Menteri ESDM: Tak Ada Wacana Pertamax Jadi BBM Bersubsidi!

Publik dihebohkan dengan wacana pemerintah untuk menjadikan BBM dengan oktan 92 atau Pertamax menjadi BBM Bersubsidi. Hal ini langsung dijawab Menteri ESDM Arifin Tasrif.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 29 Agu 2023, 11:15 WIB
Diterbitkan 29 Agu 2023, 11:15 WIB
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan jika langkah Indonesia melarang ekspor barang mentah seperti mineral akan ditiru negara lain, yakni Filipina.
Publik dihebohkan dengan wacana pemerintah untuk menjadikan BBM dengan oktan 92 atau Pertamax menjadi BBM Bersubsidi. Hal ini langsung dijawab Menteri ESDM Arifin Tasrif.

Liputan6.com, Jakarta Publik dihebohkan dengan wacana pemerintah untuk menjadikan BBM dengan oktan 92 atau Pertamax menjadi BBM Bersubsidi. Subsidi Pertamax ini dilakukan untuk meningkatkan penggunaan BBM dengan kadar emisi rendah.

Seperti diketahui, saat ini pemerintah melalui Pertamina memilki BBM dengan oktan lebih rendah dari 92, yaitu RON 90 yang selama ini dijual dengan nama produk Pertalite. 

Pertalite memang masih memiliki emisi yang cukup tinggi, meski lebih baik dari Premium. Upaya ini diwacanakan untuk membantu mengurangi polusi udara di DKI Jakarta yang saat ini menjadi sorotan dunia.

Dibantah Menteri ESDM

Namun, wacana yang berkembang di masyarakat itu langsung dibantah oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif. 

"Tidak ada wacana itu (subsidi Pertamax), yang karang-arang siapa?," ucap Arifin ditulis, Selasa (29/8/2023).

Dijelaskan Arifin, saat ini BBM jenis Pertamax merupakan BBM umumyang dijual sesuai harga pasar dan tidak ada subsidi.

"Tidak ada pembahasan mengenai subsidi Pertamax," tegas dia.

"Kan tidak ada subsidi Pertamax. Sudah dibilangin, Pertamax memang disubsidi ? enggak kan," pungkas dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Memangnya Pemerintah Punya Duit?

Pertamax Green
Petugas mengisi bahan bakar BBM jenis pertamax green ke sepedah motor di SPBU MT Haryono, Jakarta, Senin (24/7/2023). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Indonesia (UI) Berly Martawardaya menilai pemberian subsidi untuk BBM jenis Pertamax (RON 92) butuh perhitungan matang.

Ia mengaku belum menghitung lebih jauh terkait nilai keekonomian dengan pemberian subsidi tersebut. Sebab, pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga belum membocorkan lebih lanjut, apakah pemberian subsidi untuk Pertamax ini akan mencopot status Pertalite sebagai BBM subsidi atau tidak.

Namun, Berly tak ingin penyertaan dana negara untuk BBM Pertamax justru memberatkan APBN.

"Skemanya perlu disusun supaya subsidi Pertamax tidak membengkak tinggi di APBN," ujar dia kepada Liputan6.com, Jumat (25/8/2023).Selain dari sisi APBN, dia juga ingin pemerintah memperhitungkan alokasi subsidi di mata pasar. Sebab, berkaca terhadap penyaluran BBM bersubsidi jenis Pertalite, itu masih rentan dipermainkan oleh konsumen yang semustinya tak berhak.

"Secara prinsip dan untuk kasus BBM subsidi barang rentan digunakan oleh masyarakat berpendapatan menengah atas dan atas," kata Berly.

 


Sektor Konsumen

Antrean Kendaraan Jelang Pemberlakuan Kenaikan BBM di SPBU Cinere
Antrean kendaraan warga mengisi BBM Pertalite sebelum pemberlakuan harga resmi jam 14.30 kenaikan BBM pada salah satu SPBU di kawasan Cinere, Depok, Sabtu (3/9/20222). Hari ini pemerintah secara resmi menaikkan BBM Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter, harga solar menjadi Rp 6.800 per liter dan Pertamax menjadi Rp 14.500 per liter. (merdeka.com/Arie Basuki)

Menurut dia, sudah seharusnya alokasi subsidi BBM ditujukan pada sektor konsumen, bukan untuk produknya. Sehingga itu bisa turut mengajak pengguna kelompok menengah atas secara perlahan beralih ke moda transportasi publik.

"Sudah saatnya ditransformasi menjadi subsidi orang, dimana masyatakat yang terindikasi sebagai miskin atau rentan miskin (sampai 2-3 kali garis kemiskinan) mendapatkan cash transfer rutin untuk penggunaan yang wajar. Itu sebagai bagian dari proses transisi ke public transport dan EV (tidak selamanya)," tuturnya. 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya