnya, meskipun BI menaikkan suku bunganya pada kuartal III-2022, terdapat time lag dalam hal transmisi suku bunga acuan ke suku bunga perbankan.
Hal ini berdampak terhadap sektor riil (konsumsi dan investasi) akan terefleksi pada akhir kuartal IV 2022 atau awal tahun 2023.
"Namun demikian, kenaikan suku bunga acuan akan menjangkar ekspektasi inflasi serta mendorong stabilitas nilai tukar rupiah," ujarnya.
Lebih lanjut, dia menekankan, dengan dipertahankan suku bunga BI artinya belum mendorong peningkatan cost of borrowing yang selanjutnya akan mendukung pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan konsumsi.
Di saat bersamaan, akan tetap mendorong permintaan kredit atau pembiayaan dari sektor riil terhadap sektor jasa keuangan.
“Meskipun demikian, mempertimbangkan bahwa Fed berpotensi menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75bps pada rapat FOMC bulan ini, maka selisih suku bunga antara Fed dan Bank Indonesia cenderung melebar yang berpotensi mendorong penguatan dollar AS,” katanya.
Kendati begitu, real policy rate dari suku bunga Fed yakni suku bunga Fed nominal dikurangi dengan tingkat inflasi AS masih tercatat negatif.
First Line of Defense
Dengan mengasumsikan suku bunga nominal AS pada bulan Juli ini menjadi 2,5 persen, dan dengan tingkat inflasi AS per Juni yang berkisar 9,1 persen, maka real policy rate Fed tercatat sebesar 2,5-9,1 persen = -6,6 persen.
Sementara itu dibandingkan dengan suku bunga nominal BI saat ini, yakni 3,50 persen dan dengan tingkat inflasi 4,35 persen, maka real policy rate BI sebesar 3,5-4,35 persen = -0,85 persen.
Dengan mempertimbangkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang tetap solid dimana first line of defense, mengingat kondisi first line of defense yang diukur dengan cadangan devisa seperti rasio cadangan devisa terhadap M2, cadangan devisa terhadap impor dan cadangan devisa terhadap GDP, menunjukkan bahwa pasar keuangan indonesia memiliki buffer yang dapat menahan capital flight dari pasar keuangan Indonesia.
Advertisement