Liputan6.com, Jakarta - Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, menyoroti penambahan kata indeks tertentu pada perhitungan upah minimum dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja).
Formulasi perhitungan tersebut tertera dalam Pasal 88D ayat (2), yang berbunyi; Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Baca Juga
Menurut Timboel, pemerintah sengaja mengeluarkan rumus itu lantaran perhitungan sebelumnya gagal mendongkrak daya beli pekerja.
Advertisement
"Penambahan kata indeks tertentu di Perppu Nomor 2/2022 diduga sebagai bentuk kesadaran pemerintah, bahwa Pasal 26 PP Nomor 36 Tahun 2021 terkait formula kenaikan upah minimum tidak mampu mendukung daya beli pekerja dan keluarganya, seperti yang terjadi di 2022 ini," ungkapnya, Kamis (5/1/2023).
Adapun kenaikan rata-rata upah minimum 2022 sebesar 1,09 persen. Timboel menilai, lonjakan honor itu masih terlalu tipis guna menangkal inflasi 2022 yang mencapai 5,51 persen secara tahunan, atau year on year (YoY).
"Daya beli pekerja menurun secara signifikan, dan ini akan mempengaruhi konsumsi agregat masyarakat yang mengkontribusi 52 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia," kata dia.
Namun, ia menambahkan, muatan baru Pasal 88D ayat (2) di aturan pengganti UU Cipta Kerja tersebut tidak menjadi kepastian bagi pekerja dan pengusaha. Pasalnya, pemerintah menambah Pasal 88F di Perppu Nomor 2 tahun 2022.
Bunyinya, dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).
Timboel mengatakan, kehadiran Pasal 88F ini justru menimbulkan ketidakpastian penggunaan formula yang diamanatkan Pasal 88D ayat (2). Termasuk tentang indeks tertentu, karena pemerintah diberikan mandat untuk menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dalam keadaan tertentu.
"Ketidakpastian ini berpotensi menciptakan protes dari kalangan pengusaha dan serikat pekerja/buruh. Seharusnya pemerintah menciptakan kepastian formula kenaikan upah minimum, bukan malah menciptakan potensi konflik tahunan tentang upah minimum," singgungnya.
Pasal Outsourcing di Perppu Cipta Kerja Bikin Pengusaha dan Pekerja Bingung
Sebelumnya, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, menyoroti kemunculan pasal soal tenaga alih daya (outsourcing) yang kembali dituliskan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja).
Pasal outsourcing yang sebelumnya dihilangkan dalam UU Cipta Kerja malah ditampilkan lagi di aturan penggantinya. Menurut Timboel, buka hanya buruh yang kelabakan atas regulasi itu, tapi pengusaha juga.
"Memunculkan kembali Pasal 64 tentang alih daya (outsourcing) di Perppu Nomor 2/2022 yang sebelumnya dihapus di UU Cipta Kerja, tidak memberikan kepastian kerja bagi pekerja dan pengusaha," tegasnya dalam keterangan tertulis, Kamis (5/1/2023).
Timboel menilai, kehadiran Pasal 64 ini tidak memuat kepastian penggunaan pekerja alih daya hanya untuk pekerjaan yang bersifat penunjang. Ketentuan itu padahal sudah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Adapun Pasal 64 Perppu Cipta Kerja mengamanatkan pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan alih daya tanpa pengecualian bidang. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
"Diamanatkannya jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan di tingkat PP akan membuka ruang bebas kepada pemerintah mengatur dan merevisinya. Sehingga menciptakan ketidakpastian bagi pekerja dan pengusaha," kata Timboel.
Seharusnya, ia menekankan, Perppu menyatakan secara tegas pekerjaan yang bisa dialihdayakan adalah pekerjaan yang bersifat penunjang, seperti yang dimuat dalam UU Nomor 13 Tahun 2003.
"Bila ketentuan ini dimuat di tingkat UU maka akan sulit untuk diubah, dan ini akan memberikan kepastian kepada pekerja dan pengusaha," pungkas Timboel.
Advertisement
Kondisi Ekonomi Darurat, Penerbitan Perppu Cipta Kerja Tak Dapat Dihindari
Presiden Joko Widodo resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 lalu. Penerbitan Perppu Cipta Kerja ini berpedoman pada peraturan perundangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU7/2009.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) I Gde Pantja Astawa berpendapat, setidaknya ada tiga hal utama yang memaksa Presiden menerbitkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan.
Pertama, Jokowi saat menerbitkan Perppu tanpa atau tidak melibatkan dan tidak pula memerlukan persetujuan DPR.
"Reasoning-nya jelas, yaitu agar presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa dapat bertindak cepat dan tepat untuk segera memulihkan keadaan mendesak menjadi normal kembali," kata Pantja dalam pernyataan tertulis, Rabu (4/1/2023).
Kondisi darurat ini sempat dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang bilang penerbitan Perppu tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak. Ada sejumlah kondisi dan tantangan yang perlu antisipasi secepatnya.
“Pemerintah perlu mengantisipasi tantangan kondisi global, baik yang terkait dengan ekonomi, dimana kita akan menghadapi situasi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi. Di sisi geopolitik, dunia dihadapkan pada perang Ukraina-Rusia dan konflik lainnya yang juga belum selesai,” paparnya.
Alasan kedua, Pantja melanjutkan, hak istimewa Jokowi sekaligus menunjukkan kekuasaan presiden yang dijamin oleh UUD 1945.
Mengatasi Keadaan Mendesak
Ketiga, sambung dia, berkenaan dengan pertimbangan, pilihan, dan cara yang digunakan presiden menerbitkan Perppu. Artinya, pertimbangan apa yang akan diberikan, pilihan apa yang akan diambil, dan cara apa yang akan digunakan oleh Presiden menerbitkan Perppu untuk menjawab dan mengatasi keadaan mendesak itu, sepenuhnya ada pada presiden, sehingga bersifat subjektif.
"Karena bersifat subjektif, maka kekhawatiran akan adanya potensi yang dapat menyentuh dasar-dasar negara konstitusional dan negara hukum saat presiden menerbitkan Perppu, menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari," imbuhnya.
Pantja menegaskan, hak istimewa presiden dalam menerbitkan Perppu ini tidak perlu menimbulkan kekhawatiran berlarut-larut. Pasalnya, tidak akan lepas dari pengawasan DPR.
"Perppu yang diterbitkan presiden segera disampaikan kepada DPR. Bila DPR menyetujuinya, maka Perppu akan menjadi Undang-Undang. Sebaliknya, bila tidak disetujui DPR, Perppu harus dicabut,” tandas dia.
Advertisement