Lawan Illegal Logging, Pemegang Sertifikat FSC Dukung Mosi 37/2021

Pemegang sertifikat FSC tingkat tapak (smallholder) di Indonesia ikut mendorong diterimanya mosi 37/2021 dalam gelaran General Assembly Forest Stewardship Council (FSC) di Bali, 9-14 Oktober.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Okt 2022, 17:48 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2022, 17:45 WIB
Ilustrasi pohon, hutan
Ilustrasi pohon, hutan. (Photo by Arnaud Mesureur on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta Pemegang sertifikat FSC tingkat tapak (smallholder) di Indonesia ikut mendorong diterimanya mosi 37/2021 dan menolak mosi 45/2021 dalam gelaran General Assembly Forest Stewardship Council (FSC) di Bali, 9-14 Oktober.

Presiden Komisaris PT Sosial Bisnis indonesia (SOBI) Silverius Oscar Unggul mengatakan diterimanya mosi 37/2021 akan sangat membantu pengembangan usaha smallholder di Indonesia sekaligus membentuk ekosistem produk FSC yang inklusif di Indonesia

“Kami merasakan stagnasi pasar FSC di Indonesia yang membuat kami susah untuk berkembang,” ujar Silverius. Adapun, SOBI merupakan perusahaan inklusif yang sebagian besar pemegang sahamnya adalah Koperasi Hutan Rakyat.

Sebagai informasi, pada penyelenggaraan General Assembly FSC, anggota akan memutuskan sejumlah mosi yang akan menjadi dasar pelaksanaan sertifikasi pengelolaan lestari untuk tahun-tahun mendatang. Salah satunya, mosi 37 yang mengusulkan perubahan cut off date atau batas diperbolehkannya konversi hutan alam dalam pembangunan hutan tanaman dari November 1994 menjadi 31 Desember 2020.

Perubahan ini diikuti dengan kewajiban untuk melakukan perbaikan secara lingkungan dan sosial terhadap keterlanjuran konversi hutan alam yang diatur dalam Remedy Framework (RF).

Penyetujuan mosi 37/2021 dan penolakan mosi 45/2021 dapat memperluas penerapan sertifikasi FSC untuk hutan tanaman di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Di saat yang sama, adanya Remedy Framework juga bisa mendukung ambisi FSC dalam mendorong perluasan kegiatan rehabilitasi dan restorasi hutan

“Kami butuh membangun ekosistem produk FSC yang lebih luas di Indonesia dengan keterlibatan lebih banyak pelaku usaha, baik yang kecil, menengah dan besar agar pasar produk FSC di Indonesia bisa lebih berkembang," ujar Silverius.

 

Bangun Kesadaran Publik

Ilustrasi hutan Indonesia
Ilustrasi hutan Indonesia (Dok.Unsplash/ Imat Bagja Gumilar)

Silverius, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Kadin (Indonesian Chambers of Commerce and Industry) Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menolak anggapan lolosnya mosi ini akan menjadikan produk FSC smallholder menjadi semakin tidak bisa bersaing.

“Selama ini kami berjuang sendiri membangun kesadaran publik tentang FSC di Indonesia dan itu sangat sulit. Produksi kami stagnan bahkan cenderung menurun, sehingga menyebabkan banyak anggota koperasi kami kembali terjebak aktifitas illegal logging," jelasnya.

Sejarah PT. SOBI terbilang unik. Perusahaan ini adalah bagian nyata dari strategi melawan aktifitas illegal logging. Dulu, sebagian besar besar anggota koperasi hutan Jaya lestari (KHJL) adalah para pelaku illegal logging.

Silverius dan kawan-kawannya yang pada waktu itu bekerja sama dengan TFT (Tropical Forest Trust) berhasil meyakinkan para pelaku illegal logging untuk transformasi menjadi pengelola hutan yang lestari. KHJL ketika itu menjadi proyek percontohan untuk pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat yang juga menjadi area untuk peluncuran program Sosial Forestry saat itu. Tak heran, koperasi kecil di Konawe Selatan ini dapat memperoleh sertifikat FSC pada 2005 lalu.

Sukses di Konawe Selatan, Silverius dan kawan-kawan mereplikasi model pengelolaan tersebut ke Pulau Jawa, tepatnya di DI Yogyakarta. Replikasi ini berjalan sukses dan pada tahun 2008, Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) juga memperoleh sertifikat FSC.

Mengelola dua koperasi dengan dua sertikat FSC pada masa-masa awal kelihatan menguntungkan, permintaan kayu cukup banyak dan supply dari anggota juga cukup memadai. Model ini menginspirasi ribuan pelaku illegal logging untuk menjadi anggota Koperasi dan menjadi pengelola hutan lestari

Bergabungnya banyak anggota ternyata tidak diimbangi oleh pertumbuhan pasar FSC di Indonesia. Silverius dan kawan-kawan mencoba segala cara untuk memastikan pasar FSC di Indonesia bisa berkembang tetapi keadaan yang dihadapi jauh diluar kapasitas organisasi Perkumpulan Telapak, organisasi dimana Silverius menjadi anggota.

 

Pengelolaan Koperasi

Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah melakukan efisiensi kelembagaan dengan mengabungkan semua pengelolaan koperasi dalam satu perusahaan yang diberi nama PT. Sosial Bisnis Indonesia (SOBI).

SOBI menjadi grup manajer bagi semua koperasi dan bertanggung jawab atas program pemasaran dan semua proses sertifikasi. Untuk menjaga inklusifitas, pemilik saham PT. SOBI bukan hanya koperasi-koperasi rakyat tetapi juga mengundang investor dan profesional untuk bergabung.

Efisensi melalui PT.SOBI terbukti cukup efektif menekan banyak biaya dan juga memperkuat bargaining power di market. Namun demikian permasalahan utama, yaitu mendorong berkembangnya pasar FSC di Indonesia masih belum terpecahkan.

Oleh karena itulah, bersamaan dengan pelaksanaan general assembly FSC di Bali nanti, Silverius bersama dengan semua stakeholder SOBI berharap anggota pemilik suara FSC berkenan meloloskan mosi 37/2021 dan menolak mosi 45/2021, agar lebih banyak pelaku usaha di Indonesia yang menjadi bagian dari FSC.

Dengan itu ekosistem pasar FSC di Indonesia akan lebih mudah terbentuk. “Kami percaya kalau lebih banyak yang berkepentingan, pasti ekosistemnya akan lebih cepat terbentuk. Produk hutan rakyat memiliki ciri dan jenis tersendiri dan kami yakin pasti akan dapat bersaing di pasar," ujarnya.

"Semoga dengan pasar yang terbuka nanti kami akan menginsiprasi lebih banyak pelaku illegal logging untuk bergabung menjadi pengelola hutan lestari,” tambah Silverius.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya