SKK Migas Cari Investor Genjot Produksi Gas, Khawatir Indonesia Jadi Net Importir di 2042

Lebih dari 50 persen sumur eksplorasi sumur gas yang dibor menemukan cadangan gas baru, bahkan di tahun 2022 success ratio mencapai 81 persen dan hingga semester 1 2023 success ratio mencapai 100 persen.

oleh Arief Rahman H diperbarui 23 Agu 2023, 15:30 WIB
Diterbitkan 23 Agu 2023, 15:30 WIB
Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Nanang Abdul Manaf, dalam Media Briefing, di Jakarta, Rabu (23/8/2023). (Arief/Liputan6.com)
Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Nanang Abdul Manaf, dalam Media Briefing, di Jakarta, Rabu (23/8/2023). (Arief/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melihat kemungkinan Indonesia akan menjadi importir gas bumi di 2042 mendatang. Hal ini bisa terjadi jika produksi gas dalam negeri tidak digenjot makin masif.

Salah satu upaya untuk menggenjot produksi itu adalah dengan mencari cadangan-cadangan baru untuk dikembangkan. Harapannya, mampu meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan energi Indonesia di masa depan.

“Mengacu pada BP Outlook 2021, Reserves to Production gas Indonesia dua kali lebih besar dibanding minyak bumi," ujar Wakil Kepala SKK Migas Nanang Abdul Manaf, dalam Media Briefing, di Jakarta, Rabu (23/8/2023).

Dia mencatat, lebih dari 50 persen sumur eksplorasi yang dibor menemukan cadangan gas baru, bahkan di tahun 2022 success ratio mencapai 81 persen dan hingga semester 1 2023 success ratio mencapai 100 persen. Sementara 70 persen dari total Plan of Development (PoD) yang diajukan merupakan pengembangan lapangan gas.

"Potensi gas harus segera diproduksikan sehingga kekhawatiran potensi menjadi net importir gas di 2042 tidak terjadi, dan produksi gas terus meningkat memenuhi kebutuhan domestik hingga mampu mendukung pencapaian target net emission zero di 2060,” bebernya.

Nanang juga mencatat, alokasi gas untuk kebutuhan domestik terus meningkat dalam 10 tahun terakhir. Sejak 2012, porsi salur gas bagi sektor domestik lebih besar dibanding alokasi untuk ekspor. Kemudian, pada Juni 2023, produksi gas nasional yang dialokasikan untuk domestik di tahun ini mencapai 3.636,82 BBTUD. Sementara porsi gas yang diekspor mencapai 1.960,71 BBTUD.

“Pemerintah berkomitmen untuk terus memenuhi kebutuhan dalam negeri, di mana salur gas untuk domestik saat ini sudah mencapai 65 persen,” kata Nanang.

Melihat potensi itu, dibutuhkan sejumlah investor kakap untuk mengejar target yang ditetapkan. Maka, SKK Migas menggelar The 4th International Convention on Indonesia Upstream Oil and Gas 2023 (ICIOG 2023) yang akan dilaksanakan di Nusa Dua, Bali pada 20-23 September 2023. Tahun ini, ICIOG mengusung tema “Advancing Energy Security Through Sustainable Oil and Gas Exploration and Development”.

 

Cuma Mencakup 35 Persen

Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Nanang Abdul Manaf, dalam Media Briefing, di Jakarta, Rabu (23/8/2023). (Arief/Liputan6.com)
Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Nanang Abdul Manaf, dalam Media Briefing, di Jakarta, Rabu (23/8/2023). (Arief/Liputan6.com)

Pada kesempatan yang sama, Country Head Indonesia Rystad Energy, Sofwan Hadi menyebut produksi gas alam dari lapangan-lapangan yang ada sekarang diperkirakan hanya berkontribusi sebesar 35 persen dari total produksi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan domestik dalam 20 tahun ke depan. Sementara 65 persen sisanya berasal dari produksi lapangan-lapangan gas baru.

“Data ini menunjukkan peran penting kegiatan eksplorasi secara masif dan pengembangan lapangan migas baru untuk menunda beban impor,” kata dia.

Sejauh ini, beberapa lapangan gas baru sedang dalam proses pengembangan, antara lain Lapangan Andaman di lepas pantai Aceh, Lapangan Mako di kawasan Natuna, IDD Fase 2 (Gendalo dan Gendang) di Kalimantan Timur, Asap Kido Merah di Papua dan Lapangan Abadi, Masela di Maluku.

Produksi gas dari lapangan-lapangan yang baru dikembangkan tersebut diproyeksikan akan memberikan kontribusi sekitar 60 persen bagi produksi gas nasional di 2030, dan naik menjadi 80 persen di 2035.

 

Kekhawatiran

Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Nanang Abdul Manaf, dalam Media Briefing, di Jakarta, Rabu (23/8/2023). (Arief/Liputan6.com)
Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Nanang Abdul Manaf, dalam Media Briefing, di Jakarta, Rabu (23/8/2023). (Arief/Liputan6.com)

Namun tanpa dibarengi penemuan cadangan baru dan pengembangan lapangan, lonjakan produksi gas nasional dikhawatirkan hanya terjadi sesaat, sebelum kemudian mengalami penurunan menjelang 2040.

Padahal, volume konsumsi gas diperkirakan naik 298 persen pada tahun 2050 seiring target Indonesia untuk menjadi salah satu negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia. Terlebih dalam era transisi energi menuju net zero emission di 2060, peranan gas akan semakin kuat, oleh karena itu pengembangan lapangan gas harus segera di lakukan.

“Perusahaan eksplorasi dan produksi migas memegang peranan penting dalam proses pengembangan lapangan melalui percepatan FID (Final Investment Decision) mengingat mayoritas proyek yang ada masih berada pada fase penemuan cadangan (pre-FID),” kata Sofwan.

Infografis Ladang Gas
10 Ladang Gas Terbesar Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya