Anak Buah Sri Mulyani Menguak Kembali Alasan Pemerintah Menaikkan Tarif PPN jadi 11 Persen

Pemerintah dipastikan tidak asal menaikkan tarif PPN jadi 11 persen.

oleh Tira Santia diperbarui 29 Des 2022, 12:05 WIB
Diterbitkan 29 Des 2022, 12:00 WIB
Pemerintah Peroleh Pajak Rp2,48 Triliun dari Program PPS
Wajib pajak mencari informasi mengenai Program Pengungkapan Sukarela (PPS) di kantor pelayanan pajak pratama di Jakarta, Senin (7/3/2022). Pemerintah memperoleh PPh senilai Rp2,48 triliun setelah 66 hari pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah telah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022. Kenaikan ini merupakan amanat pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, mengatakan ketika awal ditetapkannya kebijakan PPN 11% tersebut banyak mengundang pro dan kontra di masyarakat. Lantaran mereka menilai masih dalam kondisi pandemi, Pemerintah justru menaikan tarif PPN.

Namun, dia menegaskan, Pemerintah tidak asal menaikkan tarif PPN. Hal itu sudah melalui kajian yang mendalam di Kementerian Keuangan.

"Bicara PPN tentu sangat hati-hati kita melihatnya ini memang sesuatu yang mungkin menurut pandangan orang-orang tidak pas, tetapi ini kan sudah kita lakukan melalui kajian yang mendalam di Kementerian Keuangan," kata Yon Arsal dalam Podcast Cermati DJP "Kilas Balik 2022", Kamis (29/12/2022).

Dia mengungkapkan ada beberapa pertimbangan sebelum memutuskan untuk menaikkan tarif PPN. Pertama, Pemerintah memiliki target untuk mencapai fiskal konsolidasi yang sehat pada 2023. Agar bisa mencapai target tersebut, salah satunya menaikkan tarif PPN.

"Ada beberapa pertimbangan pertama kita ingin mencapai fiskal konsolidasi yang lebih pas, sehingga smooth dari posisi defisit yang ekspanded lebih besar dari yang seharusnya yang normal 3 persen, itu kita harus mendarat mulus nih, salah satunya PPN," ungkapnya.

Kedua, PPN Indonesia masih rendah dibandingkan negara lain, sehingga masih ada peluang tarif PPN dinaikkan.

"Kalau kita compare dengan negara-negara lain tarif PPN kita itu relatif termasuk di bawah sebenarnya. Sementara negara lain di kisaran 15-80 persen, kita tidak lakukan itu. Kita naikkan ke 10 persen menjadi 11 persen. Itu pun (secara bertahap) tidak langsung," katanya.

Di sisi lain, pihaknya juga memikirkan dampak kenaikan tarif PPN terhadap inflasi. Namun, setelah dilakukan penghitungan antara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan DJP, ternyata perkiraan inflasi yang disebabkan kenaikan tarif PPN tidak terlalu signifikan.

"Kita sangat hati-hati karena pasti akan dampak inflasi, kita coba cek waktu itu saat itu kita diskusi dengan teman-teman BKF kita saling menghitung, dan dari BKG hitungannya berapa dan dari DJP hitungannya berapa. Alhamdulillah sama hitungannya dengan teman-teman BKF dampak pada inflasi 0,4 persen pada waktu itu, sehingga kita merasa ini cukup manajeble," jelasnya.

 

Beri Pemerintah Rp 6-7 Triliun

NIK Resmi Jadi Pengganti NPWP
Warga mengurus layanan perpajakan di Kantor KPP Pratama Jakarta Jatinegara, Matraman, Jakarta Timur, Kamis (21/7/2022). Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak resmi memulai penerapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses layanan perpajakan ke depannya. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Yon menyebut, setelah tarif PPN 11 persen diimplementasikan dalam kurun waktu beberapa bulan mampu memberikan kontribusi sekitar Rp 6-7 triliun terhadap penerimaan negara. DJP pun optimis bisa mengumpulkan penerimaan pajak dari PPN sebesar Rp 60 triliun.

"Alhamdulillah sejak implementasinya sebulan kontribusi tambahannya sekitar Rp 6 sampai Rp 7 triliun, sehingga memang kurang lebih sama dengan perkiraan kita dulu. Kita harapkan dari PPN ini saja bisa berkontribusi Rp 60 triliun selama 1 tahun,Saya pikir ini sudah berjalan selama beberapa bulan 9 bulan berarti kalau bulan pertama Mei waktu itu 8 bulan kali 7 berarti Rp 56 triliun, ini sudah sesuai dengan perkiraan kita kurang lebih," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya