Awas, Hal Ini Bisa Jadi Beban Tambahan Bagi APBN

Risiko tambahan beban APBN dapat muncul karena adanya potensi tambahan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling.

oleh Septian Deny diperbarui 01 Okt 2023, 19:55 WIB
Diterbitkan 01 Okt 2023, 19:55 WIB
Ilustrasi APBN
Risiko tambahan beban APBN dapat muncul karena adanya potensi tambahan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling.

Liputan6.com, Jakarta Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyoroti implementasi power wheeling yang berisiko menambah beban fiskal negara karena Indonesia sudah oversupply listrik

Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF Abra Talattov mengatakan risiko tersebut muncul jika power wheeling disahkan saat kondisi listrik di Tanah Air mengalami oversupply. 

“Jika dihitung, untuk kelebihan listrik 1 Gigawatt (GW) saja, biaya yang harus dikeluarkan tax payers melalui kompensasi atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp3 triliun per GW,” katanya dikutip Minggu (1/10/2023).

Tidak hanya itu, Abra memaparkan, risiko tambahan beban APBN juga dapat muncul karena adanya potensi tambahan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten.

 Sebagai dampaknya, akan muncul tambahan cadangan putar (spinning reserve atau backup cost) untuk menjaga keandalan dan stabilitas sistem.

“Sehingga setiap masuknya 1 GW pembangkit power wheeling akan mengakibatkan tambahan beban biaya hingga Rp3,44 trilin (biaya Take or Pay + backup cost) yang tentu akan membebani keuangan negara," jelas dia.

Oversupply Listrik

Artinya jika diasumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48 GW - 56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp165-192 triliun. 

Abra menjelaskan, bahwa tanpa adanya pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.

Dalam RUPLT itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.

“Dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6%,” tegas Abra.

Skema Power Wheeling Tak Masuk RUU EBT

Ilustrasi tarif Listrik Naik (2)
Ilustrasi tarif Listrik Naik (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memastikan tak ada skema power wheeling dalam draf Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Namun, yang pasti adalah penyediaan listrik EBT untuk bisa dilaksanakan.

Power wheeling sendiri merupakan skema yang membolehkan perusahaan swasta untuk membangun pembangkit listrik EBT. Kemudian, disalurkan ke pelanggan dengan memanfaatkan infrastruktur milik PT PLN (Persero) dengan membayar tarif yang ditentukan Kementerian ESDM.

Belakangan, sejumlah pihak memang menolak adanya skema ini dalam implementasi EBT di Indonesia. Salah satu kekhawatirannya, harga setrum yang dibebankan ke pelanggan bakal lebih mahal.

"Kan sudah jelas, posisi pemerintah sudah jelas, tidak ada (skema) power wheeling (dalam RUU EBET), tetapi adalah kewajiban untuk menyediakan energi baru dan bersih ke dalam sistem. Itu kewajiban, itu harus dilaksanakan," kata dia saat ditemui di Kompleks DPR RI, ditulis Rabu (25/1/2023).

Untuk diketahui, skema power wheeling sendiri dicabut dari daftar invertarisasi masalah (DIM) dalam RUU EBET tadi. Nantinya, RUU EBET atau RUU EBT ini akan masuk pembahasan di parlemen dan dijalankan oleh Panja DPR RI.

 

Skema Power Wheeling

Ilustrasi tarif Listrik Naik
Ilustrasi tarif Listrik Naik (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Sebelumnya, pemerintah mencabut skema power wheeling yang ada di Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT). Langkah ini dinilai bisa menghemat penggunaan dana APBN.

Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengungkap, power wheeling dihapus pemerintah melalui daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU EBT. Guna memastikan sejalan dengan upaya tersebut, Fahmy menyebut kalau ini perlu dikawal kedepannya.

"Berhubung power wheeling berpotensi merugikan negara dan memberatkan rakyat serta melanggar UUD 1945, UU ketenagalistrikan dan Keputusan MK, penarikan pasal power wheeling dari RUU EBT merupakan langkah yang sangat tepat," kata dia dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Selasa (24/1/2023).

"Selanjutnya, semua pihak harus ikut mengawal proses pembahasan RUU EBT agar sesuai dengan DIM, sehingga tidak ada lagi penyelundupan pasal siluman serupa dengan power wheeling yang tidak sesuai dengan DIM," sambung Fahmy.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya