Liputan6.com, Jakarta Dampak resesi global mulai terasa bagi Indonesia. Salah satunya tandanya yaitu kinerja ekspor yang menjadi penyokong ekonomi tahun lalu mulai melemah.
Khawatiran soal dampak resesi global ke Indonesia ini diungkapkan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers di Gedung Kementerian Investasi, Jakarta, Kamis (16/2/2023).
Baca Juga
Bahkan Bahlil menyebut kinerja ekspor kuartal pertama tahun ini mengalami pelemahan jika dibandingkan dengan kinerja pada kuartal IV tahun 2022.
Advertisement
“Ekspor kita di kuartal I-2023 ini rada-rada, tidak sebaik di kuartal IV-2022. Ini tanda-tanda sudah mulai menurun,” kata dia.
Berikut ulasan terkait resesi global dan fakta-faktanya:
1. Apa itu resesi?
Melansir laman Forbes, pada tahun 1974, ekonom Julius Shiskin mengemukakan beberapa hal yang bisa dasar untuk mendefinisikan resesi. Disebukan bila hal paling populer adalah terjadinya penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut.
Ekonomi yang sehat terjadi bila ada pertumbuhan dari waktu ke waktu, sehingga dua kuartal berturut-turut terjadi kontraksi output ekonomi menunjukkan ada masalah mendasar yang serius, menurut Shiskin. Definisi resesi ini menjadi standar umum selama bertahun-tahun.
Selama resesi, ekonomi berjuang, orang kehilangan pekerjaan, perusahaan membuat penjualan lebih sedikit dan output ekonomi negara secara keseluruhan menurun. Titik di mana ekonomi secara resmi jatuh ke dalam resesi tergantung pada berbagai faktor.
Sementara melansir laman resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sederhananya resesi adalah suatu kondisi di mana perekonomian suatu negara sedang memburuk, yang terlihat dari produk domestik bruto (PDB) negatif, pengangguran meningkat, maupun pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Adanya resesi ekonomi akan memberikan sejumlah dampak, seperti:
Perlambatan ekonomi yang membuat sektor riil menahan kapasitas produksinya sehingga pemutusan hubungan kerja (PHK) akan sering terjadi bahkan beberapa perusahaan mungkin menutup dan tidak lagi beroperasi.
Kinerja instrumen investasi akan mengalami penurunan sehingga investor cenderung menempatkan dananya pada bentuk investasi yang aman.
Ekonomi yang semakin sulit berdampak pada pelemahan daya beli masyarakat karena akan lebih selektif menggunakan uang dengan fokus pemenuhan kebutuhan terlebih dahulu.
Penyebab Resesi
Lalu sebenarnya apa penyebab resesi ekonomi? Ternyata ada lebih dari satu penyebab resesi bisa terjadi. Berikut fenomena ini adalah beberapa pendorong utama resesi, melansir laman Forbes:
1. Guncangan ekonomi yang tiba-tiba
Guncangan ekonomi adalah masalah kejutan yang menimbulkan kerugian finansial yang serius. Pada 1970-an, OPEC memotong pasokan minyak ke AS tanpa peringatan, menyebabkan resesi, belum lagi antrean tak berujung di pompa bensin.
Wabah virus corona, yang mematikan ekonomi di seluruh dunia, adalah contoh terbaru dari kejutan ekonomi yang tiba-tiba.
2. Utang yang berlebihan
Ketika individu atau bisnis mengambil terlalu banyak utang, biaya pembayaran utang dapat meningkat ke titik di mana mereka tidak dapat membayar tagihan mereka. Tumbuh default utang dan kebangkrutan kemudian membalikkan perekonomian.
Gelembung perumahan yang menyebabkan Resesi Hebat adalah contoh utama dari utang berlebihan yang menyebabkan resesi.
3. Gelembung aset
Ketika keputusan investasi didorong oleh emosi, hasil ekonomi yang buruk tidak jauh di belakang. Investor bisa menjadi terlalu optimis selama ekonomi kuat.
Mantan Ketua Fed Alan Greenspan dengan terkenal menyebut kecenderungan ini sebagai "kegembiraan irasional," dalam menggambarkan keuntungan besar di pasar saham pada akhir 1990-an.
Kegembiraan yang irasional menggelembungkan pasar saham atau gelembung real estat—dan ketika gelembung itu meletus, penjualan panik dapat menghancurkan pasar, menyebabkan resesi.
4. Inflasi
Inflasi adalah tren kenaikan harga yang stabil dari waktu ke waktu. Inflasi bukanlah hal yang buruk, tetapi inflasi yang berlebihan adalah fenomena yang berbahaya.
Bank sentral mengendalikan inflasi dengan menaikkan suku bunga, dan suku bunga yang lebih tinggi menekan aktivitas ekonomi.
Inflasi yang tidak terkendali adalah masalah yang sedang berlangsung di AS pada tahun 1970-an.
5. Deflasi
Saat inflasi yang tidak terkendali dapat menciptakan resesi, deflasi bisa menjadi lebih buruk. Deflasi adalah ketika harga turun dari waktu ke waktu, yang menyebabkan upah berkontraksi, yang selanjutnya menekan harga.
Ketika lingkaran umpan balik deflasi menjadi tidak terkendali, orang dan bisnis menghentikan pengeluaran, yang melemahkan ekonomi.
Bank sentral dan ekonom memiliki sedikit alat untuk memperbaiki masalah mendasar yang menyebabkan deflasi. Perjuangan Jepang dengan deflasi di sebagian besar tahun 1990-an menyebabkan resesi yang parah
6. Perubahan teknologi
Penemuan baru meningkatkan produktivitas dan membantu perekonomian dalam jangka panjang, tetapi mungkin ada periode penyesuaian jangka pendek terhadap terobosan teknologi.
Pada abad ke-19, ada gelombang perbaikan teknologi yang menghemat tenaga kerja. Revolusi Industri membuat seluruh profesi menjadi usang, memicu resesi dan masa-masa sulit.
Saat ini, beberapa ekonom khawatir bahwa AI dan robot dapat menyebabkan resesi dengan menghilangkan seluruh kategori pekerjaan.
Advertisement
Tanda-Tanda
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengungkapkan kekhawatirannya terkait dampak resesi global yang sudah mulai terasa bagi Indonesia.
Meskipun ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2022 berhasil tumbuh 5,31 persen, namun kinerja ekspor yang menjadi penyokong ekonomi tahun lalu mulai melemah.
Bahkan Bahlil menyebut kinerja ekspor kuartal pertama tahun ini mengalami pelemahan jika dibandingkan dengan kinerja pada kuartal IV tahun 2022.
“Ekspor kita di kuartal I-2023 ini rada-rada, tidak sebaik di kuartal IV-2022. Ini tanda-tanda sudah mulai menurun,” ungkap Bahlil dalam konferensi pers di Gedung Kementerian Investasi.
Selain kinerja ekspor, Bahlil juga mengkhawatirkan terganggunya investasi yang masuk di tahun 2023. Apalagi targetnya naik menjadi Rp1.400 triliun. Masuknya investasi asing ke Indonesia di kuartal perdana ini juga tidak lebih baik dari capaian di kuartal IV-2022.
“Saya baru cek, di kuartal I ini agak tidak sebaik dengan kuartal IV-2022 dan beberapa negara sudah menanyakan investasi di negara kita, dan ini masih butuh pergerakan-pergerakan maintenance yang baik,” ungkapnya.
Bahlil menyimpulkan, tahun 2023 menjadi tahun yang sulit selain bertepatan dengan tahun politik. Sebagaimana historisnya, ketika sebuah negara memasuki tahun politik, para investor memilih untuk menahan diri (wait and see) dalam berinvestasi.
“Kita di tahun 2023 menurut saya ini tahun yang tidak main-main,” katanya.
Perusahaan Raksasa Mulai PHK Karyawan
Memasuki awal tahun 2023, kekhawatiran resesi global masih menghantui ekonomi dunia imbas dampak pandemi Covid-19, lonjakan inflasi, dan perang Rusia Ukraina.
