Tekan Impor Solar Rp 140 Triliun, Bioenergi Jadi Solusi

Pada 2023, target penggunaan biodiesel akan mencapai 13,15 juta kl yang mampu mengurangi impor minyak solar hingga Rp 140 triliun.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 28 Mar 2023, 21:25 WIB
Diterbitkan 28 Mar 2023, 21:25 WIB
Uji Coba Penggunaan Bahan Bakar B30
Sampel biodiesel B0, B20, B30, dan B100 dipamerkan saat uji jalan Penggunaan Bahan Bakar B30 untuk kendaraan bermesin diesel di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (13/6). (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Pelaku industri hilir sawit meminta pemerintah untuk menggencarkan program bioenergi, dengan memanfaatkan campuran minyak sawit. Pemerintah diharapkan mampu menciptakan kebijakan dan dukungan, terutama mengantisipasi dampak hambatan dagang di negara tujuan ekspor.

Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan berharap, program biodiesel yang telah mencapai bauran 35 persen (B35) akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang.

Pada 2023, target penggunaan biodiesel akan mencapai 13,15 juta kl yang mampu mengurangi impor minyak solar hingga Rp 140 triliun.

"Program biodiesel merupakan bagian dari upaya mencapai target nol emisi pada 2060. Karena itulah, perlu didorong program bioenergy lainnya seperti bioavtur, bioethanol, dan bensin sawit," ujar Paulus dalam keterangan tertulis, Selasa (28/3/2023).

Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) Rapolo Hutabarat bersyukur, kapasitas produksi oleokimia Indonesia saat ini mencapai 11,38 juta ton. Itu lebih tinggi dari Malaysia sebesar 2,5-3 juta ton yang berbasis minyak sawit.

Menurutnya, Indonesia sangat beruntung memiliki sentra produksi oleokimia di dalam negeri. Pasalnya, itu sangat bermanfaat di masa pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu, terutama bagi produk disinfektan dan kebersihan tubuh seperti sabun.

Seiring pemulihan ekonomi, volume ekspor oleokimia mencapai 4,2 juta ton pada 2022. Negara tujuan utama ekspor adalah India, China, dan Eropa.

"Tahun lalu nilai ekspor oleokimia mencapai USD 5,4 miliar, atau rerata Rp 83 triliun lebih. Ini sebuah pencapaian bersama terutama keberpihakan pemerintah yang mendukung hilirisasi di Indonesia," ungkapnya.

Kinerja positif oleokimia, diakui Rapolo, juga ditopang keberpihakan pemerintah melalui kebijakan gas murah. Jadi, industri oleokimia mendapatkan insentif gas murah sampai 2024.

"Semoga kebijakan ini terus bergulir. Kami lihat Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian sangat mendukung implementasi harga gas USD 6 per mmbtu bagi oleokimia. Hingga sekarang, tidak ada PHK di sektor oleokimia bahkan terus bertambah penyerapan tenaga kerja," imbuhnya.

 

Tren Produksi Minyak Nabati

minta-pajak-cpo-turun130110b.jpg
CPO

Sementara Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menjelaskan, di kuartal pertama 2023 tren masih di bawah tren periode sama tahun lalu.

Di pasar global, terjadi penurunan tren produksi minyak nabati sebesar 2 persen menjadi sekitar 58 juta ton dari target awal 61 juta ton. Begitupula di dalam negeri, harga sawit tidak seperti tahun lalu di atas USD 1000 per ton.

"Saat ini ekspor sawit menurun akibat dampak resesi global. Imbasnya, target DMO sulit dicapai. Lemahnya ekspor ini mulai terjadi di akhir 2022, dimana hak ekspor sawit sebesar 6,1 juta ton tidak sepenuhnya terealisasi. Dampak berikutnya, pasokan minyakita berkurang lantaran dana subsidi minyakita itu dari ekspor," terangnya.

Sahat mengusulkan, DMO tidak lagi tepat menggerakkan pemenuhan kebutuhan minyak goreng. Sebaiknya pemerintah fokus membantu masyarakat kurang mampu sekitar 33 juta orang, dimana kebutuhan minyak goreng murah sekitar 42 juta kl. Syaratnya, pemerintah melalui Bulog yang memegang distribusi minyak goreng kepada masyarakat kurang mampu

Untuk itulah, Sahat menyarankan kebijakan penundaan BK CPO ini perlu dilakukan untuk menjaga daya saing industri sawit nasional di pasar global. Apabila bea keluar tetap dijalankan, maka stok minyak sawit di dalam bakalan over suplai dan tanki penuh.

"Kalau bea keluar tetap jalan, diperkirakan ekspor sawit akan macet total. Harga tahun ini lebih rendah daripada tahun lalu. Pasar ekspor juga lesu. Makanya, ekspor butuh insentif supaya daya saing kuat di pasar global," kata Sahat.

Holding Perkebunan Nusantara Restui Indonesia Punya Bursa Berjangka CPO

Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)

 Holding Perkebunan Nusantara mendukung pembentukan bursa berjangka dalam negeri sebagai harga acuan crude palm oil (CPO) Indonesia, yang tengah dicanangkan Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan.

Hal tersebut, disampaikan Direktur Pemasaran Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero), Dwi Sutoro, saat menjadi pembicara dalam seminar bertajuk “Strategi Indonesia Menjadi Barometer Harga Sawit Dunia” di Jakarta, Kamis (2/02/2023).

Dwi menyampaikan, Indonesia sebagai produsen terbesar CPO dunia, sudah semestinya memiliki harga acuan sendiri.

“Karena menggunakan CPO international price sebagai acuan harga CPO domestik, sering tidak membuat keseimbangan penawaran dan permintaan didalam negeri, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan harga CPO dalam negeri,”paparnya.

Menurut Dwi, bursa CPO yang ideal adalah bursa yang memiliki fungsi lengkap, yakni sebagai price discovery, price reference, dan hedging dari sebuah proses yang fair, efisien,transparan, dan terpercaya.

“Tentunya, ide membangun tata niaga komoditi CPO Indonesia melalui pengembangan bursa CPO Indonesia ini harus kita dukung dan diskusikan sebagai tahapan untuk membuat Indonesia menjadi barometer sawit dunia,” ujarnya.

Dwi menyampaikan, bahwa pembentukan tata niaga sawit, setidaknya harus mencakup empat aspek, antara lain aspek keadilan, efisiensi, nilai tambah, dan keberlanjutan.

“Keterlibatan pemerintah, BUMN, dan swasta, diharapkan bisa menciptakan sinergi yang positif dalam mendesain tata niaga sawit Indonesia yang adil, efisien,transparan, dan terpercaya,” ungkapnya.

 

Harga Sawit

Ilustrasi CPO 4 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 4 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian,Musdalifah Mahmud, menyampaikan, bahwa mewujudkan Indonesia sebagai barometer harga sawit dunia bukan sebatas cita-cita lagi.

“Tetapi Insyaallah akan segera tercapai,”ujarnya.

Saat ini, kata Musdalifah, Indonesia merupakan negara yang berkontribusi sebesar 55 persen terhadap minyak sawit dunia dan 42 persen minyak nabati dunia.

Oleh karena itu,dia optimistis, jika Indonesia bisa segera menjadi barometer harga sawit dunia. “Apalagi,dengan adanya konsistensi penerapan B35, stabilitas harga sawit juga semakin terjaga,”ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya