Urai Tumpang Tindih Kawasan Hutan, Perppu Cipta Kerja Siapkan Sanksi Administratif

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) turut mengatur soal tumpang tindih kawasan hutan.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 19 Jan 2023, 21:44 WIB
Diterbitkan 19 Jan 2023, 21:43 WIB
Tempat Wisata di Rembang
Ilustrasi Hutan Mangrove. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) turut mengatur soal tumpang tindih kawasan hutan. Sumber: Pixabay

Liputan6.com, Jakarta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) turut mengatur soal tumpang tindih kawasan hutan.

Setiap perizinan yang terlanjur memasuki kawasan hutan diberi waktu 3 tahun untuk membenahi dan memenuhi persyaratan.

Pakar Hukum Kehutanan Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta Sadino menyatakan, permasalahan izin terkait bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan permasalahan administrasi. Jika ada permasalahan izin, bukanlah merupakan tindak pidana dan tidak masuk dalam ruang lingkup perkara korupsi.

Hal ini diatur dalam Pasal 110A Perppu Cipta Kerja, dimana kegiatan usaha didalam kawasan hutan dan memiliki perizinan berusaha sebelum berlakunya kebijakan ini dan belum memenuhi, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 tahun.

“Jika setelah lewat 3 tahun sejak berlakunya UU ini tidak menyelesaikan maka akan dikenai sanksi administratif, berupa, penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif, dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha,” jelas Sadino dalam keterangan tertulis, Kamis (19/1/2022).

Menurut dia, pelaku usaha pelaku usaha masih diberikan waktu selama 3 tahun sejak UU Cipta Kerja dan Perppu Nomor 2 dikeluarkan, untuk menuntaskan administrasi pengurusan izin dan tidak masuk ruang lingkup tindak pidana korupsi.

"Sehingga permasalahan izin yang menjerat beberapa perusahaan seharusnya dikenakan sanksi administratif bukan sanksi pidana. Karena izin adalah otoritas pemberi izin dan termasuk dalam tindakan administrasi," tegas Sadino.

Sadino menambahkan, baik Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja menggunakan asas hukum ultimum remedium dan restoratif justice, mencakup kebun sawit di kawasan hutan. Juga, mensyaratkan adanya izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan yang sesuai tata ruang, baik itu IUP untuk korporasi, dan Surat Tanda Daftar-Budidaya (STD-B) untuk masyarakat maksimal 25 ha.

 

Izin Lokasi

Ilustrasi hutan
Ilustrasi (iStock)

Izin lokasi dan/atau IUP ini berbeda dengan Hak Atas Tanah. Sehingga model penyelesaiannya memerlukan verifikasi teknis dengan menggunakan sebelum ditunjuk kawasan hutan sesuai PP Nomor 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan setelah ditunjuk Kawasan hutan sesuai Pasal 25.

"Penguasaan hutan oleh negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional," terangnya.

Mantan Staf Ahli Menteri ATR/BPN, Ling Sodikin membenarkan, jika ada masalah kepemilikan antara tanah perkebunan atau kehutanan, lazimnya dilakukan penelitian ke lapangan oleh beberapa pihak. Termasuk Pemda, BPN, polisi kehutanan, kemudian dipaduserasikan dan diputuskan apakah diselesaikan sesuai perda atau dikeluarkan izin pelepasan.

“Jika kemudian diketahui memang perkebunan itu adalah area hutan, maka bisa dikenakan sanksi administratif,” kata Ling.

Ling menjelaskan, banyak masalah kehutanan akibat aturan yang tumpang tindih antara Peraturan Daerah (Perda) dan UU mengenai kawasan hutan, dan hal itu banyak terjadi di Riau dan Kalimantan Tengah.

 

Kepemilikan

Ilustrasi Hutan
Ilustrasi Hutan, Pohon, Pepohonan. Kredit: jplenio via Pixabay

Ia mengatakan, jika ada masalah kepemilikan antara tanah perkebunan atau kehutanan, lazimnya dilakukan penelitian ke lapangan oleh beberapa pihak, termasuk Pemda, BPN, polisi kehutanan, kemudian dipaduserasikan dan diputuskan apakah diselesaikan sesuai perda atau dikeluarkan izin pelepasan.

“Berdasarkan pengalaman, sanksinya administratif, tertuang di PP 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara PNBP yang berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan salah satu penyelesaian melalui polisi kehutanan dan penyidik kehutanan, dikasih waktu sampai 2023 untuk penyelesaian sanksi,” ujarnya.

Dia menambahkan, agar tertib administrasi yang dulunya tanah instansi jarang dicatat, barulah dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 menyatakan harus disertifikatkan.

“Peraturan UU memiliki daya ikat. Namun jika ada perda yang dikeluarkan pemerintah daerah setempat, maka secara hierarki, perda yang lebih berlaku, seperti Perda Tata Ruang Wilayah. Pencatatan wajib biar negara tahu berapa kekayaannya. Aset itu harus dikuasai dan dimanfaatkan,” ungkapnya.

Kemudian, sejak 2016 harus ada izin usaha perkebunan dan hak atas tanah berdasarkan putusan MK Nomor 138/2015. Sedangkan perkebunan yang sudah berjalan sebelum 2016 bisa diusahakan haknya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya