Liputan6.com, Jakarta Morgan Stanley memangkas ramalannya pada pertumbuhan ekonomi China di tahun ini, menyusul serentetan data perlambatan di negara tersebut dan kekhawatiran atas sektor properti.
Mengutip Channel News Asia, Jumat (18/8/2023) Morgan Stanley sekarang melihat produk domestik bruto (PDB) China tumbuh 4,7 persen tahun ini, turun dari perkiraan sebelumnya sebesar 5 persen, menurut sebuah catatan.
Baca Juga
Bank yang berbasis di Wall Street itu juga telah menurunkan perkiraan PDB China tahun 2024 menjadi 4,2 persen dari semula 4,5 persen.
Advertisement
Awal pekan ini, J.P.Morgan memangkas perkiraan pertumbuhan PDB China 2023 menjadi 4,8 persen dari 5 persen sebelumnya, sementara Barclays memangkasnya menjadi 4,5 persen.
Sementara itu, China masih menetapkan target pertumbuhan sekitar 5 persen untuk tahun ini.
Morgan Stanley menurunkan perkiraan menjadi "faktor dalam perlambatan belanja modal (belanja modal) yang lebih curam di tengah penurunan utang di sektor properti dan pembiayaan pemerintah daerah (LGFV), dengan efek lanjutan pada konsumsi," kata ekonom yang dipimpin oleh Robin Xing dalam catatan Morgan Stanley.
Seperti diketahui, sektor properti China telah bergulat dengan krisis likuiditas sejak akhir 2021, ketika China Evergrande Group anjlok dan memicu serangkaian gagal bayar utang.
Kekhawatiran pada dampak menyebar ke pengembang swasta terbesar di negara itu, Country Garden, dan manajer aset Zhongzhi Enterprise Group menyatakan sedang menghadapi krisis likuiditas dan akan melakukan restrukturisasi utang.
"Kekhawatiran tentang salah alokasi dapat membuat respons kebijakan awal ragu-ragu, memperburuk lingkaran utang/deflasi," jelas Morgan Stanley.
Ekonomi China Lesu Bakal Bebani Prospek Pertumbuhan Global
Selama lebih dari serempat abad, China identik dengan Pembangunan tanpa henti dan mobilitas. 1,4 miliar penduduk China semakin menyukai barang global yakni film Hollywood, barang elektronik Korea Selatan, dan bijih besi yang ditambang dari Australia.
Ekonomi global didorong oleh mesin pertumbuhan ekonomi yang tampaknya tidak ada habisnya. Saat ini, mesin itu tergagap-gagap menimbulkan risiko yang mengkhawatirkan bagi rumah tangga China dan ekonomi global. Demikian dikutip dari Yahoo Finance, ditulis Minggu (13/8/2023).
China lama menjadi inti globalisasi yang meningkatkan keuntungan, dan kini beralih ke kartu liar terakhir saat ketidakpastian luar biasa bagi ekonomi global.
Risiko ini telah diperkuat dalam beberapa minggu terakhir dengan sejumlah perkembangan. Ekonomi China melambat sehingga meredakan harapan ekspansi yang kuat setelah pencabutan COVID-19 yang ekstrem.
Pekan ini membawa data yang menunjukkan ekspor China telah menurun selama tiga bulan berturut-turut, sementara impor susut selama lima bulan berturut-turut, indikator lain dari prospek yang lesu.
Kemudian datang berita harga telah turun dari berbagai barang mulai dari makanan hingga apartemen meningkatkan momok China berada di ambang apa yang disebut deflasi atau penurunan harga yang berkelanjutan, pertanda aktivitas komersial yang lesu.
Sebagai tanda tekanan yang semakin mendalam di pasar properti China. Persimpangan antara keuangan, konstruksi dan kekayaan rumah tangga, pengembang real estate Country Garden melewatkan pembayaran obligasi dan perkirakan kerugian hingga USD 7,6 miliar pada semester I 2023.
