Liputan6.com, Jakarta - fintech peer-to-peer (P2P) lending atau sering disebut pinjaman online (pinjol) merupakan salah satu industri di bawah pengawasan OJK yang tumbuh sangat pesat dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari jumlah perusahaan yang mendapat izin hingga jumlah pembiayaan.
Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tris Yulianta menjelaskan, sampai dengan September 2022, akumulasi penyaluran pendanaan melalui P2P lending telah mencapai Rp 455 triliun dengan nilai outstanding pada akhir September 2022 mencapai Rp 48,74 triliun.
Baca Juga
"Saat ini, terdapat 102 penyelenggara peer-to-peer lending yang telah mendapatkan izin dari OJK,” kata Tris dalam acara 4th Indonesia Fintech Summit 2022, Kamis (10/11/2022).
Advertisement
Pesatnya pertumbuhan industri peer-to-peer lending, membuat ketentuan dalam Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi menjadi tidak lagi relevan dengan perkembangan industri serta kebutuhan regulasi dari industri dan konsumen. Situasi ini menjadi pemicu bagi OJK untuk menerbitkan peraturan baru tentang fintech peer-to-peer lending.
Sementara itu, pada 4 Juli 2022, OJK menerbitkan Peraturan OJK nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi. Penyusunan peraturan baru tersebut telah melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait dan mempertimbangkan setiap usulan yang telah diajukan kepada OJK.
“Kami berharap peraturan baru ini dapat menyelesaikan setiap celah hukum yang terdapat dalam POJK 77/2016 dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi kepentingan konsumen dan juga pemangku kepentingan,” kata dia.
Gandeng Perbankan
Dalam rangka mendukung berjalannya kegiatan usaha dan meningkatkan kinerja perusahaan, penyelenggara perlu bekerja sama dengan pihak lain agar dapat mengembangkan ekosistem pendukung.
“Misalkan, dalam rangka melakukan penilaian pinjaman, penyelenggara fintech peer-to-peer lending dapat bekerja sama dengan credit scoring provider dan biro kredit,” ujar dia.
Selain itu, penyelenggara fintech peer-to-peer lending juga dapat bekerja sama dengan industri lain seperti perbankan dalam menyalurkan pendanaan. Untuk memberikan layanan yang lebih baik, maka harus terdapat sinergi antara penyelenggara fintech peer-to-peer lending dan lembaga lainnya.
“Salah satu aspek penting yang harus diperhatikan dari setiap kerja sama adalah memberikan perlindungan konsumen secara maksimal, terutama perlindungan data milik konsumen. Praktik pertukaran data antar pelaku usaha fintech diperlukan demi meningkatkan efisiensi serta kualitas layanan penyelenggara,” kata Tris.
Namun, dengan segala kelebihan yang ditawarkan, OJK tetap perlu waspada terhadap risiko yang melekat pada praktik pertukaran data, seperti potensi kebocoran data.
Advertisement
Aturan Baru
Pemerintah baru saja menerbitkan Undang-Undang baru tentang Pelindungan Data Pribadi. Setiap perusahaan fintech harus mengetahui dan memahami betul setiap ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang tersebut.
“Perusahaan fintech tidak boleh mendapatkan dan menggunakan data konsumen tanpa izin dari pemilik data. Penggunaan data tersebut juga harus dinyatakan dengan jelas dalam perjanjian,” katanya.
Selain itu, perusahaan fintech wajib melindungi data dari segala jenis potensi kebocoran data. Beberapa bulan terakhir, pemberitaaan diramaikan dengan kebocoran data dari penyedia marketplace, perusahaan telco, dan juga perusahaan fintech.
“Permasalahan ini perlu menjadi perhatian kita bersama. Perusahaan fintech sudah seyogyanya melakukan perlindungan data secara baik dengan memiliki sistem yang andal dan terproteksi dengan baik,” imbuhnya.
Jika perusahaan fintech melakukan pelanggaran dalam bentuk apapun terhadap ketentuan dalam Undang Undang Perlindungan Data Pribadi, maka pemerintah berwenang menjatuhkan sanksi pidana.
Dalam POJK 10/2022 juga diatur bahwa perusahaan fintech peer-to-peer lending hanya dapat bermitra dengan perusahaan yang telah mendapat izin dari otoritas pengawas atau regulator.
Literasi Keuangan
Untuk meningkatkan pemanfaatan layanan fintech peer-to-peer lending, literasi keuangan memainkan suatu peran penting.
Sebagaimana diketahui, literasi keuangan merupakan salah satu aspek penting yang dapat menggambarkan kemampuan konsumen dalam memahami manfaat dan juga risiko yang melekat pada suatu produk lembaga jasa keuangan yang mereka gunakan.
Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022, ditemukan gap antara indeks literasi keuangan dan indeks inklusi keuangan di Indonesia. Data menunjukkan bahwa indeks inklusi keuangan di Indonesia telah mencapai sekitar 85,10 persen, sedangkan indeks literasi keuangan hanya berkisar 49,68 persen.
“Artinya, terdapat segmen masyarakat yang menggunakan produk jasa keuangan, namun pada saat yang sama, mereka tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang produk yang digunakan. Kebanyakan masyarakat hanya memahami manfaat produk tanpa mengetahui risiko yang melekat pada produk tersebut,” ungkapnya.
Advertisement
Pendekatan Baru
Dalam rangka memberikan pemahaman yang lebih baik kepada konsumen, perusahaan fintech harus dapat merumuskan pendekatan baru untuk menyampaikan informasi produk kepada konsumen.
“Dengan sinergi antara seluruh pelaku usaha fintech, ide dan inovasi baru terkait bagaimana kita dapat meningkatkan literasi keuangan dapat muncul dan terlaksana dengan baik,” pungkasnya.