Kekhawatiran resesi global pun tampaknya mulai dirasakan oleh berbagai perusahaan perusahaan besar. Mereka mulai bersiasat dengan memangkas ratusan hingga ribuan pekerjanya.
Ini dengan tujuan agar masih bisa beroperasi dan mengecilkan pengeluaran demi beradaptasi dengan ketidakpastian ekonomi. Meski secara pendapatan masih baik dan jumlah pekerja perusahaan yang memang besar.
Berikut adalah perusahaan besar di dunia yang melakukan PHK besar besaran di tengah kekhawatiran resesi global dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber:
1. Google
Pada awal Februari, search Google mengatakan akan melakukan PHK kepada 12.000 pegawainya. Perusahaan ini menjadi raksasa teknologi besar yang melakukan penghematan setelah bertahun-tahun mengalami pertumbuhan dan perekrutan yang melimpah.
Chief executive officer atau CEO Google Sundar Pichai mengatakan kepada karyawan pada hari Senin bahwa akan ada PHK sebagai upaya tindakan tegas karena pertumbuhan perusahaan melambat.
Dalam pertemuan internal, Pichai yang merupakan CEO dari induk Google Alphabet Inc. mengatakan bahwa dia telah berkonsultasi dengan pendiri dan dewan perusahaan dalam membuat keputusan pemotongan 6 persen ini. Bloomberg.
"Ini adalah keputusan yang perlu saya buat,” kata Sundar Pichai terkait PHK di Google, dilansir dari Fortune.
2. PayPal
Kemudian ada PayPal yang secara terbuka mengumumkan PHK terhadap sekitar 2.000 karyawan.
Pengumuman mengenai kabar PayPal PHK karyawan itu juga disampaikan oleh Presiden dan CEO PayPal Dan Schulman ke karyawan.
"Sementara kita telah membuat kemajuan substansial dalam menyesuaikan struktur biaya, dan memfokuskan sumber daya kita pada prioritas strategis inti, kita memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan," ujarnya, laman resmi PayPal.
Schulman menjelaskan, PayPal harus terus berubah seiring berkembangnya dunia, pelanggan, dan lanskap persaingan. Ia mengatakan, mengatasi perubahan tersebut, mereka membuat keputusan sulit yang akan berdampak pada beberapa pekerja.
3. Zoom
Selanjutnya ada perusahaan penyedia video conference Zoom yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 1.300 karyawannya tahun ini, yang setara dengan 15 persen dari total tenaga kerja perusahaan.
Dalam sebuah memo kepada karyawan, CEO Zoom Eric Yuan mengindikasikan bahwa perusahaan menambah jumlah karyawan terlalu cepat di tengah pertumbuhan Zoom yang meroket saat pandemi, naik tiga kali lipat dalam dua tahun.
"Kami tidak mengambil waktu sebanyak yang seharusnya untuk menganalisis tim kami secara menyeluruh atau menilai apakah kami tumbuh secara berkelanjutan, menuju prioritas tertinggi," tulis Yuan seperti dikutip dari Engadget.
4. Boeing Kemudian ada perusahaan pembuat pesawat asal Amerika Serikat, Boeing yang berencana memangkas sekitar 2.000 pekerjanya di bagian keuangan dan sumber daya manusia tahun ini.
Melansir BBC, PHK ini terjadi ketika Boeing akan berfokus pada bagian teknik dan manufakturnya.
"Kami telah dan akan terus berkomunikasi secara transparan dengan tim bahwa kami mengharapkan jumlah staf yang lebih rendah dalam beberapa fungsi dukungan perusahaan," kata perusahaan itu kepada BBC.
"Seperti biasa, kami akan mendukung rekan satu tim yang terkena dampak dan memberikan bantuan serta sumber daya untuk mendukung transisi mereka," tambahnya.
Advertisement
Potensi Resesi Global 64 Persen pada 2023
Sejak 2022, potensi resesi global tampaknya sering didengar. Potensi resesi global yang terjadi seiring perang Rusia-Ukraina yang masih berkelanjutan, harga komoditas menguat, inflasi tinggi diikuti kenaikan suku bunga.
Hal tersebut berdampak terhadap ekonomi suatu negara. Kata resesi tersebut seperti memberikan kekhawatiran dan apa pengaruhnya kepada seseorang.
Resesi lebih dari sekadar ekonomi yang melambat, pasar saham yang bergejolak, dan data yang buruk. Di balik angka dan jargon adalah orang-orang nyata dan mata pencaharian dipertaruhkan.
Dikutip dari Bankrate, Jumat, (17/2/2023), pikirkan ekonomi sebagai ekosistem. Setiap keputusan yang dibuat oleh bisnis, lembaga keuangan, atau seseorang yang memiliki efek riak di seluruh sistem keuangan.
Investor yang takut resesi membuat pasar bergejolak yang pada gilirannya, membatasi akses perusahaan publik ke dana tunai. Lebih sedikit konsumen yang berbelanja membebani penjualan perusahaan, sehingga memaksa bisnis memangkas biaya untuk memenuhi kebutuhan.
Pengangguran dapat semakin memperburuk pengetatan ikat pinggang di antara konsumen, melanggengkan lebih banyak pengangguran.
Mencari tahu mana yang lebih dulu seperti ayam dan telur, bagi orang Amerika Serikat, sering kali efeknya lebih penting dari pada penyebabnya. Berdasarkan jajak pendapat Bankrate, ekonom mengatakan ada peluang 64 persen resesi pada akhir 2023. Namun, jangan panik, tidak semua resesi separah pandemi COVID-19 atau Great Recession sebelumnya.
Namun, memahami bagaimana resesi berdampak pada Anda dapat membantu membentuk rencana keuangan lebih baik ketika perlambatan benar-benar melanda. Ini arti resesi bagi dompet dan cara terbesar yang dapat membuat hidup Anda terasa berbeda seperti dikutip dari Bankrate yang tayang pada 31 Januari 2023.
Berapa lama Anda menganggur juga tergabtung pada tingkat keparahan penurunan. Resesi paling menganggu pasar tenaga kerja. “Jika kita hanya melihat contoh resesi dalam sejarah baru-baru ini di Amerika Serikat, mereka memiliki beberapa kesamaan dan faktor yang membedakannya,” ujar Ekonom Senior Bankrate.
Ia mengatakan, kesamaan yang dimiliki adalah penurunan ekonomi menempatkan keuangan pribadi orang Amerika Serikat pada beberapa dan sebenarnya merusak sejumla orang. Bisnis seiring masuk ke mode bertahan hidup di tengah penurunan. Menghadapi ekonomi yang melambat, mereka mungkin meninggalkan pola pikir ekspansi dan malah mencari cara memangkas biaya.
Pengangguran Meningkat
Perusahaan mungkin menunda investasi dan mengesampingkan proyek baru yang tampak cerdas ketika ekonomi masih tumbuh. Paling buruk, perusahaan dapat mungkin memangkas departemen dan melepas pekerja, dan bahkan tutup.
Sepanjang setiap resesi, pengangguran telah meningkat. Berapa banyak tergantung pada sifat penurunan. Selama pandemi COVID-19, pengganguran melonjak menjadi 14,7 persen, tertinggi sejak Great Depression.
Orang Amerika Serikat tidak berhenti merasakan efek resesi setelah kehilangan pekerjaan. Berapa lama waktu yang dibutuhkan mereka untuk menemukan pekerjaan baru, bergantung pada sistem keuangan, industri tempat bekerja dan berapa banyak perusahaan di luar sana memiliki kondisi keuangan cukup kuat untuk hadapi penurunan.
Pada waktu selama the Great Recession, misalnya 45 persen yang menganggur lebi dari enam bulan. Bahkan tingkat saat pandemi COVID-19 tidak melampauinya.
Orang Amerika Serikat mungkin juga setengah menganggur, mengerjakan pekerjaan sementara atau jam kerja lebih sedikit dari yang mereka inginkan. Orang lain mungkin mengambil pekerjaan di luar bidang mereka hanya untuk penuhi kebutuhan.
