Liputan6.com, Jakarta Mantan CEO Goldman Sachs, Lloyd Blankfein berpendapat bahwa krisis perbankan di Amerika Serikat, salah satunya yang terjadi pada SVB dan Signature Bank, akan mempercepat pengetatan kredit secara keseluruhan dan memperlambat perekonomian negara itu.
"Ada kepastian bahwa yang akan ditimbulkan oleh situasi ini - akan bertindak dengan cara yang mirip dengan kenaikan suku bunga dalam beberapa hal. Bank harus, Anda tahu, karena ketegangan, tekanan dan ketidakpastian, akan menggunakan ekuitas mereka," kata EO Goldman Sachs dalam sebuah wawancara, dikutip dari US News, Senin (20/3/2023).
Baca Juga
"Mereka akan melakukan lebih sedikit pinjaman pada simpanan yang mereka miliki. Jadi, akan ada lebih sedikit kredit. Lebih sedikit kredit berarti lebih sedikit pertumbuhan. Jadi, beberapa pilihan upaya The Fed dalam memperlambat ekonomi akan dilakukan di sini," sambungnya.
Advertisement
Gary Cohn, yang menjabat sebagai penasihat ekonomi mantan Presiden Donald Trump dan juga mantan presiden Goldman Sachs, mengatakan kepada CBS News bahwa Ketua Federal Reserve Jerome Powell berada di "titik sulit".
Baik Cohn dan Blankfein mendukung prediksi bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 0,25 persen dalam pekan mendatang.
Tetapi Blankfein mengingatkan, bank sentral mungkin perlu berhenti sejenak dan memberi ruang untuk maju. "Pasar memproyeksikan lebih baik dari peluang 70 persen bahwa The Fed menaikkan 25 basis poin. Saya pribadi berpikir tidak apa-apa untuk berhenti di sini," ujar Blankfein.
"Saya pikir (Ketua The Fed Powell) akan memberi banyak ruang dalam pertemuan mendatang untuk melakukan apa pun yang perlu mereka lakukan, yang mungkin (kenaikan suku bunga) dihentikan sementara, mungkin dipotong atau mungkin ditingkatkan tergantung pada bagaimana inflasi di AS," kata Cohn.
Silicon Valley Bank Kolaps, Goldman Sachs Pangkas Ramalan Ekonomi AS Jadi 1,2 Persen
Goldman Sachs pada Rabu (15/3) menurunkan perkiraan untuk pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat di kuartal keempat 2022, karena krisis perbankan di negara itu salah satunya Silicon Valley Bank (SVB).
Melansir US News, Jumat (17/3/2023) analis di Goldman Sachs sekarang memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS di kuartal terakhir 2022 hanya akan mencapai 1,2 persen.
Angka tersebut menandai penurunan 0,3 poin persentase dari perkiraan Goldman Sachs sebelumnya.
Seperti diketahui, bank-bank regional di AS tengah berada dalam gelombang kekhawatiran sejak SVB Financial Group ditutup oleh regulator menyusul keruntuhannya pekan lalu.
Goldman Sachs juga mengakui tekanan di beberapa bank tetap ada meskipun agen federal telah bertindak agresif untuk mendukung sistem keuangan.
Advertisement
Prospek Sistem Perbankan AS
Sebelumnya, lembaga pemeringkat Moody's juga merevisi prospek sistem perbankan AS menjadi "negatif" dari "stabil".
Selain itu, Gedung Putih juga memantau perkembangan bank-bank kecil di AS, untuk memastikan keamanan dana simpanan para nasabah imbas bangkrutnya Silicon Valley Bank.
"Kami mendedikasikan banyak waktu untuk memastikan bahwa kami melewati ini dengan baik," kata seorang pejabat Gedung Putih, dikutip dari Channel News Asia.
Pejabat itu menambahkan, Gedung Putih terus berkomunikasi dengan Departemen Keuangan AS dan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) tentang potensi masalah di bank lain, yang kasusnya hampir sama dengan SVB.
Bos BI Pede Kasus Silicon Valley Bank Tak Bakal Terjadi di Indonesia, Ini Hitungannya
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menilai, kasus bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB) tak akan berdampak ke perbankan Indonesia. Bahkan, kasus tersebut diprediksi tak bakal terjadi terhadap bank dalam negeri.
Satu alasan yang mendasari tak kena dampak adalah bank di Indonesia tidak menaruh modal yang berkaitan dengan SVB. Maka, tak terpengaruh oleh bangkrutnya SVB termasuk 3 bank di Amerika Serikat.
"Bank-bank di indonesia apakah terjadi konsentrasi deposan enggak? Sebagaian besar tidak. Sebagian besar itu tidak, umumnya bahwa konsentrasi deposan misalnya top 10 deposan dibagi DPK rata-rata 10-15 persen ada 1 atau 2 bank yang tak lebih dari 35-40 persen. Sehingga deposit funding itu cukup terdiversifikasi sehingga memperkuat ketahanan funding-nya dari bank," beber Perry dalam Konferensi Pers Hasil RDG Bulanan Bank Indonesia pada Maret 2023, Kamis (16/3/2023).
Kedua, dilihat dari risiko valuasi bank di Indonesia. Perry melihat kalau risiko dampak langsungnya hampir tidak ada, karena tak ada yang menanamkan dana di 3 bank AS yang bangkrut.
Pada konteks yang sama, perbankan di Indonesia cenderung memegang SBN model HTM dan sudah bergeser dari SBN AFS. Perry menilai, ini langkah tepat yang jadi faktor kuatnya perbankan Indonesia.
"Dan yang ketiga bank-bank yang ada negatif valuasi terhadap SBN sudah membentuk CKPN cadangan untuk negatif valuasi dari SBN-nya," kata dia.
Dengan demikian, tingkat Capital Adequo Ratio (CAR) berada di posisi yang tinggi. Artinya, bisa menjadi bantalan yang cukup terhadap risiko kebangkrutan.
"CAR nya kan 25,88 persen, ini sudah masukkan CKPN sehingga keseluruhan menyimpulkan bahwa kodnisi perbankan nndonesia itu bisa bertahan terhadap dampak ini," ungkapnya.
"Stabilitas keuangan Indonesia berdaya tahan menghadapi gejolak global ini termasuk dampak dari 3 bank tadi," tambah Perry Warjiyo.
Advertisement