Liputan6.com, Jakarta - Mantan Perdana Menteri Selandia Baru, Helen Clark melihat bahwa dunia semakin melihat tantangan dalam mengupayakan pencegahan perubahan iklim, ketika sejumlah negara mengalami lonjakan biaya hidup dan krisis energi, didorong oleh dampak perang Rusia-Ukraina.
"Saya pikir konferensi perubahan iklim ke-27 (COP27) yang berlangsung di Mesir s cukup menantang karena sayangnya upaya (pencegahan) perubahan iklim kali ini tidak terlepas dari hambatan yang terjadi di seluruh dunia, salah satunya perang di Ukraina yang berdampak cukup mendalam pada ketahanan pangan dan ketahanan energi," papar Helen Clark, dalam seminar internasional yang digelar LPS dan IADI di Nusa Dua, Bali pada Rabu (9/11/2022).
Baca Juga
"juga (lonjakan) inflasi biaya hidup serta masalah pasokan gas di Eropa," sambungnya.
Advertisement
Selain itu, sejumlah negara juga masih berjuang memulihkan ekonomi mereka dari dampak pandemi Covid-19.
"Jadi masalah itu tidak serta merta membuat kita (dunia) dengan segera beralih ke ekonomi hijau," ujar Helen Clark.
Seperti diketahui, delegasi dari hampir 200 negara beberapa waktu lalu menghadiri KTT iklim PBB di Mesir dengan kesepakatan untuk membahas kompensasi untuk negara-negara miskin dari kerusakan yang meningkat akibat pemanasan global.
"Dimasukkannya agenda ini mencerminkan rasa solidaritas bagi para korban bencana iklim," kata Presiden COP27 Sameh Shoukry, dikutip dari US News, Kamis (10/11/2022).
Sejauh ini, ada dua negara yang menawarkan bantuan biaya untuk kerugian dan kerusakan dari bencana alam, yakni Denmark sebesar 100 juta danish crowns atau sekitar Rp 211,2 miliar, dan Skotlandia menjanjikan USD 2,28 juta atau Rp 35,7 miliar.
IMF: Bantuan Negara Maju Tak Cukup Atasi Perubahan Iklim
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengeluarkan pernyataan menohok terkait penanganan perubahan iklim global.
Georgieva mengatakan, bantuan dan pendanaan dari negara maju tidak akan cukup untuk menutup kesenjangan pendanaan pada inisiatif perubahan iklim di negara berkembang.
Menurutnya, diperlukan banyak investasi swasta untuk membantu negara-negara berkembang memenuhi target perubahan iklim mereka.
"Kita tidak akan pernah menyelesaikannya jika mengandalkan kemurahan hati negara-negara kaya, karena terlalu besar jika hanya dengan uang publik," ujar Georgieva, dikutip dari CNBC International, Senin (7/11/2022).
"Jadi yang paling penting di sini, dan di bulan-bulan berikutnya, adalah bekerja tanpa henti untuk menciptakan peluang bagi investasi swasta di negara berkembang," ungkapnya kepada CNBC, selama wawancara di KTT perubahan iklim COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir.
Menjelang KTT tersebut, PBB juga menyerukan peningkatan pendanaan dan implementasi tindakan untuk membantu negara-negara yang rentan dengan keadaan darurat iklim.
"Perubahan iklim adalah pukulan terhadap umat manusia, seperti yang kita lihat sepanjang 2022," jelas Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB Inger Andersen, mengutip bencana banjir di Pakistan.
Laporan PBB mengungkapkan, negara-negara yang rentan dan berkembang akan membutuhkan biaya antara USD 160 miliar dan USD 340 miliar pada akhir dekade untuk membuat perubahan terkait iklim, dan hingga USD 565 miliar pada tahun 2050.
"Kebutuhan adaptasi di negara berkembang akan meroket hingga USD 340 miliar per tahun pada tahun 2030. Namun dukungan adaptasi saat ini kurang dari sepersepuluh dari jumlah itu," beber Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres.
"Masyarakat dan komunitas paling rentan dan bisa menanggung imbasnya. Ini tidak bisa diterima," tandasnya.
Advertisement
Ketua IMF : Stabilitas Iklim di Negara Berkembang Mampu Amankan Perdagangan
Georgieva melanjutkan, bahwa membantu negara-negara berkembang memenuhi target perubahan iklim merupakan hal yang penting bagi negara maju.
"Jika kita membiarkan guncangan iklim, berulang kali, untuk menghancurkan negara-negara miskin, kita berkontribusi pada ketidakstabilan yang dirasakan Eropa sangat kuat, terutama ketika arus migrasi meningkat," katanya.
Dia menambahkan, stabilitas di negara berkembang juga mengamankan perdagangan antara negara maju dan berkembang.
"Jika Anda ingin ekonomi Anda diekspor ke negara-negara ini, harus ada kemakmuran dan stabilitas di sana," pungkas Georgieva.
Georgiva memperingatkan, gangguan dalam rantai pasokan yang disebabkan oleh peristiwa perubahan iklim dapat menimbulkan risiko yang lebih besar daripada yang ditimbulkan oleh pandemi.
Selain itu, juga perlu adanya dorongan yang besar untuk membuat bisnis di negara maju bertanggung jawab atas pengurangan emisi, serta pajak serta peraturan adalah pengungkit yang dapat digunakan pemerintah.
"Kita harus menyadari bahwa kita berada jauh di belakang di mana kita seharusnya melindungi kesejahteraan anak-anak kita. Jika Anda melihat dekade ini — 2020 hingga 2030 — kita harus mengurangi emisi antara 25 dan 50 persen sementara emisi terus bertambah," tukas Georgiva.Â