Advertisement
Perlambatan China Berdampak terhadap Ekonomi Global
Bagi pekerja dan rumah tangga China, peristiwa ini menambah masalah. Di seluruh dunia, melemahnya ekonomi China menandakan menyusutnya permintaan barang-barang utama mulai dari kedelai dari Brasil hingga daging sapi Amerika Serikat, hingga barang mewah buatan Italia. Hal ini juga dapat pengaruhi permintaan untuk minyak, tambang mineral dan bahan bangunan industri lainnya.
“Perlambatan di China pasti akan membebani prospek ekonomi global. Karena China sekarang menjadi konsumen komoditas nomor pertama di dunia, dampaknya akan cukup besar,” ujar Ekonom Macquarie Larry Hu yang berbasis di Hong Kong, seperti dikutip dari Yahoo Finance, dari New York Times.
Kontribusi Ekonomi China
Selama dekade terakhir, China telah menjadi sumber lebih dari 40 persen pertumbuhan ekonomi global, dibandingkan Amerika Serikat sebesar 20 persen dan 9 persen dari 20 negara yang memakai euro, demikian analisis terbaru dari BCA Researh.
Yang menambah kekhawatiran adalah meluasnya pemahaman kalau otoritas China terbatas dalam pilihan mereka untuk kembali hidupkan ekonomi, mengingat utang yang menumpuk sekarang diperkirakan mencapai 282 persen dari output nasional, lebih banyak dari Amerika Serikat.
Ekonom: Perlambatan Ekonomi China Bisa Berkepanjangan
Ekonom memprediki perekonomian China dapat menghadapi perlambatan yang berkepanjangan.
Mengutip CNBC International, Selasa (25/7/2023) produk domestik bruto China tumbuh sebesar 6,3 persen year-on-year pada kuartal kedua 2023.
Angka tersebut di bawah ekspektasi pasar untuk ekspansi 7,3 persen setelah ekonomi terbesar kedua di dunia itu mencabut lockdown Covid-19.
Secara triwulanan, output ekonomi China tumbuh sebesar 0,8 persen, lebih lambat dari kenaikan triwulanan 2,2 persen yang tercatat dalam tiga bulan pertama tahun ini.
Sementara itu, angka pengangguran di antara anak muda mencapai rekor tertinggi hingga 21,3 persen di bulan Juni.
Julian Evans-Pritchard, kepala ekonom China di Capital Economics, mengatakan dalam sebuah catatan bahwa China masih akan menghadapi sejumlah tantangan untuk memulihkan ekonominya.
Tantangan ini termasuk permintaan domestik, masalah keuangan di sektor properti, dan lingkungan eksternal.
"Secara keseluruhan, pertemuan Politbiro memberikan nada dovish dan memperjelas bahwa kepemimpinan merasa lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mendapatkan pemulihan di jalurnya. Ini menunjukkan bahwa beberapa dukungan kebijakan lebih lanjut akan diluncurkan dalam beberapa bulan mendatang," kata Evans-Pritchard.
"Tetapi tidak adanya pengumuman besar atau spesifik kebijakan memang menunjukkan kurangnya urgensi atau pembuat kebijakan sedang berjuang untuk menghasilkan langkah-langkah yang sesuai untuk menopang pertumbuhan," sambungnya.
Senada, kepala penelitian China dan Asia di TS Lombard, Rory Green melihat bahwa ekonomi China masih belum pulih dari kejutan akibat Covid-19 dan lockdown yang berkepanjangan.
"Ada kemungkinan bahwa jika Beijing tidak turun tangan, bagian siklus dari kerusakan siklus Covid-19 dapat sejalan dengan beberapa hambatan struktural yang dimiliki China – terutama di sekitar ukuran sektor properti, terlepas dari ekonomi global, demografi – dan mendorong China ke tingkat pertumbuhan yang jauh lebih lambat," jelasnya.
Advertisement