Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno mengungkapkan, ada sekitar 52 persen jaringan jalan rusak di Indonesia.
Selain itu, Djoko juga mengungkapkan masih ada sejumlah daerah yang belum memiliki anggaran yang cukup untuk pembenaran fasilitas jalan yang rusak.
Baca Juga
"Salah satu daerah dengan jalan rusak itu ada di Parung Panjang, jadi wajar kalau banyak masalah. Sementara daerah tersebut tidak punya banyak anggaran.
Advertisement
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melihat, dampak ekonomi dari infrastruktur jalan yang rusak bukan persoalan yang sederhana.
"Pertama, bisa berpengaruh pada yang namanya incremental capital output ratio (ICOR). Jaman SBY, ICOR Indonesia itu di 4,2, sekarang di jaman Jokowi 6,2. Jadi artinya ada kenaikan inefficiency (ketidakefisienan) dalam investasi," kata Bhima kepada Liputan6.com, Selasa (9/5/2023).
"Kenapa inefficiency ini terjadi, karena ICOR itu juga menghitung berapa banyak investasi yang dikeluarkan suatu perusahaan ketika membangun pabrik, dan ketika jalannya rusak, baik karena pembangunan, pertanian, maka akan ada tambahan biaya yang dibebankan kepada investor," paparnya.
Semakin tinggi nilai ICOR, Bhima menjelaskan, semakin tinggi nilai ketidakefisienan untuk mendapatkan output yang dihasilkan, maka ini juga akan menurunkan daya saing Indonesia.
"Maka dari situ artinya logistic performance idex kita juga turun, ini ada pengaruhnya nanti kepada performa investasi," jelasnya.
Bhima melanjutkan, infrastruktur jalan yang rusak juga bisa mempengaruhi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) suatu daerah.
"Maka bisa dicek apakah PMTB di daerah yang jalannya rusak, itu juga kecil, karena ada korelasi. Seseorang akan malas berinvestasi ketika infrastrukturnya tidak mensupport," ucapnya.
Lampung Punya Anggara Rp 7 T tapi Infrastruktur Jalan Masih Rusak, Kok Bisa?
Selanjutnya, Bhima juga mempertanyakan soal Anggaran. Untuk Lampung sendiri, memiliki anggaran yang besar, yakni Rp 7 triliun.
"Begitu infrastruktur yang sebagai salah satu belanja penting di dalam APBD tidak dijalankan dengan baik, maka dapat timbul pertanyaan, bagaimana efisiensi dari Pemerintah Daerah, bagaimana postur anggaran di daerah," ujar Bhima.
Bhima menyoroti, hal ini dikhawatirkan dapat menghambat munculnya kewirausahaan baru, lahirnya UMKM baru, atau pengusaha berorientasi ekspor.
"Ada pertanyaan kenapa APBD Lampung seolah tidak cukup untuk membenahi infrastruktur jalan padahal anggarannya besar dan medapat dana transfer dari pemerintah Pusat per tahunnya?," katanya.
Advertisement
Infrastruktur Jalan yang Rusak Bisa Pengaruhi Pengendalian Inflasi
Ketiga, efek lainnya dari infrastruktur jalan yang rusak adalah waktu tempuh yang cukup jauh untuk pengiriman bahan baku, pengiriman bahan jadi.
"Jadi (beban) itu semua akan diteruskan kepada pengusaha dan konsumen, yang berakibat konsumen harus membayar kerusakan jalan itu,tercermin dari harga barang yang menjadi lebih mahal," kata Bhima.
"Jadi biaya distribusi efek nya kemana mana. Tapi yang menjadi persoalan adalah di mana ada satu daerah yang infrastrukturnya bagus, disitu produksi bisa dilakukan dengan cepat, termasuk pengirimannya, sementara di daerah yang infrastruktur jalannya rusak bisa membuat orang menunggu, meskipun di sana ada bisnis logistik besar, pabrik besar, tapi dibebani dengan waktu tunggu yang lama," pungkasnya.
Karena dengan jalan yang rusak akan membuat waktut empuh kendaraan menjadi lamban.
"Terakhir, akumulasi dari infrastruktur jalan yang rusak juga akan mempersulit upaya pengendalian inflasi di masing masing daerah, karena masalah inflasi juga berkaitan dengan biaya distribusi. Maka daerah dengan inflasi yang tinggi juga bisa dilacak kondisi infrastrukturnya," ungkap Bhima.