Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov mengatakan, langkah pengurangan emisi karbon yang dilakukan perusahaan migas di Indonesia belum sesuai target. Kontribusi emisi karbon mayoritas berada di sisi hilir, sedangkan dalam scope dekarbonisasi perusahaan migas lebih banyak berkutat di sisi hulu.
Menurut Abra, perusahaan migas di Indonesia lebih banyak melakukan agenda dekarbonisasi di sisi hulu. Padahal, dari sisi ini menyedot investasi besar dengan dampak yang tak signifikan.
Baca Juga
"Selama ini terkesan, perusahaan migas hanya fokus pada dekarbonisasi di hulu. Captive Area ini relatif lebih mudah dikendalikan oleh internal korporasi, sebagai contoh pemanfaatan Carbon Capture Storage (CCS) atau Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS)," kata dia.Â
Advertisement
"Padahal, komitmen sebenarnya yang paling efektif dalam mendukung target net zero emission ada pada emisi yang dihasilkan dari produk perusahaan," tambah Abra.
Dalam standar internasional (Green House Gas Protocol) emisi dibagi ke dalam tiga scope. Scope pertama, emisi yang dihasilkan langsung dari proses produksi BBM. Scope kedua, emisi yang dihasilkan dari pembelian energi atas produksi BBM.
Terakhir, Scope ketiga adalah emisi yang dihasilkan dari produk akhir, dalam hal ini emisi dari BBM yang dijual ke masyarakat.
"Artinya, melihat dampak langsung dari pengurangan emisi ini mestinya perusahaan migas bertanggung jawab lebih dalam menggarap transisi energi di scope tiga," nilai Abra.
Sebab, menurut Abra hasil emisi yang dihasilkan dari sisi hilir jauh lebih banyak. Jika secara business as usual, emisi karbon di sektor transportasi bisa mencapai 1,1 juta ton CO2 pada 2030 mendatang.
"Kalau ini bisa direduksi dan digarap serius justru potensi penurunan emisi karbon terbesar di Indonesia bisa dilakukan," pungkas Abra.
Menko Luhut: Emisi Karbon per Kapita Indonesia Lebih Rendah dari Negara Maju
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan, bahwa ketika dia dan timnya berdiskusi dengan Utusan Khusus Bidang Iklim Amerika Serikat John Kerry dan Menteri Keuangan AS Janet Yellen, dia mengatakan Indonesia bisa mengikuti saran mereka terkait transformasi energi bersih.
"Tapi dengan satu syarat, asal jangan ganggu pertumbuhan ekonomi kita. Jadi harus dilakukan secara bertahap. Kedua, diperlukan biaya yang terjangkau dan ketiga, teknologinya," ujar Luhut, dalam acara Seminar Internasional yang digelar LPS di Nusa Dua, Bali pada Rabu (9/11/2022).
"Tim saya melewati diskusi yang sangat sulit dengan mereka, tapi saya pikir itu sudah teratasi," lanjutnya.
Luhut mencatat, bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia menghadapi tantangan lain karena masalah lingkungan dan sosial, termasuk polusi, degradasi hutan dan deforestasi, serta ketimpangan pendapatan.
"Indonesia juga masih berjuang dengan masalah ketimpangan ekonomi yang sedang booming ini," papar Luhut.
Â
Advertisement
Data Bank Dunia
Dalam presentasinya, disebutkan bahwa sejak tahun 2000 ketimpangan pendapatan di Indonesia telah meningkat pesat, di mana Indeks Gini meningkat dari 28,5 pada tahun 2000 menjadi 38,1 pada tahun 2022.
Luhut selanjutnya mengutip data dari Bank Dunia yang menunjukkan bahwa emisi karbon per kapita di Indonesia hanya 2.3 ton per kapita,di bawah rata-rata global sebesar 4,5 ton per kapita.
Angka itu jauh lebih kecil dari yang ditampung negara-negara maju, dengan Kanada yang menyumbang emisi karbon per kapita terbesar hingga 15,4 ton, Arab Saudi 14,3 ton, Australia 15,2 ton dan AS 14,7 ton.
Â
Â