Dampak Nyata Resesi Global Menyengat Indonesia
Dampak resesi global bagi Indonesia akan cukup besar. Misalnya, pasar ekspor akan turun dan bisa menyebabkan PHK besar-besaran.
Hal tersebut diungkapkan Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Ronny P. Sasmita kepada Liputan6.com.
"Soal risiko (resesi global) saya kira cukup besar ya. Pasar ekspor yang turun dan tidak tergantikan akan berujung pada PHK besar-besaran. Ini risiko terpahit," kata Ronny, Sabtu (18/2/2023).
Selain itu, dampak tersebut juga akan menyebabkan tekanan deflasi kepada perekonomian secara keseluruhan. Di satu sisi dan akan menetralisir upaya pemerintah dalam meningkatkan investasi dan lapangan pekerjaan
Lebih lanjut, menurutnya dengan pertumbuhan ekonomi China yang hanya 3 persen dan Amerika 2,1 persen di tahun 2022, tentu tekanan terhadap ekspor nasional akan mulai terasa di tahun ini.
Selain kedua negara itu, Eropa dan Jepang pun tidak menunjukan tanda-tanda membaik. Hanya India yang berhasil tumbuh tinggi, selain Indonesia.
"Artinya, Para importir akan berhitung ulang atas volume impor yang akan mereka datangkan dari Indonesia," ujarnya.
Nasib Ekspor
Lantas bagaimana nasib ekspor, apakah masih bisa menguat? Ronny menilai, ekspor Indonesia sangat bergantung kepada kondisi global di satu sisi dan strategi dagang Indonesia di sisi lain.
Melihat performa ekonomi negara-negara besar, maka Indonesia harus mulai memiikirkan tentang bagaimana untuk mengakselerasi diversifikasi tujuan ekspor, terutama ke kawasan-kawasan yang masih potensial seperti Timur Tengah, India, Eurosia, dan intensifikasi dagang dengan negara-negara Asean.
Sementara soal potensi pelemahan investasi tentu ada. Namun, selama pemerintah mampu menjaga trend dan stabilitas pertumbuhan 5 persen ke atas dan menjaga stabilitas moneter.
"(Tapi Pemerintah harus) sembari tetap fokus menjaga daya beli, saya kira Indonesia akan bisa menjadi destinasi yang potensial untuk para investor," pungkasnya.
Advertisement
Indonesia Masih Aman dari Resesi?
Bank Indonesia (BI) memastikan Indoenesia aman dari resesi. Ini memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan cenderung bisa ke atas dalam kisaran 4,5-5,3 persen. Hal itu dipengaruhi dua hal, pertama dampak dicabutnya kebijakan zero covid di China, dan pertumbuhan konsumsi swasta lebih cepat dibanding perkiraan, seiring dicabutnya PPKM.
Hal itu disampaikan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Februari 2023, Kamis (16/2/2023).
"Darimana asalnya revisi ke atas tadi, yaitu dari lebih tingginya ekspor ke China. Karena ekonomi China kami revisi ke atas dari semula 4,6 persen belum mempertimbangkan dampak re-opening zero covid policy, setelah mempertimbangkan ekonomi China bisa naik menjadi 5,1 persen. Nah, ini akan mendorong ekspor kita ke negara lain khususnya China dan mendorong sumber pertumbuhan," kata Perry.
Lebih lanjut, semakin membaiknya permintaan domestik khususnya konsumsi swasta diyakini akan mendongkrak perekonomian RI di tahun 2023. Berkat pencabutan kebijakan PPKM, kepercayaan konsumen semakin baik dan secara langsung menumbuhkan konsumsi swasta.
"Darimana asalnya yaitu konsumsi swasta yang lebih cepat dari yang kita perkirakan dengan adanya PPKM dan adanya confident dari konsumen. Confident dari konsumen itu menumbuhkan konsumsi swasta. Dua sumber itu terutama di samping ada sumber-sumber lain. Jadi itu adalah jawaban," ujarnya.