KKP Atur Harga dan Volume Pengerukan Pasir Laut, Pengamat: Tak Bisa Jadi Jaminan

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan mengatur volume dan harga jual pasir laut sebagai koridor pemanfaatan hasil sedimentasi di laut.

oleh Arief Rahman Hakim diperbarui 03 Jun 2023, 16:00 WIB
Diterbitkan 03 Jun 2023, 16:00 WIB
Kapal pengangkut penambangan pasir laut sewaan PT Logo Mas Utama yang akan membawa pasir dari Pulau Rupat.
Kapal pengangkut penambangan pasir laut sewaan PT Logo Mas Utama yang akan membawa pasir dari Pulau Rupat. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan mengatur volume dan harga jual pasir laut sebagai koridor pemanfaatan hasil sedimentasi di laut. Namun, rencana ini dinilai masih belum bisa menjadi jaminan.

Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC) Marcellus Hakeng Jayawibawa mengungkap, penetapan harga jual maupun volume tak bisa serta-merta menghalangi penyelewengan. Meskipun, dia mengakui, adanya inisiatif pengaturan ini bakal membawa dampak yang cukup baik pada sisi pelaksanaannya.

"Soal penentuan HPP pasir laut yang akan diterapkan pun bukan jadi jaminan tidak akan terjadi penyelewengan. Penyelewengan soal berapa jumlah pasir yang diangkut atau disedot nanti sangat terbuka lebar," ujarnya kepada Liputan6.com, Sabtu (3/6/2023).

Dia menyoroti, besaran ukuran pasir yang dikeruk perlu dipertegas kembali. Termasuk juga lamanya konsesi satu daerah menjadi lokasi pengerukan pasir laut tadi. Hal ini, guna memastikan kegiatan eksploitasi itu tidak berlebihan.

Di sisi lain, Marcellus juga menilai perlu adanya perlakuan yang adil bagi pengusaha yang menggarap proyek pengerukan pasir. Utamanya, mengenai upaya mengurangi dampak buruk dari pengerukan tersebut.

"Misalnya, pihak pengusaha tambang pasir harus juga diberi tanggung jawab untuk ikut ikut merevitalisasi lingkungan sekitar tambang pasir laut. Mereka juga harus mampu menjaga lingkungan pesisir tetap terjaga selama mereka melakukan kegiatan," tegasnya.

Informasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pemanfaatan Hasil Sedimentasi di Laut. Ada 4 tujuan yang diatur dalam beleid ini.

Diantaranya, pemanfaatan untuk Reklamasi di dalam negeri; Pembangunan infrastruktur pemerintah; Pembangunan prasarana oleh pelaku usaha; dan/atau Ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Tak Ada Urgensi Ekspor

Ekspor Pasir Laut
Pembukaan ekspor pasir laut dinilai akan memberikan pemasukan bagi Indonesia. Foto: Freepik/kbza

Menanggapi poin terakhir dari jenis pemanfaatan yang diatur di PP 26/2023, Marcellus tetap memberikan perhatian khusus pada kegiatan ekspor pasir laut. Menurutnya, tak ada hal yang mendesak sehingga opsi itu dibolehkan.

"Tetap harus saya ingatkan bahwa yang sangat menjadi perhatian saya adalah salah satu isi dari aturan ini dimana memperbolehkan ekspor pasir laut. Hal ini adalah sesuatu yang menurut saya tidak perlu dan tidak ada urgensinya," kata dia.

Marcellus menilai pada dasarnya, kebutuhan domestik sebagai pemanfaatan pasir laut sendiri masih bisa diutamakan. Mengingat sedang gencarnya pemerintah melakukan pembangunan.

"Karena dengan kebutuhan domestik kita saja yang sedang sangat giat melakukan pembangunan saya memiliki keyakinan kita masih kekurangan bahan baku. Titik ini yang saya benar-benar minta kepada Pemerintah untuk bisa kembali kaji, tunda serta kalau bisa ditarik kembali. Selesaikan dulu perjanjian batas-batas laut kita dengan Negara-Negara tetangga kita, baru kita bisa memikirkan untuk mengekspor pasir laut kita kembali," pungkasnya.

 


Alasan Pemerintah

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan akan memproses hukum perusahaan yang melakukan penambangan pasir di perairan Pulau Rupat, Provinsi Riau.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan akan memproses hukum perusahaan yang melakukan penambangan pasir di perairan Pulau Rupat, Provinsi Riau.

Diberitakan sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan membeberkan alasan pemerintah membuka keran pengerukan pasir laut, termasuk untuk tujuan ekspor. Menyusul ditekennya aturan mengenai hal itu oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu.

Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Komunikasi dan Kebijakan Publik Wahyu Muryadi menjelaskan, tujuan utama terbitnya PP nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Misalnya, untuk reklamasi hingga kepetingan pembangunan yang dijalankan pemerintah.

"Sedimentasi ini sebuah peristiwa oceanografi, yg setiap tahun terus aja sedimentasi ngumpul secara alami. Jika tidak di ambil akan menutupi terumbu karang dan alur laut dan juga dicolongin orang, sebaliknya jika diambil akan memberi keuntungan buat negara, selain utk bahan reklamasi utamanya di dalam negeri," paparnya kepada Liputan6.com, ditulis Jumat (2/6/2023).

 


Bukan Tujuan Utama

Ilustrasi pasir laut (Foto: Unsplash/Lopez Robin)
Ilustrasi pasir laut (Foto: Unsplash/Lopez Robin)

Di sisi lain, ada peluang juga pemanfaatan pasir laut ini untuk kebutuhan ekspor. Tapi, Wahyu menegaskan kalau ekspor pasir laut ini bukan tujuan utama dari terbitnya beleid tersebut.

"Bisa juga untuk memenuhi kebutuhan di luar negeri, yang penentuannya di tentukan oleh tim kajian yang terdiri dari KKP, ESDM, KLHK dan Kemenhub, jadi tidak bisa sembarangan," sambungnya.

Nantinya, aturan secara rinci mengenai proses pengerukan akan dibahas dalam peraturan menteri Kelautan dan Perikanan. Khususnya aturan teknis mengenai volume pengerukan.

"Iya, soal titiknya dimana dan berapa volumenya akan ditetapkan oleh tim saintis yang mengkajinya secara ilmiah," tegasnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya