Pengukuhan Kawasan Hutan Lewati 4 Proses, Apa Saja?

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam melakukan pengukuhan kawasan hutan setidaknya ada empat proses yang harus dilalui.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Jan 2023, 17:45 WIB
Diterbitkan 15 Jan 2023, 17:45 WIB
blora1
Hutan jati yang luas menjadi penawar ketandusan tanah kapur Blora. (Foto : Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Liputan6.com, Jakarta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam melakukan pengukuhan kawasan hutan setidaknya ada empat proses yang harus dilalui.

Diantaranya, penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Tanpa melalui proses tersebut tak ada kawasan hutan.

Pakar Hukum Kehutanan Sadino mengatakan, selama ini dengan menunjuk seolah telah selesai aktivitas penentuan suatu lahan yang akan menjadi Kawasan hutan.

"Pemerintah lupa bahwa menunjuk tanpa dilanjutkan sampai penetapan melalui pengukuhan kawasan hutan adalah bersifat ‘inferatif’ yang harus dijalankan pemerintah. Mahkamah Konstitusi menyatakan kalau hanya ‘menunjuk’ terus disebut sebagai kawasan hutan adalah tindakan yang otoriter," ungkap Sadino dikutip Minggu (15/1/2023).

Padahal, tanpa ada proses yang lengkap penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan, maka pengukuhan kawasan hutan belum selesai. Karena pengukuhan kawasan hutan adalah untuk memberikan kepastian hukum tentang kawasan hutan itu sendiri,” lanjut dia.

Menurut Sadino, pengukuhan dengan tahapannya merupakan bentuk pelaksanaan administrasi pemerintahan. Jika tidak dijalankan dan telah ada ketentuan hukum lain, maka status 'menunjuk' kawasan hutan posisinya sangat lemah.

"Sehingga pada akhirnya akan menyimpan konflik lahan sebagaimana sering terjadi pada saat ini," kata Sadino.

Sadino menilai, pelepasan kawasan hutan tentunya atas lahan kawasan hutan yang sudah dikukuhkan, bukan kawasan hutan yang baru dalam proses penunjukan.

Seringkali salah difahami seolah Hak Atas Tanah seperti HGU mesti ada pelepasan kawasan hutan. Padahal kalau RTRW Provinsi atau RTRW Kabupaten/Kota bukan kawasan hutan ya tidak diperlukan pelepasan kawasan hutan.

 

HGU

Pembukaan Lahan untuk Kebun Sawit
Pembukaan hutan untuk dijadikan kebun kelapa sawit di Desa Tumbang Batu Kecamatan Bukit Santuai Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah belum lama ini. (Liputan6.com/ Roni Sahala)

Misalnya Hak Atas Tanah seperti HGU di Riau dan Kalimantan Tengah. Bagaimana produk Hak Atas Tanah pemerintah kok tidak diakui padahal produk tersebut diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku berarti sah menurut hukum. Juga tidak ada pencabutan izin dan dibatalkan oleh pengadilan.

Penentuan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan juga harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah sesuai Pasal 15 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Dia menambahkan, pemerintah sejatinya menyadari adanya dispute peraturan perundang-undangan antara Tata Ruang Wilayah dengan kehutanan dan dicoba untuk diselesaikan melalui PP 10 Tahun 2010 ternyata tetap tidak bisa, maka dikeluarkan PP 60 Tahun 2012 dan PP 104 Tahun 2015 yang memberikan kesempatan kepada pelaku usaha perkebunan melakukan permohonan pelepasan kawasan hutan secara parsial dan tukar menukar kawasan hutan.

"Tata cara permohonan pelepasan kawasan hutan diatur dengan Peraturan Menteri. Meskipun telah dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan penyelesaian permasalahan lahan terkait dengan kawasan hutan, tidak mudah diselesaikan," katanya.

Hal ini karena menerapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku surut sedangkan setiap perizinan mempunyai waktu dan ketentuan hukum yang berbeda baik locus maupun temposnya.

 

 

Perda

Hutan Hujan Tropis Kalimantan
Kalimantan Timur adalah salah satu provinsi yang memiliki hutan hujan tropis yang luas di Indonesia. (foto: Abdul Jalil)

Misalnya, di Provinsi Riau maupun Provinsi Kepulauan Riau keberlakukan Perda RTRWP dan RTRWK/K sudah berjalan terlalu lama dan mengikuti penyesuaian dengan peraturan yang baru tentunya tidak mudah.

“Jika melihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 amar putusan [3.12.2] menyatakan, bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers)," ungkap Sadino.

Kata Sadino, Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary powers).

" Tidak seharusnya pengukuhan suatu kawasan hutan yang menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan Frasa ‘ditunjuk dan atau’ tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tegas Sadino.

 

infografis journal
infografis Hutan Sebagai Habitat Satwa. (Liputan6.com/Abdillah).
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya