Ragam Tanggapan Pengamat dan Pengusaha Soal Larangan Tiktok Shop Cs Jualan

Keberadaan platform media sosial sekaligus e-commerce dianggap berpotensi keberlangsungan UMKM tanah air.

oleh Septian Deny diperbarui 02 Okt 2023, 15:00 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2023, 15:00 WIB
Ilustrasi Belanja Online, e-Commerce, eCommerce, Online Marketplace, Bisnis Online
Ilustrasi Belanja Online, e-Commerce, eCommerce, Online Marketplace, Bisnis Online

Liputan6.com, Jakarta Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan telah menandatangani Permendag 31 Tahun 2023 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Permendag ini merupakan hasil dari revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020.

Revisi Permendag 50 ini akan mengatur terkait keberadaan platform media sosial sekaligus e-commerce, seperti TikTok Shop, yang dianggap berpotensi keberlangsungan UMKM tanah air.

Melalui revisi Permendag 50, pemerintah berencana untuk  memperketat pengaturan arus perdagangan di platform-platform e-commerce melalui aturan terkait Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).

Kemendag memberikan waktu satu pekan kepada TikTok Shop untuk membereskan transaksi jual beli yang masih berjalan dan menghentikan aktivitas jual beli di platformnya. 

"Tidak boleh lagi, ini berlaku mulai kemarin. Tapi kita masih memberikan waktu seminggu, untuk sosialisasi, besok saya surati Tiktok," ujar Mendag.

Keberadaan TikTok Shop Menuai Protes

Sebelumnya, keberadaan TikTok Shop telah menuai protes dari kalangan pelaku usaha karena dianggap dapat merugikan UMKM lokal dan membuat mereka kalah saing. Hal ini diakibatkan produk-produk yang dijajakannya dijual dengan harga yang sangat murah. 

Selain itu, barang-barang yang dijual melalui TikTok Shop pun dituding merupakan hasil perdagangan lintas batas alias cross border. Artinya, banjir barang impor tersebut berarti langsung ditawarkan kepada pembeli tanpa melalui proses importasi yang semestinya sehingga sama sekali tidak berkontribusi ke pendapatan Indonesia.

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengapresiasi upaya pemerintah dalam melindungi UMKM lokal dan mendorong konsumsi produk-produk asal Indonesia.

“Kita juga tentu melihat ini sebagai upaya melindungi data pribadi masyarakat dan transaksi e-commerce agar tidak diambil negara lain dan digunakan untuk kepentingan mereka. Aturan revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, justru akan menjadi titik tengah," jelas dia.

Heru menegaskan, sikap pemerintah guna memisahkan fungsi antara platform media sosial dan e-commerce sudah sangat tegas.

“Ada keberpihakan gimana mengembangkan dan memasarkan produk Indonesia sehingga mendorong majunya UMKM. Saya pikir TikTok harus lebih wise (bijak), jangan bawa nama presiden dalam advokasi ini, sudah jelas yg diungkap presiden soal pemisahan media sosial dan e-commerce, bagaimana UMKM harus kita selamatkan bersama,” jelas Heru saat dihubungi.

 

Kata Pengusaha

Berlomba Berbenah Di Tengah Permasalahan Ekonomi Global, Perusahaan E-Commerce Ini Keluar Sebagai Juaranya
(c) Shutterstock

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) juga mengapresiasi kebijakan pemisahan platform karena dinilai dapat menciptakan persaingan usaha yang sehat (level playing field), melindungi UMKM dengan menjadikan produk dalam negeri berdaya saing, dan melindungi data pribadi konsumen.

”Penerapan persaingan usaha yang sehat, adil, dan tanpa keberpihakan diperlukan. Model bisnis e-commerce telah banyak berevolusi dan berdampak pada kelangsungan UMKM, karena itu pengaturan lebih lanjut diperlukan untuk memastikan kualitas pertumbuhan dan iklim industri e-commerce tetap dapat memberikan peluang bagi UMKM Indonesia untuk berusaha dan berkembang serta melayani kebutuhan konsumen dengan baik,” ujar Ketua Umum APINDO, Shinta W. Kamdani.

Lebih lanjut, Wakil Ketua Bidang Digital APINDO, Tirza Reinata Munusamy, mengatakan seperti halnya perdagangan offline, pemisahan model bisnis marketplace dan produsen serta media sosial dan e-commerce akan memastikan tidak ada platform yang menguasai rantai perdagangan online dari hulu ke hilir. 

"Sehingga meminimalisir potensi praktik monopoli dan praktik persaingan tidak sehat. Dengan dilarangnya social commerce untuk bertransaksi, maka hal ini juga dapat menjaga kedaulatan data pribadi warga negara Indonesia sebagai konsumen," jelas Tirza.

 

 

Media Sosial

Ilustrasi belanja online, ecommerce, e-commerce, toko online
Ilustrasi belanja online, ecommerce, e-commerce, toko online. Kredit: athree23 via Pixabay

Senada dengan ICT dan Apindo, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan keputusan yang diambil pemerintah sangatlah positif. Bhima mengatakan bahwa sejak dua tahun terakhir banyak dampak negatif dari penggabungan platform media sosial dan e-commerce.

“Sebelumnya ketika pedagang tanah abang yang jual baju mengeluh sepi sudah ada kejanggalan. Logikanya tanah abang itu pusat grosir, mau barang dijual eceran di Tiktok shop harusnya tanah abang tetap ramai. Begitu sepi, maka timbul pertanyaan barang apa yang dijual di Tiktok shop? Kuat dugaan barang impor,” ungkap Bhima saat dihubungi.

Walaupun terlambat, pelarangan social commerce seperti Tiktok shop diharapkan mampu melindungi UMKM dari serbuan barang cross border dan predatory pricing. Idealnya revisi Permendag 50 segera dirilis ya minggu ini lebih cepat lebih baik

Infografis Larangan TikTok Shop Cs Jualan dan Transaksi di Indonesia. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Larangan TikTok Shop Cs Jualan dan Transaksi di Indonesia. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya