Liputan6.com, Jakarta Sebuah perusahaan penasihat rantai pasokan laut, Sea-Intelligence mengingatkan bahwa gangguan logistik akibat serangan Houthi di Laut Merah lebih parah dibandingkan yang terlihat di awal pandemi Covid-19.
Dalam sebuah laporan untuk kliennya, Sea-Intelligence menganalisis penundaan kapal saat ini dibandingkan dengan penundaan selama beberapa tahun terakhir.
Dikutip dari CNBC International, Jumat (19/1/2024) Sea-Intelligence membeberkan data yang menunjukkan bahwa transit yang lebih lama di sekitar Tanjung Harapan karena kapal-kapal beralih dari Laut Merah sudah mempunyai dampak yang lebih signifikan terhadap ketersediaan kapal, untuk mengambil kontainer di pelabuhan dibandingkan selama pandemi.
Advertisement
CEO Sea-Intelligence Alan Murphy menyebut, penurunan kapasitas kapal ini merupakan yang terbesar kedua dalam beberapa tahun terakhir.
Satu-satunya peristiwa yang memiliki dampak lebih besar daripada krisis Laut Merah adalah “Ever Give”, kapal kargo raksasa yang terjebak di Terusan Suez selama enam hari pada Maret 2021, di mana miliaran perdagangan terhenti selama peristiwa itu.
"Dengan pengecualian dari peristiwa tersebut, (krisis Laut Merah) adalah peristiwa terbesar, bahkan lebih besar daripada dampak awal pandemi," kata Murphy.
Sea-Intelligence memisahkan antara dua fase krisis pandemi.
Dampak ke Pelabuhan China
Fase pertama berdampak pada pelabuhan-pelabuhan China karena pembatasan perjalanan, angkutan truk, dan manufaktur akibat Covid-19, dan fase kedua mencakup penyebaran pandemi secara global.
Perbedaan utama antara masa pandemi dan sekarang adalah kapasitas kapal yang dapat kembali beroperasi.
Biasanya, selama periode tahun yang mencakup Tahun Baru Imlek di bulan Februari, kapasitas kapal menurun karena penurunan permintaan peti kemas.
Hal ini karena perusahaan angkutan laut membawa kontainer lebih awal, dimulai pada bulan Oktober sebelumnya, menjelang penutupan pabrik untuk menyambut hari libur.
Murphy mengatakan industri maritim saat ini memiliki kapal-kapal baru yang tersedia untuk bekerja, sedangkan selama pandemi Covid-19, semua kapal digunakan dan permintaan berada pada titik tertinggi dalam sejarah.
Sea-Intelligence: 10 Persen Armada Global Tak Beroperasi
Sea-Intelligence, bersama dengan pejabat maritim lainnya, memperkirakan ada sekitar 10 persen armada dunia yang saat ini tidak beroperasi imbas krisis logistik di Laut Merah.
Jika kapal tambahan dikerahkan, hal ini dapat memperbaiki ketidakseimbangan ketersediaan kapal dan meningkatkan kepastian jadwal kapal.
"Untuk mengitari Tanjung Harapan, pengangkut laut memerlukan satu atau dua kapal tambahan untuk mengimbangi penundaan tersebut," kata Murphy.
"Operator laut perlu menambah kapal," jelasmya.
Dia mengantisipasi operator laut menambahkan kapal ke dalam rotasi mereka setelah Tahun Baru Imlek. "Adalah kepentingan semua orang untuk mendapatkan solusi Suez," ucap Murphy.
Advertisement
Krisis di Laut Merah menjadi Ancaman Perdagangan Dunia
MSC, maskapai penerbangan laut terbesar di dunia, baru-baru ini mengumumkan pembatalan kapal karena penurunan permintaan barang-barang dari China.
Keterlambatan kedatangan kontainer juga terjadi pada rantai pasokan beberapa perusahaan.
Tesla, Volvo, dan Michelin baru-baru ini mengatakan mereka harus menghentikan produksi. Ikea juga telah memperingatkan penundaan produk, begitu pula pengecer asal Inggris Next dan Crocs.
"Ancaman terhadap pelayaran Laut Merah merupakan ancaman terhadap perdagangan maritim di seluruh dunia," kata Steve Lamar, CEO American Apparel and Footwear Association.
"Penundaan dan kenaikan biaya semakin meningkat. Meskipun perusahaan sedang menjajaki opsi pengiriman alternatif, dampak buruk terus mengganggu logistik secara global. Lebih banyak hal yang perlu dilakukan untuk memastikan keselamatan awak kapal dan keamanan kargo dengan sepenuhnya menghilangkan ancaman yang ada atau yang akan datang," imbuhnya.