Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai USD 330 miliar pada 2030. Perkiraan itu salah satunya merujuk pada jumlah generasi muda produktif yang umumnya melek teknologi. Tahun lalu saja, nilai ekonomi digital Indonesia sudah mencapai USD 70 miliar atau sekitar 7 persen dari GDP Indonesia.
Head of Research / Portfolio Manager PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR), Herman Koeswanto menerangkan, generasi saat ini memasuki era new economy berbasis digital yang memungkinkan orang bekerja lebih produktif dan efisien. Bahkan tak menutup kemungkinan untuk meraup pundi-pundi dari pekerjaan sampingan (side job).
"Menurut saya generasi muda saat ini memiliki banyak alternatif. Itu sebabkan fenomena multi earner era. Di mana banyak orang yang income-nya bukan hanya dari gaji. Tapi juga dari misalnya influencer, content maker, freelancer, reseller, dan lainnya," ujar Herman dalam Money Buzz, Selasa (13/9/2022).
Advertisement
Untuk itu, ia menyarankan agar generasi saat ini tak skeptis dengan perkembangan banyak platform yang memiliki peluang cuan. Suka tidak suka, perkembangan ekonomi terbaru memang menyasar ke sana. Sehingga tak ada salahnya membekali diri dengan kemampuan cetak uang lewat platform, seperti TikTok misalnya.
“Just be open minded sama aplikasi-aplikasi ini. Jangan hanya sebagai konsumen, tapi juga cari tahu apa apa yang bisa dimanfaatkan dari platform digital. Bagaimana cara bisa hasilkan uang dan dagang lewat platform tersebut,” imbuh dia.
Meski begitu, Herman mengakui tak semua orang bisa lihai berselancar di aplikasi-aplikasi yang saat ini banyak lahirkan jutawan muda. Beberapa rupanya ada yang masih enggan ikuti arus karena satu dan lain hal.
Saat Inflasi Tinggi Jadi Perhatian Global, Apa Penyebabnya?
Sebelumnya, belum pulih dari pandemi COVID-19, dunia kini tengah dilanda inflasi global. Secara garis besar, Head of Research / Portfolio Manager PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR), Herman Koeswanto, CFA menerangkan inflasi ini disebabkan tidak seimbangnya persediaan (supply) dan demand (permintaan).
Di tengah tren pemulihan ekonomi, Herman mencermati adanya pertumbuhan permintaan. Asal tahu saja, pemerintah di banyak negara menggulirkan stimulus jumbo untuk menjaga daya beli masyarakat selama krisis. Kebijakan itu turut mendorong tingginya permintaan saat ekonomi dibuka.
"Saat terjadi pembukaan ekonomi, orang-orang mau belanja, traveling. Jadinya supply dan demand tidak belance, demand-nya loncat tinggi, tapi supply nya tidak loncat," kata Herman dalam Money Buzz, Selasa (13/9/2022).
Saat pandemi COVID-19 berlangsung, Herman mencermati adanya adopsi digital yang masif. Hal ini turut membuka literasi mengenai investasi sebagai salah satu upaya untuk tetap memiliki aset ketika krisis. Sehingga jumlah investor ritel di banyak negara tumbuh signifikan selama periode itu.
Advertisement
Selanjutnya
"Sejak Covid, retail investor di mana-mana naik mendominasi pasar. Itu sebabkan banyak orang yang bisa mengerti bagaimana menangani krisis. Sementara dari sisi supply belum kembali normal," imbuh dia.
Mulanya, banyak orang yang tak yakin pemulihan ekonomi akan berlangsung cepat. Sehingga terjadi pemutusan kerja dan berbagai upaya lainnya untuk menekan biaya yang sebabkan perlambatan supply.
Di sisi lain, pandemi Covid-19 merupakan fenomena pertama, sehingga muncul ketidak pastian mengenai langkah apa yang sebaiknya diambil untuk memitigasi risiko dari krisis itu.
Namun, tak disangka vaksin ditemukan, sehingga pemulihan dapat terakselerasi. "Kejadian di tengah covid ini belum pernah terjadi sebelumnya. Jadi itu sebabkan supply disruption. Banyak global supply chain yang terhambat dari sisi produksi, logistik, pabrik. Tidak disangka vaksin ditemukan dan pemulihan berjalan relatif cepat,” kata Herman.
Jokowi Targetkan Inflasi Tahun Ini di Bawah 5 Persen
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta pemerintah daerah untuk bekerja sama mengendalikan laju inflasi di Indonesia tahun ini. Jokowi menargetkan inflasi bisa berada dibawah 5 persen pada tahun ini.
Jokowi menyampaikan bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) berpotensi membuat inflasi naik hingga 1,8 persen. Untuk itu, kepala daerah dan pemerintah pusat harus bekerja secara serentak dalam mengatasi hal ini.
"Saya minta gubernur bupati wali kota agar daerah bersama pemerintah pusat kerja bersama sama seperti saat kita bekerja secara serentak dalam mengatasi covid," kata Jokowi saat memimpin rapat Pembahasan Pengendalian Inflasi dengan Seluruh Kepala Daerah secara virtual di Istana Negara Jakarta, Senin (12/9/2022).
"Saya yakin Insya Allah bisa kita lakukan sehingga inflasi di tahun ini kita harapkan bisa dikendalikan dibawah 5 (persen)," sambungnya.
Untuk mengendalikan inflasi, dia mengatakan pemerintah daerah bisa mengalihkan 2 persen anggaran dari dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) ke subsidi. Misalnya, dalam bentuk bantuan sosial (bansos) kepada rakyat yang membutuhkan.
"Ini 2 persen bisa digunakan untuk subsidi dalam rangka menyelesaikan akibat dari penyesuaian harga BBM, 2 persen, bentuknya bisa bansos, terutama pada rakyat yang sangat membutuhkan," ujarnya.
Selain itu, Jokowi menuturkan subsidi ini juga bisa diberikan untuk membantu nelayan atau pengemudi ojek yang menggunakan solar dan BBM. Kemudian, anggaran 2 persen itu bisa dimanfaatkan untuk membantu UMKM dengan cara, membeli bahan baku.
"UMKM bisa juga dibantu dalam pembelian bahan baku yang naik karena kemarin ada penyesuaian harga BBM, transportasi umum juga bisa dibantu kenaikan tarifnya berapa aja dibantu, bukan total dibantu, tetapi kenaikan tarif yang terjadi bisa dibantu lewat subsidi," kata Jokowi.
Advertisement