Liputan6.com, Jakarta - China kembali memberlakukan lockdown di sejumlah kota, dalam upaya negara itu meredam penularan Covid-19.
Dilansir dari Aljazeera, Rabu (31/8/2022) di pusat teknologi Shenzhen, pejabat setempat menangguhkan acara besar dan memerintahkan penutupan tempat hiburan dan pusat perbelanjaan grosir di distrik Longhua, menyusul pengumuman tindakan serupa sehari sebelumnya di tiga distrik lainnya.
Baca Juga
Penutupan kawasan bisnis di Shenzhen, China termasuk pasar elektronik terbesar di dunia. Hampir setengah dari 18 juta penduduk kota itu berada di bawah pembatasan Covid-19 yang ketat.
Advertisement
"Pasar bisa sekali lagi terpukul dalam beberapa minggu ke depan, kemungkinan memicu pemangkasan proyeksi lagi oleh para ekonom," kata Nomura dalam sebuah catatan pada Selasa (30/8), menyoroti besarnya dampak pembatasan baru di kota-kota China seperti Shenzhen.
Selain Shenzhen, pihak berwenang di provinsi Hebei juga menghimbau hampir empat juta orang untuk tetap berada di rumah mereka, sampai akhir pekan ketika para pejabat bergegas untuk mengendalikan wabah kecil Covid-19.
Lockdown terkait Covid-19 juga diberlakukan di Dalian, yang dikenal dengan pelabuhannya. Sekitar tiga juta penduduk kota itu terdampak lockdown hingga akhir pekan.
Adapun Tianjin, sebuah kota pelabuhan di timur laut China, di mana pihak berwenang mengumumkan bahwa lebih dari 13 juta penduduk harus menjalani tes massal mulai pukul 6 pagi setelah ditemukannya 51 kasus baru Covid-19.
Ekonomi China nyaris tidak terhindar dari kontraksi selama kuartal April-Juni karena lockdown dan pembatasan terkait Covid-19 menghambat aktivitas ekonomi, dengan produk domestik bruto (PDB) meningkat hanya 0,4 persen YoY.
Meski Ada Covid-19, JD.com Masih Cuan di China
Perusahaan e-commerce JD.com mencatat pertumbuhan pendapatan yang lebih tinggi dari perkiraan, meski pembatasan Covid-19 masih menghantui ekonomi di China.
JD.com mendapat dorongan dari profitabilitas yang lebih baik di divisi bisnis ritel dan logistik utamanya, dibantu oleh naiknya permintaan saat festival belanja tahunan 618 yang berlangsung di China pada bulan Juni.
Dilansir dari CNBC International, Rabu (24/8/2022) JD.com mencatat pendapatan senilai 267,6 miliar yuan atau setara Rp 579,2 triliun, melampaui perkiraan 262,3 miliar yuan, atau naik 5,4 persen Yoy.
Sebagian besar pendapatan JD.com didapatkan dari segmen ritel. Divisi ini menghasilkan pendapatan 241,5 miliar yuan (Rp 522,7 triliun) pada kuartal kedua, naik hampir 4 persen.
Laba operasional untuk bisnis ritel JD.com juga naik 36 persen YoY menjadi 8,17 miliar yuan (Rp 17,6 triliun).
"Kami senang mencatat pertumbuhan yang melampaui industri selama periode yang menantang, serta profitabilitas dan arus kas yang sehat," kata Sandy Xu, kepala keuangan JD.com dalam siaran pers.
"Penekanan kami pada disiplin keuangan dan efisiensi operasional telah memungkinkan kami untuk kembali kepada pemegang saham dalam bentuk pembelian kembali saham serta dividen tunai khusus yang diterbitkan selama kuartal tersebut. Kami akan terus fokus untuk menghasilkan pengembalian pemegang saham yang kuat sambil mempertahankan komitmen kami untuk berinvestasi. untuk jangka panjang," jelasnya.
Sebelumnya, pada Juni 2022, JD.com melaporkan bahwa total volume transaksi di seluruh platformnya selama periode promosi berjumlah 379,3 miliar yuan.
Adapun divisi logistik JD.com yang juga melihat peningkatan pendapatan hingga 20 persen pada kuartal kedua menjadi 31,2 miliar yuan (Rp 67,5 triliun).
Advertisement
Covid-19 Hambat Ekonomi China, Perusahaan Kakap Alibaba dan Tencent Perketat Pinggang
Pertumbuhan pendapatan JD.com dilaporkan ketika ekonomi China tumbuh hanya 0,4 persen di kuartal kedua, yang dipicu dari perlambatan yang disebabkan oleh lockdown Covid-19.
Namun JD.com bukan satu-satunya perusahaan teknologi China yang terkena dampak dari perlambatan ekonomi.
Bulan ini, perusahaan e-commerce lainnya, yaitu Alibaba melaporkan pendapatan yang kecil untuk pertama kalinya sementara raksasa game dan media sosial Tencent melaporkan penurunan pendapatan pertamanya.
Karena pendapatan tetap berada di bawah tekanan, baik Alibaba maupun Tencent disebut lebih disiplin saat ini dalam pendekatan mereka terhadap pengeluaran.
"Selama kuartal kedua, kami secara aktif keluar dari bisnis non-inti, memperketat pengeluaran pemasaran kami, dan memangkas biaya operasional," ungkap CEO Tencent Ma Huateng kepada analis.
"Ini memungkinkan kami untuk meningkatkan pendapatan secara berurutan meskipun dalam kondisi yang sulit," jelasnya.
Adapun Presiden Tencent Martin Lau yang mengatakan bahwa perusahaannya keluar dari bisnis non-inti seperti pendidikan online, e-commerce, dan game dari layanan streaming langsung.
Perusahaan juga memperketat pengeluaran pemasaran dan mengurangi area investasi yang rendah seperti akuisisi pengguna. Beban penjualan dan pemasaran Tencent turun 21 persen YoY di kuartal kedua.
Jumlah karyawan perusahaan yang berkantor pusat di Shenzhen juga turun hingga 5.000 personel dibandingkan kuartal pertama.
Sementara itu, Chief strategy officer di Tencent yakni James Mitchell meyakini bahwa dengan inisiatif ini ditambah investasi di area baru, perusahaan dapat "mengembalikan bisnis ke pertumbuhan pendapatan year-on-year, bahkan jika lingkungan makro tetap seperti sekarang ini dan bahkan jika pertumbuhan pendapatan tetap datar".