Liputan6.com, Jakarta - Apa yang akan terjadi pada masa depan ekonomi Amerika Serikat (AS)? Pertanyaan ini tampaknya menjadi perhatian saat ini. Hal tersebut seiring sejumlah hal yang terjadi mulai dari dampak krisis perbankan, inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga oleh the Federal Reserve (the Fed).
Dikutip dari CNN, Rabu (3/5/2023), Analis BNY Mellon Investment Management, Jake Jolly telah menguraikan tiga skenario yang mungkin masing-masing mempertimbangkan dampak krisis perbankan, “kekakuan” inflasi dan jalur kenaikan suku bunga oleh the Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral AS.
Setiap tahun, Jollly dan timnya memperdebatkan skenario ekonomi ke depan. Begitu mencapai kesepakatan tentang apa yang bisa terjadi, mereka kumpulkan dan membuat bagan yang menunjukkan keseimbangan risiko di seluruh variabel dan metrik keuangan.
Advertisement
Kepada CNN, Jolly menuturkan, resesi cepat atau lambat tetap lebih mungkin terjadi daripada tidak. “Dan prospek jangka panjang, setelah goncangan, tetap relatif positif untuk saham, kita hanya harus melewati pengaturan ulang yang tak stabil,” ujar dia.
Berikut adalah kemungkinan tiga skenario, dan kemungkinan yang terjadi.
Skenario Pertama:
Kemungkinan 50 persen-Krisis Kredit
Ini membayangkan apa yang akan terjadi jika the Federal Reserve (the Fed) menaikkan suku bunga dua dan bahkan tiga kali lipat karena gejolak perbankan di Amerika Serikat dan Eropa menyebabkan kondisi kredit mengetat secara signifikan.
Ini akan melontarkan Amerika Serikat ke dalam resesi selama paruh kedua 2023. (Eropa dan Inggris akan merasakannya lebih awal). Pasar tenaga kerja yang panas akan mengendur dengan cepat, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) akan meluas.
Pembukaan kembali China setelah COVID-19 mengirimkan dorongan melalui ekonomi global. Akan tetapi, itu akan dengan cepat terhalang oleh resesi. “Jika Amerika Serikat bersin, dunia akan masuk angin,” tutur Jolly.
Skenario Ekonomi
Skenario Kedua:
Pendaratan tertunda-kemungkinan 30 persen
Dalam skenario ini, bank sentral global utama menghentikan kenaikan suku bunga sebagai respons terhadap krisis perbankan. Pasar tenaga kerja tetap sangat ketat dan pertumbuhan upah kembali meningkat, menambah tingkat inflasi yang kaku.
Pembukaan kembali China, sementara itu berakhir dengan inflasi untuk barang-barang inti. Ketika inflasi naik lagi, bank sentral terpaksa menaikkan suku bunga lebih banyak lagi, mengirim Amerika Serikat ke dalam resesi pada paruh kedua 2023.
Skenario Ketiga:
Soft landing-kemungkinan 20 persen
Ini akan menjadi skenario yang ideal dan menurut Jolly, paling tidak mungkin. Inflasi terus turun tanpa perlu banyak pengetatan the Federal Reserve dan suku bunga mencapai puncaknya di 5 persen. Kehilangan pekerjaan minimal karena pertumbuhan upah melambat seiring inflasi.
Pembukaan kembali China memiliki efek luapan positif dan seimbang, disinflasi untuk barang-barang inti.
“Ini adalah siklus bisnis yang menantang untuk dibaca. Ada dinamika di dunia setelah COVID-19 yang aneh. Pasar tenaga kerja tidak berperilaku seperti yang kita harapkan pada saat ini. Ada kemungkinan ekonomi melihat disinflasi dengan cara yang belum pernah terjadi pada siklus sebelumnya,” ujar dia.
Advertisement
Apakah Gig Ekonomi Mencapai Puncaknya?
Selama pandemi COVID-19, pangsa pelanggan Bank of America yang menerima pendapatan dari tipe pekerjaan gig yang tumbuh tiga kali lebih tinggi. Hal itu disampaikan Bank of America baru-baru ini. Itu sepertinya akan turun. Mengutip dari berbagai sumber, gig economy sebagai kondisi di mana sekumpulan bekerja secara paruh waktu, posisi kerja bersifat temporer atau independent. Jadi kalau gig economy worker tidak terikat dalam arti bekerja seperti yang diketahui saat ini.
Bank of America melihat pendapatan melalui setoran langsung atau kartu debit turun menjadi 2,7 persen pada Februari 2023 dari level tertinggi 3,3 persen pada Maret 2022.
Jadi apakah gig economy sudah mencapai di belakang?
“Dalam pandangan kami, penurunan baru-baru ini sebagian mencerminkan permintaan yang lebih rendah,” tulis analis.
“Secara khusus lebih sedikit pesanan takeout restoran dan pengiriman bahan makanan karena ekonomi telah dibuka kembali, dan pergeseran dari pengeluaran barang ke layanan dapat berarti lebih sedikit pekerjaan di dalam platform pengiriman dan pasar perdagangan sosial,”
Namun, hal itu juga bisa menjadi masalah penawaran. Riset menunjukkan pekerja gig economy bekerja di industri jasa. Pertumbuhan upah yang kuat di sektor itu mungkin telah menarik pekerja tersebut ke pekerjaan penuh waktu.
“Faktanya. Kami pikir rotasi dari gig economy ke pekerjaan tradisional sebagian dapat menjelaskan peningkatan baru-baru ini dalam tingkat partisipasi angkatan kerja untuk pekerja yang lebih muda,”.
Menurut data BLS, tingkat partisipasi angkatan kerja, sebesar 62,6 persen terus menjadi tren pada Maret. Tingkat partisipasi pekerja usia prima, mereka yang berusia 25 dan 54 tahun, hanya di atas 83 persen, tingkat tertinggi sejak Januari 2020.
First Republic Bank Bakal Dongkrak Potensi Risiko Resesi?
CEO JPMorgan Chase, Jamie Dimon menuturkan, kegagalan First Republic tidak meningkatkan risiko resesi. Ia menuturkan, setelah JPMorgan Chase membeli sebagian besar aset First Republic Bank.
“Itu tidak mengubah apa pun tentang kemungkinan resesi,” ujar dia.
Ia juga meyakinkan investor kalau sistem perbankan “sangat stabil”. Namun, Dimon memperingatkan sementara gejolak perbankan telah terkendali, ekonomi belum keluar dari masalah. Hal ini mengingatkan kembali pada pernyataan Jamie Dimon pada minggu sebelumnya kalau awan badai akan datang untuk perekonomian.
“Di ujung jalan, suku bunga naik, real estate, resesi, itu masalah yang sangat berbeda. Tapi untuk saat ini, kita haris menarik nafas dalam-dalam,” ujar dia.
Saham JPMorgan Chase naik 2,1 persen pada perdagangan Senin, 1 Mei 2023.
Advertisement