Liputan6.com, Jakarta PT PLN (Persero) telah menaikan tarif listrik untuk pelanggan dengan daya 3.500 volt ampere (VA) ke atas per 1 Juli 2022. Di sisi lain, PLN tetap memberikan subsidi untuk pelanggan rumah tangga dengan daya 450 VA dan 900 VA yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Kendati begitu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengungkapkan, PLN masih harus berhadapan dengan risiko harga minyak mentah Indonesia (ICP), kurs mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), hingga inflasi.
Adapun mengacu pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 3 Tahun 2020, ada empat indikator dalam penentuan tarif listrik, yakni nilai tukar rupiah, ICP, inflasi, dan harga batubara acuan (HBA).
Advertisement
Namun, Mamit menilai, HBA masih cenderung aman karena harga acuannya sudah ditetapkan oleh pemerintah.
"Saya kira ICP masih cukup besar ya, karena saat ini jumlah PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel) masih cukup banyak di Indonesia, sehingga masih cukup signfikan. Jika mengacu kepada laporan keuangan semester I PLN, bahan bakar dan pelumas mengambil porsi 39 persen dari total beban usaha PLN," paparnya kepada Liputan6.com, Selasa (2/8/2022).
Menurut dia, PLN memang masih cukup kuat menanggung beban subsidi tarif listrik. Yang jadi masalah, perseroan masih terikat perjanjian jual beli listrik dengan pengembang swasta, atau Indepent Power Producers (IPP). Khususnya dengan pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara.
Â
Contoh Kontrak
Ambil contoh, IPP yang akan beroperasi tahun ini seperti PLTU Batang yang menggunakan skema ambil pasokan listrik terkontrak atau bayar denda, atau take or pay (TOP). Padahal konsumsi listrik cenderung belum tumbuh signifikan.
"Indikasinya ya masih oversuplai, kondisi listrik Jawa dan Sumatera yang masih 60 persen," ungkap Mamit.
Mamit berpendapat, PLN perlu mendongkrak strategi dengan cara meningkatkan penjualan listrik. Salah satunya dengan program kompor induksi, kendaraan listrik, pengembangan kawasan bisnis, dan kawasan industri.
"Tapi PLN tidak bisa sendiri, harus mendapatkan dukungan dari pemerintah," ujar Mamit.
Menindaklanjuti perkara subsidi tarif listrik ini, Liputan6.com sudah coba menghubungi PT PLN (Persero). Namun hingga berita ini tayang, perseroan belum memberikan tanggapan.
Â
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Subsidi Bengkak, Pembatasan Pembelian Pertalite Kian Mendesak
PT Pertamina (Persero) berencana melakukan pembatasan pembelian produk BBM subsidi seperti Pertalite. Namun, perusahaan pelat merah tersebut masih menunggu pemerintah yang kini tengah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menargetkan, revisi Perpres 191/2014 untuk membatasi pembelian Pertalite bisa diterapkan per Agustus 2022 ini.
Namun realitanya, pembelian Pertalite dan produk subsidi lainnya di SPBU Pertamina saat ini masih bisa dikonsumsi secara bebas.
Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting menyatakan, pihaknya saat ini menanggung beban subsidi BBM yang terlampau membengkak. Oleh karenanya, ia ingin kebijakan pembatasan pembelian Pertalite bisa segera diterapkan.
"Subsidi BBM yang nantinya akan sangat besar, ini akan menjadi beban bagi Pemerintah. Oleh karena itu harus segera dilakukan pengaturan penggunaan BBM Bersubsidi," tuturnya kepada Liputan6.com, Selasa (2/8/2022).
Kendati begitu, Pertamina masih harus bersabar menunggu aturan baru dari Perpres 191/2014. "Ini kita tunggu revisi Perpresnya," ujar Irto.
Sembari menunggu regulasi tersebut selesai, sejumlah pihak memproyeksikan stok BBM subsidi hanya kuat hingga September-Oktober 2022. Namun, Irto mengklaim pasokannya kini masih tercukupi.
"Untuk stok BBM kita dalam kondisi aman," kata Irto singkat.