HEADLINE: APBN Tak Kuat Tahan Subsidi BBM Membengkak, Jokowi Harus Bagaimana?

Presiden Joko Widodo mengatakan anggaran subsidi yang seharusnya Rp 170 triliun, sudah membengkak hingga Rp 502 triliun.

oleh Maulandy Rizky Bayu KencanaArief Rahman HTira SantiaNatasha Khairunisa Amani diperbarui 03 Agu 2022, 00:00 WIB
Diterbitkan 03 Agu 2022, 00:00 WIB
Banner Infografis Subsidi BBM Bengkak hingga Rp 502 Triliun, Jokowi Harus Bagaimana? (Liputan6.com/Trieyasni)
Banner Infografis Subsidi BBM Bengkak hingga Rp 502 Triliun, Jokowi Harus Bagaimana? (Liputan6.com/Trieyasni)

Liputan6.com, Jakarta Subsidi Membengkak. Pemerintah mulai was-was dengan angka subsidi yang sudah digelontorkan untuk kebutuhan masyarakat.

Bagaimana tidak, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan jika anggaran subsidi BBM saja yang seharusnya Rp 170 triliun, sudah membengkak hingga Rp 502 triliun. Naiknya berlipat-lipat.

Dikatakan Jokowi, negara manapun di dunia tidak akan kuat menanggung beban subsidi sebesar itu. Padahal, angka subsidi ini bisa saja tambah bengkak, tergantung dari banyak faktor, mulai dari harga komoditas dunia hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Meski demikian, Jokowi lebih memilih memandang itu semua sebagai rasa syukur, bahwa pemerintah yang dipimpinnya masih kuat menahan bengkaknya anggaran subsidi, mulai dari subsidi BBM hingga listrik. "Tapi Alhamdulilah kita sampai saat ini masih kuat. Ini yang perlu kita syukuri," sambungnya.

Lagi Jokowi mencontohkan harga BBM di Indonesia yang masih lebih rendah dari negara lain. Harga bensin di negara lain mencapai Rp 31.000 sampai Rp 32.000 per liter. Sedangkan, harga Pertalite di Indonesia Rp 7.650 per liter.

"Kita patut bersyukur, Alhamdulilah kalau bensin di negara lain harganya sudah Rp 31.000, Rp 32.000. Di Indonesia Pertalilte masih harganya Rp7.650," ucapnya.

Jokowi menuturkan bahwa dunia saat ini sedang dalam kondisi yang tak baik-baik saja. Setelah dihantam pandemi Covid-19 hampir 2,5 tahun, dunia kini dihadapi dengan munculnya perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan krisis.

"Muncul sesuatu yang dadakan yang tidak kita perkirakan sebelumnya. Sakitnya belum sembuh, muncul yang namanya perang di Ukraina sehingga semuanya menjadi bertubi-tubi, menyulitkan hampir semua negara. Semua negara berada dalam posisi yang sangat sulit," jelas Jokowi.

Menurut dia, negara-negara di Asia, Afrika, dan Eropa yang menjadikan gandum sebagai makanan harian, saat ini berada dalam posisi yang sulit. Pasalnya, 77 juta ton gandum dari Ukraina tidak bisa keluar atau di ekspor akibat perang.

Peringatan IMF ke Indonesia

Permasalahan subsidi ini nampaknya juga menjadi perhatian internasional, seperti salah satunya Dana Moneter Internasional (IMF).

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, meminta Pemerintah RI agar lebih tepat sasaran dalam menggelontorkan program subsidi. Sehingga penyalurannya tidak bocor ke orang-orang kaya yang tak berhak menerima.

Georgieva menilai itu penting dilakukan Indonesia, agar program subsidi tepat sasaran bisa menopang pertumbuhan ekonomi di masa sulit.

Dia tak ingin semua orang bisa sembarang menikmati subsidi, semisal dalam membeli BBM jenis Pertalite atau LPG 3 kg.

"Sangat penting bagi kebijakan fiskal Indonesia untuk tetap fokus dalam memberikan bantuan dengan sasaran yang tepat. Bukan dengan memberikan subsidi kepada semua orang, termasuk yang kaya, tetapi fokus kepada mereka yang sangat membutuhkan," tegasnya.

Catatan itu diberikannya, lantaran pemerintah terlalu besar membelanjakan anggaran untuk program subsidi. Imbasnya, hal tersebut justru bakal makin mendorong inflasi.

 

Infografis Subsidi BBM Bengkak hingga Rp 502 Triliun, Jokowi Harus Bagaimana? (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Subsidi BBM Bengkak hingga Rp 502 Triliun, Jokowi Harus Bagaimana? (Liputan6.com/Trieyasni)

APBN Dinilai Masih Mampu

Ilustrasi subsidi BBM. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberi isyarat bakal menghapus kebijakan subsidi BBM dan listrik. (Via: teropongbisnis.com)
Ilustrasi subsidi BBM. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberi isyarat bakal menghapus kebijakan subsidi BBM dan listrik. (Via: teropongbisnis.com)

Pandangan optimisme masih dilontarkan anggota dewan. DPR memandang keuangan negara melalui APBN masih mampu menjadi penopang beban subsidi energi. Meski, diketahui angkanya mencapai sekitar Rp 502 triliun.

Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun memandang APBN masih mampu memberikan subsidi. Kendati, dengan harga minyak dunia yang sedang tinggi, pemerintah dalam kondisi sulit untuk menyalurkan subsidi dan kompensasi ke Pertamina dan PLN.

"Saat ini penerimaan negara masih cukup memadai untuk memberikan penguatan terhadap subsidi karena pertama ada SKB dengan BI sebesar Rp 224 triliun untuk APBN 2022 dan kemudian ada windfall penerimaan dari PNBP dan penerimaan pajak karena kenaikan harga komoditas dan kinerja ekspor kita yang sangat bagus," katanya kepada Liputan6.com.

Sehingga Misbakhun memandang penerimaan dari PNBP dan pajak dari harga komoditas masih bisa menopang kinerja penerimaan negara. Kemudian, juga bisa menutup defisit dan kinerja belanja pemerintah untuk tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan belanja modal pemerintah.

"Baik itu untuk membiayai infrastruktur, membiaya belanja rutin dan belanja modal serta lainnya," kata dia.

Terpisah, Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad melontarkan hal senada. Menurutnya, APBN memang didesain untuk menjadi shock absorber.

"Tujuannya adalah mengendalikan inflasi, menjaga daya beli rakyat, dan menjaga momentum pemulihan. Sebab kalau tidak demikian, guncangannya akan sangat keras bagi masyarakat. Daya beli akan melemah. Padahal, konsumsi domestik menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi kita," paparnya.

Artinya, beban subsidi terhadap APBN bukan menjadi suatu masalah. Dengan begitu, arus uang negara ini digunakan untuk sektor prioritas.

"Seharusnya tidak ada masalah jika APBN digunakan tepat kebijakan sesuai prioritas. Tidak diganggu-ganggu dengan pengeluaran lain yang datangnya tiba-tiba. Apalagi di kuartal I kemarin APBN kita mengalami surplus," kata dia.

"Semestinya APBN kita masih cukup kuat menopang subsidi energi hingga akhir tahun," tambahnya.

Stabilitas Sistem Keuangan Terjaga

Di kesempatan terpisah, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo senada mengungkapkan jika APBN masih mampu memenuhi anggaran subsidi BBM dan listrik.

"(Ketahanan APBN) Seperti kemarin disampaikan KSSK, kita cukup punya daya tahan untuk itu," kata Yustinus kepada Liputan6.com.

Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyatakan, stabilitas sistem keuangan Indonesia masih terjaga hingga Juni 2022 di tengah perekonomian global yang meningkat.

Hal tersebut berdasarkan hasil rapat koordinasi di kuartal II-2022 yang sudah dilakukan oleh KSSK, yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.

Anak buah Menteri Keuangan ini menegaskan, subsidi BBM dan listrik masih menjadi bantalan ekonomi untuk mencegah terjadinya inflasi yang tinggi.

"Iya (subsidi masih jadi bantalan), karena kondisinya masih pemulihan ekonomi ya, apalagi masyarakat yang paling terdampak harus dilindungi yang daya beli tidak cukup tak mampu, itu komitmen," ujarnya.

Ketika ditanya lebih lanjut terkait rencana penambahan subsidi, Yustinus mengatakan pihaknya masih menunggu langkah dari Kementerian ESDM, Pertamina, dan PLN. Sebab, dibutuhkan perhitungan yang matang sebelum Pemerintah menggelontorkan tambahan subsidi.

"Itu nanti nunggu bagaimana ESDM, Pertamina, PLN menghitung ya. Dan kita mintakan dari Banggar jika ada perubahan," ujarnya.

 

 

Sudah Diprediksi

Infografis Ragam Tanggapan Bengkaknya Subsidi BBM, Listrik hingga Elpiji. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Ragam Tanggapan Bengkaknya Subsidi BBM, Listrik hingga Elpiji. (Liputan6.com/Trieyasni)

 

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai prediksi habisnya kuota BBM subsidi, terutama Pertalite wajar terjadi. Ini mengingat konsumsi Pertalite meningkat tahun ini seiring hilangnya Premium dari pasaran.

Berdasarkan kalkulasi yang dilakukan Reforminer Institute, kebutuhan normal Premium adalah kisaran 28-30 juta kiloliter (kl), dengan asumsi sebelum ada program penghapusan Premium, konsumsi Pertalite sudah 22 juta kl. Sementara konsumsi Premium status terakhir sekitar 6-8 juta kl.

"Jadi wajar kalau 23 juta kl maksimal hanya sampai Agustus atau September 2022 karena itu menjadi penting agar ada pengaturan tepat sasaran," kata Komaidi.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede menilai salah satu solusi mengantisipasi habisnya kuota BBM subsidi dengan melakukan pengaturan penyaluran BBM subsidi secara tepat sasaran sehingga dapat menghindari terjadinya kelangkaan.

“Upaya Pertamina untuk menggunakan aplikasi digital jadi jalan untuk menyeleksi siapa-siapa saja yang berhak menerima BBM subsidi. Tinggal implementasi penggunaan aplikasi tersebut yang kini harus bisa disiapkan dan dieksekusi dengan baik,” kata dia, melansir Antara.

Menurutnya, akselerasi penerapan aplikasi bagi masyarakat dapat mengatasi hal ini, karena aplikasi dapat secara tepat mengatur jumlah konsumsi bagi masing-masing konsumen.

"Tidak seperti kuota yang cenderung masyarakat mampu dapat membeli Pertalite lebih banyak karena memiliki daya beli yang lebih besar," ungkap Josua.

Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM Luh Nyoman Puspa Dewi mengatakan efisiensi energi adalah cara paling murah untuk menghadapi krisis energi yang membuat nilai keekonomian energi sangat tinggi.

"Banyak negara sudah melakukan efisiensi energi. Ini adalah satu langkah yang paling tidak dapat kita lakukan tanpa biaya," kata Dewi.

Pada Juni 2022 Kementerian ESDM menyatakan harga energi dunia masih tinggi dipicu konflik geopolitik Rusia-Ukraina yang membuat minyak mentah Indonesia atau ICP menyentuh angka USD 104,22 per barel, elpiji harga Aramco senilai USD 750 per barel, batu bara acuan menembus harga USD 323,9 per ton.

Harga energi yang tinggi terutama minyak mentah tersebut membuat nilai keekonomian bensin Rp 18.000 per liter dan nilai keekonomian solar Rp 19.000 per liter.

Dewi menuturkan Indonesia masih bergantung terhadap impor BBM akibat penurunan produksi dan peningkatan konsumsi BBM, sehingga beberapa daerah di Indonesia mengalami krisis BBM.

"Konsumsi yang cukup tinggi di sektor transportasi mengakibatkan adanya (krisis BBM) di beberapa lokasi..., kemudian nilai keekonomian BBM yang tinggi membuat kita sangat sulit apabila tetap menerapkan subsidi," ujarnya.

Dikatakan jika Kementerian ESDM terus berupaya meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan sekaligus tetap menjaga keseimbangan dari Trilemma Energi guna membangun energi berkelanjutan.

Penerapan Trilemma Energi dilakukan dengan cara penambahan kapasitas pembangkit, distribusi yang adil, harga listrik terjangkau, dan dapat diterima masyarakat secara andal, berkualitas dan ramah lingkungan.

Dwi menjelaskan Trilema Energi terdiri dari tiga komponen yang saling berhubungan dan terikat. Pertama adalah kesetaraan energi yang harus mempertimbangkan keterjangkauan dan ketersediaan,

"Tersedia di sini artinya mandiri, kita sendiri mengelola sumber energi tersebut dan tidak tergantung dengan pihak manapun dan dikurangi ketergantungannya," jelas Dwi.

Kedua, komponen keamanan energi yang mengandung aspek aman dan dapat diandalkan. Komponen ini mengupayakan penyediaan energi yang memperhatikan rantai pasok yang ada di dalam negeri dan luar negeri, serta menyediakan infrastruktur yang ada untuk pelayanannya. Komponen ketiga adalah keberlanjutan lingkungan yang bersifat hijau dan bersih.

Kementerian ESDM menyiapkan pembangunan infrastruktur berbasis energi baru terbarukan dengan menggunakan sumber energi rendah karbon, salah satunya melalui peningkatan efisiensi energi dari sisi penawaran maupun permintaan.

 

Infografis Subsidi Harga BBM hingga Tarif Listrik Bakal Dihapus? (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Subsidi Harga BBM hingga Tarif Listrik Bakal Dihapus? (Liputan6.com/Trieyasni)

Pemerintah Harus Apa?

Ilustrasi Subsidi Listrik.
Ilustrasi Subsidi Listrik.

 

PT Pertamina (Persero) berencana melakukan pembatasan pembelian produk BBM subsidi seperti Pertalite. Namun, perusahaan pelat merah tersebut masih menunggu pemerintah yang kini tengah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menargetkan, revisi Perpres 191/2014 untuk membatasi pembelian Pertalite bisa diterapkan per Agustus 2022 ini.

Namun realitanya, pembelian Pertalite dan produk subsidi lainnya di SPBU Pertamina saat ini masih bisa dikonsumsi secara bebas.

Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting menyatakan, pihaknya saat ini menanggung beban subsidi BBM yang terlampau membengkak. Oleh karenanya, ia ingin kebijakan pembatasan pembelian Pertalite bisa segera diterapkan.

"Subsidi BBM yang nantinya akan sangat besar, ini akan menjadi beban bagi Pemerintah. Oleh karena itu harus segera dilakukan pengaturan penggunaan BBM Bersubsidi," tuturnya kepada Liputan6.com, Selasa (2/8/2022).

Kendati begitu, Pertamina masih harus bersabar menunggu aturan baru dari Perpres 191/2014. "Ini kita tunggu revisi Perpresnya," ujar Irto.

Saran dari Buruh ke Pemerintah

Bengkaknya anggaran subsidi ini juga menjadi perhatian kalangan buruh. Kelompok buruh memandang penghematan anggaran subsidi perlu lebih dulu dilakukan pejabat negara. Menyusul, angka subsidi energi mencapai Rp 502 triliun.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat menyampaikan pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif menikmati banyak uang negara. Alhasil, APBN menjadi boros.

Mirah memandang, di sektor energi saja, untuk BBM dan konsumsi listrik, pejabat sedikitnya menikmati subsidi dari pemerintah. Maka, hal itu perlu lebih dulu dibatasi atau disetop.

"Penghematan harus dimulai dari fasilitas-fasilitas apapun yang dirasakan pejabat ekskutif legislatif dan yudikatif, mereka gak boleh diberikan fasilitas gratis. saya kita mereka harus rasakan itu," katanya kepada Liputan6.com, Selasa (2/8/2022).

Jika keuangan negara masih menopang fasilitas itu, Mirah memandang APBN malah akan lebih kesulitan. Artinya, semakit berat dalam menopang subsidi.

"Jangan rakyat terus yang dipaksankan, rakyat itu sudah susah, upahnya murah, kemudian usaha juga sekarang sangat susah, usaha bisa tapi banyak yang gak beli," ujarnya.

Terkait alokasi subsidi, seperti listrik, ia menyebut kelompok buruh jarang mendapatkan subsidi. Alasannya, banyak yang menggunakan listrik prabayar.

Transisi Energi

Tingginya angka subsidi disebut jadi momentum transisi ke energi bersih. Tingginya angka subsidi dipengaruhi oleh konsumsi BBM subsidi yang juga dinilai berlebihan. Malah ditakutkan akan habis lebih dahulu sebelum tutup tahun 2022.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira memandang ini jadi momentum transisi ke energi hijau. Sehingga, diharapkan mampu menekan beban APBN atas subsidi energi fosil.

"Harus dibatasi itu penggunaan pertalite terutama untuk konsumsi-konsumsi kendaraan yang sifatnya pribadi, itu harus dibatasi dan memang harus segera mendorog transisi energi penggunaan mobil listrik dan sebagainya," kata dia kepada Liputan6.com, dikutip Rabu (2/8/2022).

"Karena memang peneggunaan BBM untuk sektor publik juga masih banyak jumlahnya," tambah dia.

Ketua Umum Asosiasi Pemasok Batubara Indonesia (Aspebindo) ini juga melihat transisi energi tak sebatas di sektor hilir. Tapi, perlu diikuti dengan komitmen peralihan di sektor hulu, seperti halnya pembangkit listrik.

Saat ini, sekitar 70 persen pembangkit listrik di dalam negeri menggunakan bahan baku fosil. Meski, telah ada wacana untuk beralih ke energi baru terbarukan (EBT).

"Penggunaan PLN untuk keperluan pembangkit-pembangkit kalau bisa memang ada pemanfaatan daripada gas, kita kan kaya akan sumber daya gas, nah ini untuk transisi energi ini sebaiknya diarahkan kesana," bebernya.

Melalui langkah itu, harapannya, konsumsi BBM fosil termasuk subsidi akan berkurang. Imbasnya, subsidi energi yang menggunakan uang negara pun bisa berkurang.

 

Bagaimana Kebijakan Subsidi di Negara Lain?

Uji Coba Beli Pertalite Pakai MyPertamina
Petugas melakukan pengisian bahan bakar pertalite di SPBU Pertamina Abdul Muis, Jakarta, Kamis (30/6/2022). PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Pertamina Patra Niaga, akan melakukan uji coba pembelian bahan bakar minyak (BBM) subsidi, Pertalite dan Solar, secara terbatas bagi pengguna yang sudah terdaftar pada sistem MyPertamina, mulai 1 Juli mendatang. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ternyata, memang tidak hanya Indonesia yang berstatus sebagai negara berkembang yang begitu mengandalkan subsidi demi menjaga daya beli masyarakat. Negara-negara di Eropa, mereka mempunya strategi masing-masing dalam menghdapi krisis energi dunia.

Italia

Italia, yang memutuskan untuk mengurangi ketergantungannya pada pasokan gas dari Rusia, telah menjanjikan subsidi bahan bakar senilai 14 miliar euro.

Negara itu juga berencana untuk memberikan bonus dana 200 euro kepada para oekerja yang berpenghasilan kurang lebih 35.000 euro setahun, dan menawarkan kredit pajak 20 persen untuk perusahaan padat energi yang melihat harga naik lebih dari 30 persen.

Di sisi lain, Italia telah mengumumkan niatnya untuk mengenakan pajak kepada perusahaan-perusahaan yang mengambil keuntungan dari harga energi yang lebih tinggi.

Spanyol

Seperti Italia, Spanyol juga memutuskan untuk mengenakan pajak kepada perusahaan energi yang mendapat keuntungan dari kenaikan harga energi dan menggunakan uang yang terkumpul untuk membantu warganya membayar tagihan.

Madrid telah memotong pajak pertambahan nilai (PPN) atas tagihan energi dari 21 persen menjadi 10 persen, sementara juga memotong pajak listrik dari 7 persen menjadi 0,5 persen.

Negara itu saat ini juga memberlakukan batasan harga gas selama satu tahun, yang disepakati oleh Komisi Eropa, yang memastikan harga tetap lebih rendah dari rata-rata 50 euro per megawatt-jam.

Perancis

Perancis juga menawarkan pembayaran satu kali kepada warganya untuk membantu menghadapi masa-masa sulit, meskipun hanya dengan dana bantuan senilai 100 euro - lebih rendah daripada di Inggris dan Italia.

Tetapi Perancis telah meningkatkan dukungan sumbernya, dengan mendesak penyedia energi milik negara EDF untuk membatasi kenaikan harga grosir listrik menjadi 4 persen selama setahun.

Langkah ini diperkirakan menelan biaya 8,4 miliar euro.

Pajak domestik negara atas konsumsi listrik final (TICFE) juga telah dibatasi dari 22,50 euro per megawatt per jam menjadi hanya 1 euro per megawatt per jam untuk rumah tangga, dan 0,50 eurp untuk bisnis.

Pemerintah Perancis menargetkan langkah ini untuk membatasi kenaikan harga listrik hingga 4 persen, dibandingkan dengan perkiraan 45 persen.

Jerman

Jerman, yang baru-baru ini berjuang untuk mengekang ketergantungannya pada gas Rusia, telah menyetujui dua paket bantuan dengan senilai 30 miliar euro untuk membantu warganya dengan kenaikan harga energi tahun ini.

Pemerintah Jerman akan menawarkan tarif tetap harga energi satu kali sebesar 300 euro kepada semua pembayar pajak, yang ditransfer kepada mereka melalui slip gaji.

Keluarga yang menerima tunjangan anak juga akan mendapatkan tambahan 100 euro per anak, sementara warga yang menerima tunjangan akan menerima pembayaran satu kali 200 euro.

Mereka yang mendapat bantuan perumahan juga akan mendapatkan top-up senilai 270 euro untuk orang-orang yang mendapat bantuan perumahan.

Negara ini juga menawarkan tiket angkutan umum bersubsidi.

Menurut data dari portal perbandingan harga Check24, sekitar 4,2 juta rumah tangga di Jerman pasti akan melihat tagihan listrik mereka naik rata-rata 63,7 persen tahun ini, sementara 3,6 juta akan menghadapi tagihan gas 62,3 persen lebih tinggi dari tahun lalu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya