Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan merilis bursa karbon pada 26 September 2023, besok. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menegaskan urgensi hadirnya sarana perdagangan karbon ini.
Mahendra mencatat langkah ini jadi upaya yang dilakukan OJK untuk mendukung target penurunan emisi karbon pemerintah. Sebelum bursa karbon, OJK telah merilis aturan perdagangan karbon pada bulan lalu.
Baca Juga
"Peraturan OJK untuk sistem perdagangan bursa karbon baru saja diluncurkan pada bulan lalu, dan diperkirakan bursa tersebut akan diluncurkan besok oleh Presiden pada pagi hari," kata dia dalam OJK International Research Forum 2023, di Jakarta, Senin (25/9/2023).
Advertisement
Dia menjelaskan, bursa karbon ini tak lain untuk menyediakan mekanisme pasar yang mendukung Nationally Determined Contribution (NDC) pemerintah. Sekaligus untuk menyeimbangkan proses transisi yang bertahap menuju perekonomian berkelanjutan.
"Pentingnya saya melekatkan SDGs 2030 sebagian besar didasarkan pada perkembangan yang terjadi di negara-negara maju, di mana proses risiko deindustrialisasi mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi dan sosial dan hal ini pada gilirannya melemahkan komitmen yang dibuat dalam hal net zero emission di negara ini," paparnya.
Rilis Bursa Karbon
Mahendra menguraikan, rilisnya bursa karbon yang akan dilaksanakan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) ini salah satu cara OJK untuk mendukung komitmen penurunan emisi karbon. Setidaknya ini jadi satu poin diantara 5 poin yang dijalankan OJK.
Awalnya, sejak tahun 2015 OJK telah menerbitkan peta jalan pembiayaan berkelanjutan yang bertujuan untuk membangun kesadaran mengenai keuangan berkelanjutan dan diperluas untuk membangun ekosistem pembiayaan berkelanjutan.
Ini juga digunakan untuk memperluas pasokan dan permintaan dana ramah lingkungan serta meningkatkan penerapan keuangan berkelanjutan di sektor keuangan dan industri jasa.
Â
Taksonomi Hijau
Poin lainnya, adalah dengan diterbitkannya Taksonomi Hijau nasional sebagai panduan komprehensif. Sampai batas tertentu, taksonomi ini mengacu pada model yang dikembangkan secara global, yang harus mencakup taksonomi ASEAN untuk keuangan berkelanjutan versi dua, yang baru saja diterbitkan pada semester lalu.
"Namun, kami percaya bahwa taksonomi hijau harus semakin berorientasi pada pembiayaan entitas yang mendorong dan menerapkan kebijakan yang memenuhi tujuan SDGs," tuturnya.
Kemudian, adanya wadah business matching atau networking dengan memfasilitasi diskusi dan pertukaran bisnis antara pemilik proyek ramah lingkungan dengan calon pemodal guna mendorong pembiayaan dan investasi yang lebih besar di sektor ini.
"Melalui pertukaran ini, kami juga berharap dapat mendorong pengumpulan sumber daya untuk penelitian pra-kompetitif," kata dia.
Lalu, OJK juga telah meluncurkan beberapa insentif di bidang penerbitan obligasi ramah lingkungan dan pembiayaan ekosistem kendaraan listrik. Serta terus melakukan kolaborasi internasional antar pemangku kepentingan termasuk secara aktif berkontribusi pada berbagai badan penetapan standar.
"Termasuk Dewan Stabilitas Keuangan, komite dasar perbankan. pengawasan, serta jaringan bank sentral dan pengawas penghijauan sistem keuangan," urainya.
Â
Advertisement
Tak Berbarengan dengan Pajak Karbon
Diberitakan sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan merilis bursa karbon pada 26 September 2023, pekan depan. Namun, kabarnya pelaksanaan ini tak sekaligus dengan penerapan pajak karbon.
Kepada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menyebut penerapan pajak karbon tidak akan dilakukan tahun ini. Alasannya, dia ingin melihat dulu efektivitas dari pasar karbon melalui skema bursa karbon tadi.
"Tidak harus ada pajak karbon, karena kita melihat pertama potensi pasar karbon itu sektor demi sektornya sangat menjanjikan," ujar dia saat ditemui di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (20/9/2023).
Dia mengatakan, misalnya pasar karbon di sektor kehutanan tak membutuhkan pajak karbon. Menurutnya, pajak karbon yang diperkenalkan sejak awal untuk mendorong penerapan pasar karbon.
Dia menegaskan, pelaksanaan bursa karbon yang dimulai akhir September ini tak butuh pajak karbon. Kendati begitu, dia akan meninjau seiring dengan perjalanan berlakunya bursa karbon.
"Kita engga butuh pajak karbon saat ini. Nanti kita lihat lagi," tegasnya.
Dia menyebut, dalam pelaksanaan bursa karbon, seluruh dunia berpartisipasi untuk menurunkan emisi di Indonesia melalui mekanisme pasar karbon tadi. Namun, pajak karbon perlu dilihat dari sudut pandang roadmap hingga variabel pertumbuhan ekonominya.
"Kalau bciara pajak karbon harus dalam konteks roadmap, perekonomian kita saat ini punya peluang dari pasar karbon. Artinya seluruh dunia berpartisipasi menurunkan emisi di Indo. Kalau pajak karbon indonesia bayar pajak karbon, ini sangat beda, makanya kita lihat, mana insentif, mana instrumen," bebernya.
Â
Matangkan Roadmap
Lebih lanjut, Febrio menyebut gua mendorong penerapan pajak karbon perlu dilandasi dengan roadmap yang matang. Utamanya mempertimbangkan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonkmi, inflasi, dan penciptaan lapangan kerja.
"kalau instrumen bisa kita gunakan dengan pasar karbon, kita gunakan pasar karbon. Pajak karbon kita siapkan roadmap suatu saat diterapkan tdiak terdisrupsi, pertumbuhan ekonomi tidak terganggu, inflasi tidak naik, penciptaan lapangan kerja tidak terganggu," paparnya.
"Itu kita siapkan dengan roadmap. Pasar karbon yang sekarang tidak butuh pajak karbon," jelasnya.
Ketika disinggung terkait target rampungnya roadmap pajak karbon, Febrio tak menyebut waktu pasti. Hanya saja dia mengacu pada perkembangan ekonomi global.
"Terus kita pelajari dan saat ini kita fokus keadaan eko dunia sdg seperti ini, perekonomian global sangat tidak stabil. Memastikan momentum pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak-banyak, jaga inflasi stabil," urainya.
Advertisement