Saat Inflasi Tinggi Jadi Perhatian Global, Apa Penyebabnya?

Saat pandemi COVID-19 berlangsung, ada adopsi digital yang masif. Hal ini turut membuka literasi mengenai investasi.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 27 Sep 2022, 11:09 WIB
Diterbitkan 13 Sep 2022, 12:16 WIB
Indeks harga konsumen Amerika Serikat
Pelanggan menelusuri kios makanan di dalam Grand Central Market di pusat kota Los Angeles, California, Jumat (11/3/2022). Laju inflasi Amerika Serikat (AS) pada Februari 2022 melonjak ke level tertinggi dalam 40 tahun. Ini didorong naiknya harga bensin, makanan dan perumahan. (Patrick T. FALLON/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Belum pulih dari pandemi COVID-19, dunia kini tengah dilanda inflasi global. Secara garis besar, Head of Research / Portfolio Manager PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR), Herman Koeswanto, CFA menerangkan inflasi ini disebabkan tidak seimbangnya persediaan (supply) dan demand (permintaan).

Di tengah tren pemulihan ekonomi, Herman mencermati adanya pertumbuhan permintaan. Asal tahu saja, pemerintah di banyak negara menggulirkan stimulus jumbo untuk menjaga daya beli masyarakat selama krisis. Kebijakan itu turut mendorong tingginya permintaan saat ekonomi dibuka.

"Saat terjadi pembukaan ekonomi, orang-orang mau belanja, traveling.  Jadinya supply dan demand tidak belance, demand-nya loncat tinggi, tapi supply nya tidak loncat," kata Herman dalam Money Buzz, Selasa (13/9/2022).

Saat pandemi COVID-19 berlangsung, Herman mencermati adanya adopsi digital yang masif. Hal ini turut membuka literasi mengenai investasi sebagai salah satu upaya untuk tetap memiliki aset ketika krisis. Sehingga jumlah investor ritel di banyak negara tumbuh signifikan selama periode itu.

"Sejak Covid, retail investor di mana-mana naik mendominasi pasar. Itu sebabkan banyak orang yang bisa mengerti bagaimana menangani krisis. Sementara dari sisi supply belum kembali normal," imbuh dia.

Mulanya, banyak orang yang tak yakin pemulihan ekonomi akan berlangsung cepat. Sehingga terjadi pemutusan kerja dan berbagai upaya lainnya untuk menekan biaya yang sebabkan perlambatan supply.

Di sisi lain, pandemi Covid-19 merupakan fenomena pertama, sehingga muncul ketidak pastian mengenai langkah apa yang sebaiknya diambil untuk memitigasi risiko dari krisis itu.

Namun, tak disangka vaksin ditemukan, sehingga pemulihan dapat terakselerasi. "Kejadian di tengah covid ini belum pernah terjadi sebelumnya. Jadi itu sebabkan supply disruption. Banyak global supply chain yang terhambat dari sisi produksi, logistik, pabrik. Tidak disangka vaksin ditemukan dan pemulihan berjalan relatif cepat,” kata Herman.

 

Jokowi Targetkan inflasi Tahun Ini di Bawah 5 Persen

Selama PPKM, Inflasi Agustus 2021 Diperkirakan 0,04 Persen
Pedagang melayani pembeli kebutuhan pokok di kiosnya di Pasar Lembang, Tangerang, Selasa (24/8/2021). Bank Indonesia (BI) memperkirakan, Indeks Harga Konsumen (IHK) alias inflasi akan berlanjut pada bulan Agustus 2021. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta pemerintah daerah untuk bekerja sama mengendalikan laju inflasi di Indonesia tahun ini. Jokowi menargetkan inflasi bisa berada dibawah 5 persen pada tahun ini.

Jokowi menyampaikan bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) berpotensi membuat inflasi naik hingga 1,8 persen. Untuk itu, kepala daerah dan pemerintah pusat harus bekerja secara serentak dalam mengatasi hal ini.

"Saya minta gubernur bupati wali kota agar daerah bersama pemerintah pusat kerja bersama sama seperti saat kita bekerja secara serentak dalam mengatasi covid," kata Jokowi saat memimpin rapat Pembahasan Pengendalian Inflasi dengan Seluruh Kepala Daerah secara virtual di Istana Negara Jakarta, Senin (12/9/2022).

"Saya yakin Insya Allah bisa kita lakukan sehingga inflasi di tahun ini kita harapkan bisa dikendalikan dibawah 5 (persen)," sambungnya.

Untuk mengendalikan inflasi, dia mengatakan pemerintah daerah bisa mengalihkan 2 persen anggaran dari dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) ke subsidi. Misalnya, dalam bentuk bantuan sosial (bansos) kepada rakyat yang membutuhkan.

"Ini 2 persen bisa digunakan untuk subsidi dalam rangka menyelesaikan akibat dari penyesuaian harga BBM, 2 persen, bentuknya bisa bansos, terutama pada rakyat yang sangat membutuhkan," ujarnya.

Selain itu, Jokowi menuturkan subsidi ini juga bisa diberikan untuk membantu nelayan atau pengemudi ojek yang menggunakan solar dan BBM. Kemudian, anggaran 2 persen itu bisa dimanfaatkan untuk membantu UMKM dengan cara, membeli bahan baku.

"UMKM bisa juga dibantu dalam pembelian bahan baku yang naik karena kemarin ada penyesuaian harga BBM, transportasi umum juga bisa dibantu kenaikan tarifnya berapa aja dibantu, bukan total dibantu, tetapi kenaikan tarif yang terjadi bisa dibantu lewat subsidi," kata Jokowi.

Jokowi Minta Pemerintah Daerah Manfaatkan Anggaran Tak Terduga

Jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pemerintah pusat menyalurkan berbagai skema program perlindungan sosial dan bersifat cash transfer dalam Rakornas Pengendalian Inflasi Tahun 2020 pada Kamis (22/10/2020). (Biro Pers Sekretariat Presiden/Lukas)

Tak hanya itu, dia meminta pemerintah daerah memanfaatkan anggaran belanja tak terduga untuk subsidi biaya transportasi angkut barang antar daerah. Jokowi meyakini apabila hal ini dilakukan semua daerah, maka laju inflasi bisa ditahan.

"Belanja tidak terduga ini bisa digunakan untuk membantu biaya transportasinya. Artinya, misalnya harga bawang merah naik, bawang merah banyak berasal dari Brebes, misalnya ini provinsinya Lampung, Brebes-Lampung berapa biaya transportasinya? 3 juta, ini yang ditutup 3 juta oleh pemda," pungkas dia.

"Sehingga harga yang terjadi harga petani di Brebes kemudian sama dengan harga yang ada di pasar. Kalau itu semua daerah melakukan ini kita akan bisa mehanan inflasi agar tidak naik," sambung Jokowi.

Harga BBM Naik, Bos Kadin Wanti-Wanti Pemerintah Kendalikan Inflasi

20161003-Pasar Tebet-Jakarta- Angga Yuniar
Pedagang merapikan barang dagangannya di Tebet, Jakarta, Senin (3/10). Secara umum, bahan makanan deflasi tapi ada kenaikan cabai merah sehingga peranannya mengalami inflasi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah resmi menaikan harga BBM atau bahan bakar minyak untuk mengurangi beban berat keuangan negara akibat subsidi energi yang terus membengkak. Seperti diketahui, saat ini subsidi BBM kurang lebih mencapai Rp502,4 triliun atau menghabiskan sekitar 25 persen APBN 2022.

Terkait kenaikan harga BBM ini, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Arsjad Rasjid menilai kondisi perekonomian global, termasuk Indonesia sedang dalam masa pemulihan dan trennya terus membaik serta mengarah pada pertumbuhan.

Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi, seperti risiko resesi global, inflasi energi dan juga pangan dikarenakan daripada Perang Rusia-Ukraina.

“Kondisi ini yang membuat kita juga harus memiliki strategi, termasuk dalam persoalan fiskal. Dalam kondisi pemulihan dan ancaman resesi global, ruang fiskal kita butuh keleluasaan untuk bergerak lincah menjaga keseimbangan keuangan negara dan dorongan agar ekonomi tetap tumbuh. Jika ruang fiskal kita sempit akibat keuangan negara habis untuk subsidi BBM, sektor prioritas lainnya seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, pangan dan lainnya akan terkena imbas,” kata Arsjad Rasjid, Kamis (8/9/2022) di Jakarta.

Mengenai adanya kenaikan inflasi seperti yang dikatakan Presiden Jokowi, Arsjad meminta pemerintah segera mengambil langkah strategis dan mitigasi terkait inflasi dan belajar dari kenaikan BBM yang lalu-lalu.

Berdasarkan data BPS, dampak kenaikan harga BBM pada 2005 mendorong inflasi mencapai 17 persen. Sementara itu, saat kenaikan harga BBM pada 2013 besaran inflasi 8,38 persen dan pada 2014 sebesar 8,36 persen.

“Saat ini subsidi kita menghabiskan sekitar 25 persen APBN 2022. Ini angka yang sangat besar. Persoalannya, sekitar 70 persen subsidi BBM ini dinikmati oleh kelompok yang mampu. Hal ini memperlihatkan subsidi BBM tidak tepat sasaran. Padahal tujuan utama dari alokasi subsidi adalah untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat pada golongan pra-sejahtera,” ujar dia.

Perkuat Bansos dan Percepat Transisi Energi

Akibat Covid-19, BPS Catat Inflasi Sebesar 0,08 Persen Pada April
Pedagang menata dagangannya di Pasar Senen, Jakarta, Selasa (5/5/2020). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada April 2020 sebesar 0,08% yang disebabkan permintaan barang dan jasa turun drastis akibat pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Arsjad menambahkan, masyarakat miskin dan rentan memerlukan bantuan yang lebih tepat. Langkah pemerintah untuk mengalokasi 25 persen dana APBN ini dengan bansos atau BLT sudah tepat agar Indonesia bisa keluar dari jeratan subsidi bahan bakar minyak yang buruk untuk lingkungan.

Selain itu, dana subsidi BBM yang sebesar itu akan berdampak besar bagi masa depan jika dialokasikan untuk membangun 200 ribu SD, 40 ribu Puskesmas dan 3 ribu RS di daerah 3T.

“Saat ini, untuk mencegah dampak sosial bagi kelompok masyarakat rentan, pemerintah menggelontorkan BLT untuk keluarga pra-sejahtera, kelompok rentan seperti nelayan dan petani dan masyarakat miskin serta BSU bagi karyawan untuk menjaga daya beli serta mobilitas mereka. Adapun pemerintah sendiri menambah alokasi bansos sebesar Rp24,17 triliun tahun ini. Itu sangat tepat,” tutur Arsjad.

Dari sudut dunia usaha, Arsjad mengakui kenaikan BBM ini memang pastinya akan menimbulkan kenaikan harga di beberapa sektor terutama transportasi dan logistik. Akibat biaya logistik yang naik, barang dan jasa juga akan terkerek naik terutama di UMKM yang ketergantungan akan BBM tinggi. Namun, sambung Arsjad, tidak ada cara lain untuk menanggung konsekuensi ini bersama.

“Secara persentase kenaikan BBM bersubsidi pertalite sebesar 30 persen dan solar 32 persen. Dengan kontribusi BBM terhadap inflasi sebesar 4 persen pada Juli 2022, maka penyesuaian kenaikan harga produk sekitar 12-13 persen dari harga semula. KADIN Indonesia menghitung industri berskala besar dan sedang tidak akan terlalu terdampak karena menggunakan BBM nonsubsidi. Namun, untuk skala UMKM tentu akan langsung menyesuaikan, sehingga perlu insentif seperti subsidi bunga KUR, insentif pajak hingga permodalan,” kata dia.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya