Bundesbank Sebut Ekonomi Jerman di Ambang Jurang Resesi

Bundesbank menyebut, untuk saat ini pelemahan pada perekonomian Jerman akan terus berlanjut.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 20 Feb 2024, 16:24 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2024, 16:10 WIB
Ilustrasi resesi. Foto: Freepik
Ilustrasi resesi. Foto: Freepik

Liputan6.com, Jakarta Perekonomian Jerman dibayangi dalam resesi karena permintaan eksternal yang melemah, konsumen yang lebih berhati-hati dan investasi dalam negeri terhambat tingginya biaya pinjaman.

Hal itu diungkapkan Bank Sentral Jerman, Deutsche Bundesbank dalam laporan bulanan tentang negara ekonomi terbesar di Eropa itu.

Seperti diketahui, perekonomian Jerman telah mengalami kesulitan sejak perang Rusia Ukraina pada tahun 2022 yang mendorong kenaikan biaya energi.

Perekonomian Jerman kini berada dalam pertumbuhan nol atau negatif selama empat kuartal berturut-turut, sehingga membebani seluruh zona euro.

"Masih belum ada pemulihan bagi perekonomian Jerman," kata Bundesbank dikutip dari US News, Selasa (20/2/2024).

"Output bisa turun sedikit lagi pada kuartal pertama tahun 2024. Dengan penurunan output perekonomian yang kedua berturut-turut, perekonomian Jerman akan berada dalam resesi teknis," beber Bank Sentral Jerman.

Kinerja yang lemah ini menimbulkan pertanyaan mengenai keberlanjutan model ekonomi Jerman, dan para kritikus berpendapat bahwa sebagian besar industri berat yang bergantung pada energi kini tidak lagi dihargai di pasar internasional, sehingga memerlukan transformasi ekonomi.

Namun, pemerintah telah menolak proyeksi suram tersebut. Dengan alasan bahwa hal ini hanyalah sebuah badai sempurna dari tingginya biaya energi, lemahnya permintaan dari China serta inflasi, namun tidak secara fundamental mempertanyakan strategi ekonomi.

Bundesbank menyebut, untuk saat ini pelemahan pada perekonomian Jerman akan terus berlanjut. Prediksi itu salah satu didorong oleh permintaan industri luar negeri yang cenderung menurun dan jumlah pesanan ekspor pun berkurang.

Sebelumnya, dua negara ekonomi besar dunia telah masuk ke jurang resesi yaitu Inggris dan Jepang. Data sementara menunjukkan produk domestik bruto Jepang mengalami kontraksi 0,4 persen pada kuartal keempat 2023 dibandingkan dengan tahun lalu, menurun 3,3 persen pada periode Juli-September 2023.

Adapun produk domestik bruto Inggris yang menyusut 0,3 persen dalam tiga bulan terakhir tahun 2023, mencatat penurunan kuartal kedua berturut-turut.

Jepang dan Inggis Resesi, Menko Airlangga Harap Investor Lari ke Indonesia

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Pada tahun 2023, 79% penerima KUR merupakan debitur yang baru pertama kali menerima KUR. (Dok. Kemenko Perekonomian)

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengaku optimis investor Jepang akan membanjiri Indonesia meskipun negara tersebut memasuki jurang resesi.

"Jadi, justru dengan resesi di sana, saya berharap investasi dari sana akan semakin mengalir," kata Airlangga Hartarto saat ditemui di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Selasa (20/2/2024).

Menurutnya, jika suatu negara mengalami perlambatan ekonomi biasanya pola perilaku investor juga akan berubah dan berpindah investasinya ke negara-negara yang ekonominya masih tumbuh positif, seperti Indonesia dan negara ASEAN lainnya.

"Biasanya kalau dalam waktu resesi, mereka butuh pertumbuhan ekonomi, dan mereka akan melihat yang salah satu region yan masih bisa tumbuh adalah ASEAN," ujarnya.

Pengaruh ke Indonesia

Lebih lanjut, terkait perekonomian Inggris dan Jepang yang tergelincir ke dalam resesi teknis pada kuartal terakhir 2023, menurut Airlangga untuk Inggris tidak terlalu berpengaruh terhadap Indonesia. Namun, untuk Jepang masih ada pengaruhnya.

"Kalau ekonomi Jepang dan kalau Inggris kan realtif perdagangan kita tidak terlalu besar, yang sangat berpengaruh tentu Jepang," ujarnya.

Diketahui, Produk domestik bruto Jepang mengalami kontraksi 0,4 persen, dan produk domestik bruto negara Inggris menyusut 0,3 persen.

Jepang Mulai Pertimbangkan Kenaikan Suku Bunga

Suku Bunga
Ilustrasi Foto Suku Bunga (iStockphoto)

Menteri Keuangan Jepang Shunichi Suzuki mengungkapkan, ada kemungkinan suku bunga bank sentral negara akan mulai naik dan mempengaruhi perekonomian melalui berbagai cara.

"Bank of Japan memegang yurisdiksi atas kebijakan moneter. Namun akan ada fase ketika suku bunga naik," kata Suzuki, dikutip dari Channel News Asia, Sabtu (17/2/2024).

Dalam sebuah wawancara dengan Nikkei, Suzuki mengatakan terdapat pro dan kontra terhadap tindakannya yang mempunyai dampak berbeda-beda terhadap eksportir dan perusahaan Jepang, yang bergantung pada impor.

Wawancara itu dipublikasikan menyusul rilis data yang menunjukkan perekonomian Jepang memasuki jurang resesi, menggesernya dari urutan ketiga negara ekonomi terbesar di dunia.

Namun, Suzuki enggan berkomentar apakah yen akan melemah atau justru menguat.

Dengan inflasi yang telah melampaui target Bank of Japan sebesar 2 persen selama beberapa waktu, banyak pelaku pasar memperkirakan bank sentral akan mengakhiri kebijakan suku bunga negatifnya pada bulan April.

Sumber mengatakan bahwa BOJ berada di jalur yang tepat untuk mengakhiri suku bunga negatif dalam beberapa bulan mendatang meskipun data terbaru menunjukkan perekonomian tergelincir ke dalam resesi, meskipun permintaan domestik yang lemah berarti mereka mungkin mencari lebih banyak petunjuk mengenai pertumbuhan upah sebelum mengambil tindakan.

Sebagai bagian dari upaya untuk mengembalikan pertumbuhan dan meningkatkan inflasi Jepang ke target 2 persen, BOJ telah mempertahankan suku bunga jangka pendek di -0,1 persen dan imbal hasil obligasi 10 tahun sekitar 0 persen sejak tahun 2016.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya