Jaga Rupiah Tidak Loyo, BI Terbitkan Aturan Baru SVBI dan SUVBI

Bank Indonesia resmi menerbitkan instrumen sekuritas valuta asing Bank Indonesia (SVBI) dan sukuk valuta asing Bank Indonesia (SUVBI) demi stabilisasi rupiah

oleh Tira Santia diperbarui 20 Nov 2023, 20:44 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2023, 20:44 WIB
Bank Indonesia (BI) resmi kembali mempertahankan suku bunga acuan, atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen
Bank Indonesia (BI) resmi kembali mempertahankan suku bunga acuan, atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen. Kebijakan itu diumumkan dalam sesi konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia Juli 2023, Selasa (25/7/2023).

Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia resmi menerbitkan instrumen sekuritas valuta asing Bank Indonesia (SVBI) dan sukuk valuta asing Bank Indonesia (SUVBI) sebagai upaya memperkuat kebijakan dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mendukung pengembangan pasar uang. 

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono, menjelaskan, mekanisme kedua instrumen tersebut diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 13 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/14/PBI/2020 tentang Operasi Moneter. Ketentuan ini berlaku efektif pada 16 November 2023.

"Penerbitan SVBI dan SUVBI dilakukan untuk mengelola likuiditas valuta asing guna mendukung stabilitas nilai tukar rupiah," jelas Erwin dalam keterangan BI, Senin (20/11/2023).

Kedua instrumen tersebut sejalan dengan mekanisme pasar (pro market) untuk mendukung pendalaman pasar uang dalam valuta asing guna mendukung efektivitas kebijakan moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sinergi pembiayaan ekonomi. 

Lebih lanjut, SVBI dan SUVBI memperluas akses penduduk dan bukan penduduk terhadap instrumen yang diterbitkan Bank Indonesia yang dapat mendukung upaya menarik arus investasi portofolio masuk (portfolio inflows) yang pada akhirnya memperkuat pencapaian stabilitas nilai tukar rupiah.

Penjelasan

Adapun Erwin menjabarkan karakteristik SVBI, diantaranya:

  • menggunakan underlying asset berupa surat berharga dalam valuta asing;
  • berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender setelah tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu;
  • diterbitkan dalam valuta asing;diterbitkan tanpa warkat;
  • diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto;
  • dapat dipindahtangankan; dan
  • dapat dimiliki oleh penduduk atau bukan penduduk di pasar sekunder.

Sementara SUVBI memiliki karakteristik sebagai berikut:

  • menggunakan underlying asset berupa sukuk global milik Bank Indonesia;
  • berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender setelah tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu;
  • diterbitkan dalam valuta asing;
  • diterbitkan tanpa warkat;hanya dapat dibeli oleh BUS dan UUS di pasar perdana;
  • dapat dipindahtangankan di pasar sekunder; dan
  • dapat dimiliki oleh penduduk atau bukan penduduk di pasar sekunder.

Untuk lebih lanjut, kata Erwin, pengaturan teknis terkait SVBI dan SUVBI dijelaskan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 15 dan 16 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 22/22/PADG/2020 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka.

Rupiah Nyaris 16.000 per Dolar AS, BI Klaim Masih Lebih Baik dari Ringgit Malaysia

BI Kembali Pertahankan Suku Bunga Acuan di 5 Persen
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo bersiap menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RGD) Bank Indonesia di Jakarta, Kamis (19/12/2019). RDG tersebut, BI memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 5 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Gubernur Bank Indonesia (BI) mengklaim pelemahan nilai tukar Rupiah (depresiasi) terhadap mata uang Dolar Amerika Serikat (USD) masih lebih baik dibandingkan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) maupun Jepang. Meskipun, nilai tukar rupiah nyaris menyentuh Rp 16.000 per USD.

"Nilai tukar Rupiah terdepresiasi 1,03 persen year to date (ytd), relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara di kawasan dan global tersebut," kata Perry di Jakarta, Kamis (19/10/2023).

Perry mencontohkan, mata uang utama Dunia seperti Yen Jepang, Dolar Australia, dan Euro mencatatkan tren depresiasi jauh lebih dalam ketimbang Rupiah. Masing-masing mata uang tersebut melemah hingga 12,44 persen, 6,61 persen, dan 1,40 persen secara year to date.

Pun, dibandingkan mata uang di kawasan ASEAN tren pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS juga masih lebih baik. Di mana depresiasi mata uang kawasan, seperti Ringgit Malaysia, Baht Thailand, dan Peso Filipina masing-masing terdepresiasi sebesar 7,23 persen, 4,64 persen, dan 1,73 persen secara year to date.

"Kuatnya dolar AS menyebabkan tekanan pelemahan berbagai mata uang negara lain, termasuk nilai tukar Rupiah," tegas Gubernur Bank Indonesia.

Tetap Waspada

FOTO: Bank Indonesia Yakin Rupiah Terus Menguat
Teller menghitung mata uang Rupiah di Jakarta, Kamis (16/7/2020). Penguatan Rupiah dipengaruhi aliran masuk modal asing yang cukup besar pada Mei dan Juni 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Untuk itu, Bank Indonesia tetap mewaspadai tren penguatan dolar AS yang dapat mengancam stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global. Antara lain dengan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian imported inflation.

Selain intervensi di pasar valuta asing, Bank Indonesia mempercepat upaya pendalaman pasar uang Rupiah dan pasar valuta asing. Yakni, melalui optimalisasi SRBI dan penerbitan instrumen-instrumen lain untuk meningkatkan manajemen likuiditas institusi keuangan domestik dan menarik masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri.

"Koordinasi dengan Pemerintah, perbankan, dan dunia usaha terus ditingkatkan dan diperluas untuk implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023," ujar Perry mengakhiri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya