Liputan6.com, Jakarta - G20 punya kekuatan besar untuk bisa mengatasi krisis global. Hal ini pernah terjadi juga pada krisis yang terjadi pada 2008. Namun memang, potensi krisis global kali ini lebih besar dengan adanya ancaman perang nuklir beberapa negara.
"Kita hadapi tantangan yang lebih besar lagi, karena ini ada ancaman perang nuklir," kata Presiden Persatuan Antar-Parlemen atau President of Inter-Parliamentary Union (IPU), Duarte Pacheco dalam pembukaan The 8th G20 Parliamentary Speaker's Summit (P20) di Gedung DPR-MPR, Jakarta, Kamis (6/10/2022).
Baca Juga
Duarte mengatakan, sebagai perkumpulan Parlemen Negara G20 harus bisa bertindak dan bertanggungjawab atas nama rakyat. Sebab menurutnya tidak akan ada pembangunan tanpa adanya perdamaian, begitu juga sebaliknya.
Advertisement
"Tidak ada kan ada perdamaian tanpa pembangunan dan tak ada pembangunan tanpa perdamaian," kata dia.
Pembangunan berkelanjutan juga harus menjunjung tinggi penghormatan terhadap kebebasan fundamental. Agar kebijakan tetap fokus untuk masyarakat, maka perlu bagi negara anggota G20 untuk memperbaharui komitmen bersama. Mulai dari isu kesetaraan gender hingga keterlibatan investasi untuk mengembangkan dimensi tata kelola global.
"Kami sudah bangun parlemen yang kuat dan akuntabilitas kerjasama dengan anggota kami dan ," kata dia.
Berbagai hal tersebut perlu dilakukan dengan komitmen dan tanggung jawab dalam rangka menghadapi tantangan global sekarang. Salah satunya dengan menjalankan fungsi anggaran dan pengawasan dalam rangka pelaksanaan G20. Sehingga bisa memenuhi tujuan dan visi G20.
Skenario Konflik Ukraina-Rusia: 90 Juta Orang Tewas Jika Perang Nuklir Terjadi
Sebelumnya, sejak Perang Dingin, ancaman perang nuklir habis-habisan telah terasa seperti ancama samar yang entah bagaimana tidak pernah hilang.
Setelah invasi Rusia ke Ukraina, percakapan seputar kemungkinan negara adidaya dunia masuk ke dalam pemboman nuklir telah menjadi sangat relevan sekali lagi.
Sementara kita semua tahu betapa dahsyatnya satu nuklir (seperti di Hiroshima dan Nagasaki), kebanyakan dari kita mungkin masih gagal memahami betapa dahsyatnya jika keadaan perang nuklir dimulai.
Bagi mereka di antara kita yang cukup berani bahkan ingin memahami efek dari skenario seperti itu, Universitas Princeton di AS telah memberikan pandangan tentang hasil yang paling mungkin berkat simulasi yang dilakukan oleh program Sains dan Keamanan Global (SGS) universitas.
Simulasi yang dilakukan pada tahun 2019 dan berjudul "PLAN A" berusaha memprediksi bagaimana perang akan dimulai, bagaimana dan dari mana nuklir dunia akan dikerahkan, dan seberapa tinggi jumlah korban tewas bisa naik saat perang berlangsung.
Simulasi memperkirakan bahwa hanya dalam beberapa jam setelah konflik dimulai, 90 juta orang akan tewas atau terluka parah, Princeton memperkirakan sebagaimana dikutip dari Mashable Asia, Sabtu (4/3/2022).
Hal ini didasarkan pada peristiwa bahwa satu "tembakan peringatan" dikirim oleh Rusia terhadap pangkalan militer yang berlawanan yang dioperasikan oleh pasukan AS-NATO.
Serangan pertama kemudian akan bertindak sebagai domino pertama dalam serangkaian peristiwa yang akan melihat pihak-pihak yang bertikai mengerahkan ratusan senjata nuklir dalam upaya untuk saling beradu, dengan jumlah korban tewas meningkat dengan cepat ketika konflik pindah ke tahap yang berbeda.
Tahap pertama akan melihat Rusia berusaha untuk menghancurkan pangkalan NATO di seluruh Eropa melalui penggunaan 300 nuklir, sementara NATO akan menanggapi dengan 180 dari mereka sendiri, dengan 2,6 juta tewas dalam tiga jam pertama.
Â
Â
Advertisement
Serangan Nuklir Balasan
Fase berikutnya yang disebut "rencana Counterforce" kemudian akan melihat sebagian besar pasukan militer Eropa hancur, dengan AS kemudian dipaksa mengirim 600 rudal ke Rusia dan menyebabkan sekitar 3,4 juta kematian hanya dalam waktu 45 menit.
Dengan begitu banyak kerusakan yang dilakukan, kedua belah pihak kemudian akan memasuki "rencana Countervalue" dengan tujuan sangat melukai sumber daya masing-masing negara. Ini kemudian akan melihat 30 kota terpadat dan pusat ekonomi mereka terkena masing-masing lima hingga sepuluh hulu ledak, dengan jumlah korban tewas selama fase ini terbukti menjadi yang paling menakutkan dari semuanya – 85,3 juta tewas dalam waktu 45 menit.
Simulasi kemudian menunjukkan bahwa masih akan ada nuklir sisa yang tersedia setelah bencana, yang dapat mendorong angka naik lebih tinggi.
Yang terpenting, simulasi itu bahkan tidak melukiskan gambaran tentang apa yang bisa terjadi di luar negara-negara yang terlibat dalam perang, yang berarti bahwa jumlah korban tewas bisa naik jauh lebih tinggi dari perkiraan 90 juta.
Meskipun itu semua hanya proyeksi, dan hal-hal bisa terjadi secara berbeda, peristiwa yang ditunjukkan dalam "PLAN A" sebenarnya sangat banyak dalam ranah kemungkinan, dan mudah-mudahan tidak akan pernah terjadi.
Reporter:Â Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com