Dulu Startup Berlomba-lomba Bakar Uang, Bagaimana Sekarang?

Sejak 2015 hingga menjelang akhir pandemi Covid-19, industri startup teknologi di Indonesia mengalami pertumbuhan yang eksponensial.

oleh Septian Deny diperbarui 07 Nov 2023, 20:41 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2023, 20:40 WIB
(Foto: Ilustrasi investasi saham. Dok Unsplash/Austin Distel)
(Foto: Ilustrasi investasi saham. Dok Unsplash/Austin Distel)

Liputan6.com, Jakarta Sejak 2015 hingga menjelang akhir pandemi Covid-19, industri startup teknologi di Indonesia mengalami pertumbuhan yang eksponensial. 

Berdasarkan riset Google, Temasek, dan Bain pada 2021, nilai ekonomi digital di Indonesia mencapai US$70 miliar, atau terbesar di ASEAN. Diperkirakan, nilai ini dapat mencapai USD 330 miliar pada 2030.

Penggunaan ponsel dan internet yang bertumbuh pesat di Indonesia, serta populasi yang muda dan produktif, menjadi faktor utama adopsi digital secara masif ini.

Tidak dapat dipungkiri, dengan ceruk pasar yang sedemikian besar, perusahaan startup teknologi di Indonesia berlomba-lomba melakukan “burn rate” atau “bakar uang” dari hasil fundraise. Hampir seluruh startup melakukan promosi jor-joran untuk mendapatkan sebanyak mungkin konsumen baru dalam waktu yang relatif singkat. 

"Dalam kurun waktu 2019 sampai 2021, pendanaan sangat mudah didapat, bahkan banyak investor yang memang secara aktif mencari. Namun karena mudahnya pendanaan, banyak founder yang terbiasa menggunakan strategi bakar uang untuk mendorong pertumbuhan bisnis. Tren ini berbeda dengan para founder startup di luar negeri yang memecahkan sebuah permasalahan langsung oleh dirinya sendiri, sehingga mereka menjadi intim dengan masalah tersebut." kata Co-Founder Pluang Claudia Kolonas dikutip Selasa (7/11/2023).

Tidak ayal lagi, ketika terjadi tech winter, tepatnya sekitar akhir pandemi atau hampir dua tahun belakangan, banyak startup yang gagal ataupun mengalami tekanan keuangan karena terlalu bergantung pada pertumbuhan drastis (hypergrowth) dan valuasi yang melejit. 

Bagi Claudia, pelajaran yang dapat diambil dari situasi tersebut adalah pentingnya sebuah bisnis melihat jauh ke depan dengan pertumbuhan yang lebih stabil namun konsisten. Menurut dia, industri startup di Indonesia tergolong muda, namun belum pernah melalui tech winter sebelumnya, sehingga tidak terbiasa untuk bersabar dan menyadari bahwa membangun bisnis membutuhkan waktu.

 

 

 

Industri Perbankan

[Fimela] Investasi
Sejak 2015 hingga menjelang akhir pandemi Covid-19, industri startup teknologi di Indonesia mengalami pertumbuhan yang eksponensial. | unsplash.com/@precondo

Dia mencontohkan industri perbankan yang telah mature dan ditunjang dengan layanan customer service yang kuat. Perbankan mampu memiliki layanan customer service yang dapat diandalkan karena merupakan hasil dari investasi selama bertahun-tahun.

“Kuncinya bagi fintech adalah kembali ke product-market fit, sehingga kita tidak hanya membuat aplikasi, tapi memikirkan bagaimana bisa memberikan layanan yang lebih baik dari yang ada saat ini. Jika jawabannya adalah belum siap, maka artinya kita juga belum siap untuk investasi secara jangka panjang untuk bisnis kita. Intinya adalah kesabaran (dalam membangun bisnis),” ujar Claudia.

Claudia tidak memungkiri masih banyak tantangan yang harus dihadapi ke depan, terutama sejumlah faktor yang berada di luar kendali perusahaan maupun industri. Sebagai contoh, tren kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve atau The Fed, yang akan berdampak signifikan terhadap banyak aspek di perekonomian dan industri keuangan Indonesia. Terlebih lagi, untuk wealth tech seperti Pluang, yang core business-nya terletak di jantung pasar keuangan.

 

Tantangan Lain

Tantangan lainnya adalah mengukur kedalaman pasar domestik. Menurut Claudia, para pendiri startup perlu mengukur seberapa besar kekuatan konsumen untuk membayar produk yang ditawarkan, sehingga mereka dapat menentukan kapan mencapai profitabilitas. Umumnya, decacorn atau perusahaan teknologi yang valuasinya telah mencapai USD 1 miliar, menjadi benchmark atau tolok ukur startup lainnya.

“Kami sedang menunggu dan berharap para decacorn Indonesia menjadi profitable. Jika mereka belum profitable untuk sekian lama, akan sulit bagi investor luar negeri melihat kemungkinan startup yang lebih muda untuk survive dan profitable,” kata Claudia.

Claudia mengakui, meskipun pertumbuhan startup fintech di Indonesia terbilang melambat belakangan ini, bukan berarti industri ini tidak berkembang.

“Intinya, akan selalu ada siklus pertumbuhan yang kembali pesat, dan ada saat-saat pertumbuhannya akan melambat. Namun, menjadi lebih lambat bukan berarti tidak berkembang,” ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya