Liputan6.com, Jakarta - Badan internasional Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) memprediksi bahwa ekonomi Inggris akan mengalami pukulan terbesar dari krisis energi global daripada negara-negara maju lainnya.Â
Dilansir dari BBC, Rabu (23/11/2022) OECD meramal ekonomi Inggris akan berkontraksi lebih besar daripada negara lain di kelompok G7 (AS, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang) pada tahun 2023 mendatang.
Baca Juga
OECD memperkirakan ekonomi Inggris bakal menyusut 0,4 persen pada 2023 diikuti oleh pertumbuhan yang hanya di 0,2 persen pada 2024.
Advertisement
Selain itu, pertumbuhan ekonomi di AS dan zona euro akan melemah, tetapi Jerman adalah satu-satunya negara ekonomi utama lainnya yang diperkirakan akan menyusut.Â
Produk domestik bruto (PDB) Jerman diperkirakan akan menurun 0,3 persen
Sementara itu, laporan terbaru OECD memprediksi kekuatan negara-negara berkembang, ekonomi dunia akan tumbuh sebesar 2,2 persen tahun depan.
Tetapi OECD memperingatkan, perang Rusia-Ukraina akan mempengaruhi ekonomi secara tidak merata, dengan negara-negara Eropa menanggung beban terberat dari dampak pada bisnis, perdagangan dan lonjakan harga energi.
Sebaliknya, Office for Budget Responsibility (OBR) pekan lalu memperkirakan ekonomi Inggris akan menyusut 1,4 persen tahun depan, meskipun juga memperkirakan pertumbuhan yang lebih kuat, sebesar 1,3 persen pada tahun 2024.
Produk domestik bruto (PDB) Jerman diperkirakan akan menurun 0,3 persen
Dari kelompok negara-negara G20, Rusia, yang dikenai sanksi ekonomi oleh Barat, diprediksi bernasib lebih buruk daripada Inggris, sebut OECD.
"Penargetan yang lebih baik dari langkah-langkah untuk meredam dampak dari harga energi yang tinggi akan menurunkan biaya anggaran, mempertahankan insentif yang lebih baik untuk menghemat energi, dan mengurangi tekanan pada permintaan pada saat inflasi tinggi," kata badan itu.
Inggris Masih Yakin Ekonominya Bakal Tumbuh Tercepat Diantara Negara G7
Sementara itu, Inggris akan mengambil pendekatan yang berbeda terkait krisis di sektor energi.
"Kami mengambil pendekatan yang berbeda pasca April untuk dukungan pada sektor energi, menargetkannya ke arah yang paling rentan," katanya.
Berbeda dengan perkiraan OECD, jubir PM Inggris mengatakan tahun ini negara itu diperkirakan menjadi ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di antara negara G7.
"Ini adalah tantangan yang mempengaruhi negara yang berbeda pada waktu yang sedikit berbeda," jelasnya.
"Kami pulih dari pandemi lebih cepat daripada banyak negara lain di Eropa. Tetapi masih ada beberapa tantangan," tambahnya.
OECD mengatakan inflasi Inggris - yang sudah mencapai level tertinggi dalam 41 tahun sebesar 11,1 persen pada Oktober 2022, kemungkinan akan mencapai puncaknya pada akhir tahun ini tetapi tetap di atas 9 persen pada awal 2023, melambat menjadi 4,5 persen pada akhir tahun depan.
Badan itu juga memperkirakan suku bunga Inggris akan naik dari level saat ini 3 persen menjadi 4,5 persen pada bulan April mendatang dan angka pengangguran bakal naik menjadi 5 persen pada akhir 2024.
Advertisement
Tepi Jurang Resesi, Ekonomi Inggris Terkontraksi 0,2 Persen di Oktober 2022
Ekonomi Inggris mengalami kontraksi sebesar 0,2 persen pada kuartal III 2022, menandakan kemungkinan dari awal resesi yang panjang.
Dilansir dari CNBC International, Jumat (11/11/2022) angka itu belum mewakili resesi teknis yang ditandai dengan pertumbuhan negatif selama dua kuartal berturut-turut, di mana ekonomi Inggris telah berkontraksi 0,1 persen di kuartal kedua dan direvisi naik menjadi 0,2 persen.
Perkiraan sebelumnya menunjukkan bahwa ekonomi Inggris bakal berkinerja lebih baik dari yang diperkirakan pada kuartal ketiga, meskipun terjadi penurunan.
"Dalam hal output, ada perlambatan pada kuartal untuk industri jasa, produksi dan konstruksi; sektor jasa melambat menjadi output datar pada kuartal tersebut, didorong oleh penurunan layanan yang dihadapi konsumen, sementara sektor produksi turun 1,5 persen pada Triwulan 3 2022, termasuk penurunan di semua 13 sub-sektor sektor manufaktur," demikian laporan Otoritas Statistik Inggris (ONS).
Bank of England pekan lalu mengungkapkan bahwa mereka memperkirakan Inggris akan menghadapi resesi terpanjang sepanjang sejarah, dan penurunan yang terjadi pada kuartal ketiga kemungkinan akan berlangsung hingga 2024.
Selain itu, angka pengangguran juga diprediksi akan menyentuh 6,5 persen selama dua tahun ke depan.
Seperti diketahui, Inggris tengah menghadapi krisis biaya hidup, didorong oleh tekanan pada pendapatan riil dari lonjakan biaya energi serta barang-barang yang dapat diperdagangkan.
Bank sentral negara anggota G7 itu baru-baru ini memberlakukan kenaikan suku bunga terbesar sejak 1989 karena para pembuat kebijakan berusaha menjinakkan inflasi dua digit.
Menteri Keuangan Inggris Jeremy Hunt pekan depan akan mengumumkan agenda kebijakan fiskal baru, yang diharapkan mencakup kenaikan pajak dan pemotongan pengeluaran yang substansial.
Perdana Menteri Rishi Sunak juga telah memperingatkan "keputusan sulit" yang perlu dibuat untuk menstabilkan ekonomi Inggris.
"Sementara beberapa angka inflasi utama mungkin mulai terlihat lebih baik sekarang, kami memperkirakan harga akan tetap tinggi untuk beberapa waktu, menambahkan lebih banyak tekanan pada permintaan," kata George Lagarias, kepala ekonom di Mazars.
"Jika anggaran pekan depan terbukti memang 'sulit' bagi pembayar pajak, seperti yang diharapkan, konsumsi mungkin akan lebih ditekan, dan Bank of England harus mulai merenungkan dampak guncangan permintaan terhadap ekonomi," paparnya.
Bank of England: Inggris Bakal Hadapi Resesi Terpanjang Sejak 1920-an
Bank of England (BoE) kembali memperingatkan bahwa Inggris akan menghadapi resesi terpanjang sejak pencatatan pada tahun 1920-an, setelah kenaikan suku bunga terbesar dalam 33 tahun.
Dilansir dari laman BBC, Jumat (4/11/2022) BoE memperingatkan bahwa Inggris akan menghadapi kemerosotan ekonomi selama dua tahun yang "sangat menantang" dengan angka pengangguran diprediksi mencapai hampir dua kali lipat pada tahun 2025.
Bos Bank of England Andrew Bailey pun menyuarakan tantangan di masa mendatang bagi rumah tangga.Â
Pekan ini, Bank Sentral Inggris itu menaikan mengangkat suku bunga menjadi 3 persen dari 2,25 persen, lompatan terbesar sejak 1989.
Dengan menaikkan suku bunga, BoE berusaha menurunkan inflasi yang melonjak pada tingkat tercepat dalam 40 tahun.
Harga pangan dan energi di Inggris juga melonjak, yang sebagian didorong oleh dampak perang Rusia-Ukraina.
Seperti diketahui, BoE sebelumnya sudah memperkirakan Inggris akan jatuh ke dalam resesi pada akhir tahun ini dan mengatakan bahwa krisis itu akan berlangsung sepanjang tahun depan.
Tetapi sekarang BoE semakin yakin bahwa ekonomi Inggris sudah memasuki penurunan yang menantang musim panas ini, dan bakal berlanjut tahun depan hingga memasuki paruh pertama 2024 - kemungkinan tahun pemilihan umum.
Meskipun ini bukan penurunan ekonomi terdalam di Inggris, ini akan menjadi yang terpanjang sejak pencatatan dimulai pada 1920-an, kata BoE.
Tingkat pengangguran saat ini berada pada titik terendah selama 50 tahun, tetapi diperkirakan akan meningkat menjadi hampir 6,5 persen.
Advertisement