Liputan6.com, Jakarta Pemerintah resmi akan menaikkan tarif cukai hasil tembakau atau tarif cukai rokok dengan rata-rata 10 persen di 2023 dan 2024. Langkah ini disebut akan mempengaruhi harga jual eceran rokok di pasaran.
Pengurangan konsumsi, jadi salah satu target yang ingin dicapai pemerintah. Nyatanya, beberapa perokok sudah mulai ambil ancang-ancang. Bukannya meninggalkan rokok, mereka tetap merokok dengan mencari harga rokok yang lebih murah.
Baca Juga
Misalnya Reja, pria yang sudah merokok sejak 2013 ini mengaku akan mencari rokok-rokok yang lebih murah dari sebelumnya. Dia juga menyebut, kenaikan cukai rokok di 2022 mempengaruhi pilihan rokoknya, meski semuanya tergantung ke selera.
Advertisement
"Kemungkinannya sih menyesuaikam harganya ya," kata dia kepada Liputan6.com, Minggu (6/11/2022).
Kendati begitu, dengan kenaikan harga jual rokok, dia menaksir memang akan ada pengurangan konsumsi pada perokok diumur remaja dan anak-anak, meski tak banyak. Tapi, golongan itu disebut masih tetap bisa mengakses rokok karena beberapa faktor.
"Sepertinya anak-anak, yang bisa dibilang ekonominya belum mandiri tapi masih bisa beli, pokok utamanya karena faktor pergaulan, dan bisa dibilang habbit masyarakat (lingkungan perokok)," ungkapnya.
Terpisah, seorang pekerja Ibu Kota, Julian menilai kalau kenaikan harga rokok tak akan menyetop orang mengisal rokok. Dia mengacu pada pengalaman beberapa tahuj belakangan.
"Kenaikan harga rokok gaakan menyetop orang yang sudah terbiasa merokok, dari tahun ke tahun naikin cukai rokok tetep aja kan masih banyak yang ngerokok," ungkap pekerja di kawasan Sudirman, Jakarta ini.
Tak Hanya Harga
Mengacu pada rencana pemerintah menekan jumlah perokok anak-anak, Julian mengaku kalau pengendalian itu tak bisa bergantung hanya pada harga. Misalnya, perlu ada regulasi dan pengawasan aturan yang lebih ketat
"Ya engga cuma harga lah, tapi peraturan yang diperketat biar anak-anak gak beli rokok. Kalau harga mah anak-anak juga bisa minta uang seharga rokok sekarang, ya liat aja inflasi tiap tahun makin naik bikin uang jajan anak juga naik kan," bebernya.
Di sisi lain, dia meminta pemerintah bisa memperkuat anggaran di sisi kesehatan dalam upaya mengurangi prevalensi perokok. Ditambah lagi, dengan adanya penerimaan yang cukup besar dari industri rokok dalam negeri.
Advertisement
Cukai Rokok Naik 2 Tahun Langsung
Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024. Kenaikan cukai rokok ini dengan mempertimbangkan sejumlah aspek mulai dari tenaga kerja pertanian hingga industri rokok.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, kenaikan tarif cukai hasil tembakau pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek pangan (SKP) akan berbeda sesuai dengan golongan.
"Rata-rata 10 persen, nanti akan ditunjukkan dengan SKM I dan II yang nanti rata-rata meningkat antara 11,5 hingga 11,75 (persen), SPM I dan SPM II naik di 12 hingga 11 persen, sedangkan SKP I, II, dan III naik 5 persen," ujar Sri Mulyani usai rapat bersama Presiden Joko Widodo Bogor, Kamis (3/11/2022).
Kepada Sri Mulyani, Presiden Jokowi meminta agar kenaikan tarif tidak hanya berlaku pada CHT, tetapi juga rokok elektrik dan produk hasil pengolahan hasil tembakau lainnya (HPTL). Untuk rokok elektrik, Sri Mulyani menuturkan, kenaikan tarif cukai akan terus berlangsung setiap tahun selama lima tahun ke depan.
"Hari ini juga diputuskan untuk meningkatkan cukai dari rokok elektronik yaitu rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk HTPL. Ini berlaku, setiap tahun naik 15 persen, selama 5 tahun ke depan," lanjut Sri Mulyani.
Alasan Pemerintah
Dalam penetapan CHT, Menkeu mengatakan, pemerintah menyusun instrumen cukai dengan mempertimbangkan sejumlah aspek mulai dari tenaga kerja pertanian hingga industri rokok.
Di samping itu, pemerintah juga memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
Pertimbangan selanjutnya, tambah Menkeu, yaitu mengenai konsumsi rokok yang menjadi konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras. Bahkan, konsumsi tersebut melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam.
"Yang kedua mengingat bahwa konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin yaitu mencapai 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan," kata dia.
"Ini adalah kedua tertinggi setelah beras, bahkan melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam, serta tahu, tempe yang merupakan makanan-makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat," tambah Sri Mulyani.
Advertisement