Survei: Konsumen Hanya Mau Bayar 5 Persen Lebih Tinggi dari Tarif Ojol Saat Ini

Survei berjudul Persepsi Konsumen Terhadap Kenaikan Tarif Ojek Daring di Indonesia ini didapat hasil bahwa konsumen hanya bersedia membayar rata-rata lima persen lebih tinggi dari tarif ojek daring saat ini.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Agu 2022, 10:15 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2022, 10:15 WIB
Ojek Online Gunakan Pelindung Pembatas Antar Penumpang
Driver Grab Bike mengenakan Grab Protect pelindung yang membatasi antara pengemudi dan penumpang saat diluncurkan di Jakarta, Selasa (9/6/2020). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Hasil survei Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) menyebutkan, konsumen menilai kenaikan tarif ojek online (ojol) yang akan berlaku terlalu tinggi .

Karena itu, Ketua Tim Peneliti RISED, Rumayya Batubara menyatakan jika keputusan kenaikan tarif ojol tersebut patut ditinjau ulang.

Ia menjelaskan, pada survei berjudul Persepsi Konsumen Terhadap Kenaikan Tarif Ojek Daring di Indonesia ini didapat hasil bahwa konsumen hanya bersedia membayar rata-rata lima persen lebih tinggi dari tarif ojek daring saat ini.

"Karenanya, mayoritas atau sekitar 73,8 persen konsumen meminta pemerintah mengkaji ulang tingkat kenaikan tarif ojek daring tersebut," katanya, dikutip dari Antara, Sabtu (27/8/2022).

Menurut konsumen, kebijakan tarif baru ini terlalu mahal, batasan tarif per zona juga tidak mencerminkan daya beli masyarakat di masing-masing wilayah dan tarif yang sudah berlaku sekarang sudah sesuai.

Riset menemukan bahwa mayoritas konsumen hanya mampu memberikan tambahan biaya sebesar Rp500-Rp3.000 untuk setiap perjalanan yang dilakukan menggunakan layanan ojek daring.

Bila dilihat dari segi tambahan biaya per hari, konsumen ojek online hanya bersedia membayar biaya tambahan sebesar Rp1.000-Rp20.000 per hari atau maksimum sekitar Rp 1.600 per kilometer (km).

 

 

 

Inflasi-macet

FOTO: Minim Pengawasan, Ojol Masih Berkerumun saat Menunggu Penumpang
Pengemudi ojek online (ojol) memenuhi bahu jalan saat menunggu penumpang di kawasan Cililitan, Jakarta, Rabu (16/9/2020). Pemprov DKI Jakarta telah melarang ojol dan ojek pangkalan berkumpul lebih dari lima orang serta menjaga jarak sepeda motor minimal dua meter. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Dia juga menilai, kenaikan tarif bisa berdampak buruk ke tingkat inflasi dan tingkat kemacetan.

Ekonom Universitas Airlangga ini menyebutkan, situasi makro ekonomi saat ini tidak kondusif karena terjadi kenaikan inflasi danada rencana akan ada kenaikan biaya bahan bakar minyak akan membuat daya beli konsumen semakin tertekan.

“Di kondisi seperti ini, kenaikan tarif terlalu tinggi akan membuat konsumen beralih ke kendaraan pribadi," katanya.

Terbukti, hasil survei menyebutkan, sebanyak 53,3 persen konsumen akan kembali menggunakan kendaraan pribadi, jika kenaikan tarif ini jadi diberlakukan.

Artinya, hal itu akan memperparah kemacetan yang terjadi di kota-kota besar.

Survei dilaksanakan pada 1.000 konsumen pengguna ojek daring di sembilan kota besar di Indonesia yang mewakili ketiga zona yang diatur di dalam Kepmenhub Nomor 564/2022.

Waktu penelitian pada 19-22 Agustus 2022, sedangkan "margin of error" berada di kisaran 1,03 persen. 

Awas, Tarif Ojol Naik Bisa Bebani Konsumen

Aturan Ojek Online Terbaru Resmi Dirilis
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di Senayan, Jakarta, Selasa (19/3). Kemenhub mengeluarkan Permen No.12 tahun 2019 tentang perlindungan keselamatan pengguna motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan menaikkan tarif ojek daring atau ojol hingga 30 persen pada akhir bulan ini.

Kenaikan tarif yang diatur melalui Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 Tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi, yang terbit pada 4 Agustus lalu, dinilai kontraproduktif.

Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto menilai, regulasi yang diterbitkan ini menjadi tidak fair bagi public transport yang lain.

"Bahkan memunculkan pertanyaan, ada apa dengan Kemenhub sehingga mudah membuat regulasi anyar terkait tarif ojol, sedangkan untuk publik transport lain yang notebene sudah lama tarif tidak dievaluasi," ujar Agus, kepada media, Rabu (24/8/2022).

Menurut Agus, keputusan kenaikan itu juga terkesan tidak memberi ruang kepada konsumen. Ia menbandingkan, dengan public transport lain yang peran penentuan tarif lebih besar ada di tangan pemerintah dengan masukan dari berbagai pihak, termasuk konsumen.

Di sisi lain dalam kondisi saat ini, kenaikan tarif ojol jika tidak mempertimbangkan daya beli konsumen akan kontraproduktif bagi konsumen dan terutama para driver ojol itu sendiri.

"Ini berpotensi mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap ketergantungan ojol," ujarnya.

Jika kebijakan menaikkan batas tarif dengan alasan menambah pendapatan bagi driver, hal ini perlu dijelaskan lebih lanjut.

Waktunya Kurang Tepat

Ojek Online Gunakan Pelindung Pembatas Antar Penumpang
Driver Grab Bike mengenakan Grab Protect pelindung yang membatasi antara pengemudi dan penumpang saat diluncurkan di Jakarta, Selasa (9/6/2020). Penumpang ojek online (ojol) kini tak perlu khawatir menggunakan transportasi ini di tengah pandemi Corona. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai, menaikkan tarif ojol di tengah kondisi masyarakat yang sedang susah sekarang, juga tidak tepat.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemenhub itu harus benar-benar dikaji. Bila kenaikan terif tetap dilakukan, kata dia, maka banyak yang dirugikan.

Kenaikan tarif yang akan dilakukan Kemenhub, kata dia, sebaiknya tidak dilaksanakan. Karena menurut dia, Ojol ini bukan sarana transportasi umum, yang dilindungi oleh Undang-Undang.

"Sebaiknya aturan ini dievaluasi atau dibatalkan saja," kata dia.

Ekonom Indef Nailul Huda menilai, rencana kenaikan tarif ojol yang akan dilakukan diberlakukan pemerintah pada akhir bulan ini, terkesan tidak melihat dari berbagai sisi, terutama dari aspek konsumen.

Disampaikan Nailul, bentuk industri dari transportasi online, termasuk ojek online, adalah multisided-market dimana ada banyak jenis konsumen yang "dilayani” oleh sebuah platform. Bukan hanya dari sisi mitra driver saja, namun juga dari sisi konsumen akhir/penumpang dan pelaku UMKM (mitra penjual makanan-minuman).

"Perubahan cost dari sisi mitra driver akan mempengaruhi perubahan di sisi konsumen penumpang dan pelaku UMKM. Dari sisi konsumen penumpang sudah pasti ada penurunan permintaan, sesuai hukum ekonomi. Jika permintaan industri bersifat elastis, sudah pasti mitra driver yang akan rugi karena secara total pendapatan akan menurun. Maka hal ini kontradiktif dengan kesejahteraan mitra driver yang ingin dicapai dengan adanya perubahan ini," ucap Nailul Huda.

Hal negatif lain, yang akan terdampak imbas kenaikan tarif ojol yang tinggi, yaitu ada perpindahan transportasi masyarakat dimana sebagian akan pindah ke transportasi umum dan sebagian akan menggunakan kendaraan pribadi.

Menurut Nailul, perpindahan ke transportasi umum bisa dibilang akan meningkatkan biaya transportasi masyarakat dimana perjalanan masyarakat akan semakin panjang dan sebagian besar belum terintegrasi moda transportasi umum di kota-kota Indonesia.

"Ada biaya transportasi yang kemungkinan meningkat dan bisa menyebabkan inflasi secara umum. Inflasi transportasi per Juli 2022 cukup tinggi dimana secara YoY di level 6.65 persen, tertinggi kedua setelah makanan, minuman, dan tembakau. Jika menggunakan kendaraan pribadi akan menambah kemacetan dan kerugian ekonomi akan bertambah," tegas Nailul.

Infografis Tips Aman Naik Ojek Online Saat Pandemi. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Tips Aman Naik Ojek Online Saat Pandemi. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya