Liputan6.com, Jakarta - Perekonomian meski kuat, Ketua Bank Sentral Amerika Serikat (AS) the Federal Reserve (the Fed) Jerome Powell menilai Amerika Serikat belum mencapai inflasi yang sesuai dengan target bank sentral.
Melansir CNBC International, Rabu (17/4/2024) meskipun inflasi terus menurun, Powell mengatakan inflasi belum bergerak cukup cepat, dan kebijakan yang ada saat ini seharusnya tetap utuh.
Baca Juga
"Data yang lebih baru menunjukkan pertumbuhan yang solid dan kekuatan yang berkelanjutan di pasar tenaga kerja, namun juga kurangnya kemajuan lebih lanjut sepanjang tahun ini karena target inflasi 2%," kata Powell dalam forum kebijakan hubungan ekonomi AS-Kanada.
Advertisement
Senada dengan pernyataan pejabat bank sentral baru-baru ini, Powell mengindikasikan tingkat kebijakan saat ini kemungkinan besar akan tetap berlaku sampai inflasi mendekati target 2%.
Sejak Juli 2023, The Fed mempertahankan suku bunga acuannya pada kisaran target antara 5,25%-5,5%, tertinggi dalam 23 tahun. Hal ini merupakan hasil dari 11 kenaikan suku bunga berturut-turut yang dimulai sejak Maret 2022.
"Data terbaru jelas tidak memberi kami keyakinan yang lebih besar, dan malah menunjukkan bahwa kemungkinan akan memakan waktu lebih lama dari perkiraan untuk mencapai keyakinan tersebut," ujarnya.
"Meskipun demikian, kami pikir kebijakan berada pada posisi yang tepat untuk menangani risiko yang kita hadapi," sambung Powell.
Bos The Fed itu menambahkan bahwa sampai inflasi AS menunjukkan kemajuan lebih lanjut, maka ia dapat mempertahankan tingkat pembatasan selama diperlukan.
Komentar tersebut menyusul data inflasi AS hingga tiga bulan pertama tahun 2024 yang lebih tinggi dari perkiraan. Pembacaan indeks harga konsumen untuk bulan Maret, yang dirilis pekan lalu, menunjukkan inflasi berada pada tingkat tahunan 3,5%, jauh dari puncaknya sekitar 9% pada pertengahan tahun 2022 tetapi melonjak lebih tinggi sejak Oktober 2023.
Inflasi AS Tidak Banyak Berubah dalam Beberapa Bulan Terakhir
Powell mencatat bahwa ukuran inflasi pilihan The Fed, yaitu indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi, menunjukkan inflasi inti sebesar 2,8% pada bulan Februari dan tidak banyak berubah selama beberapa bulan terakhir.
"Kami telah mengatakan di (Komite Pasar Terbuka Federal) bahwa kita memerlukan keyakinan yang lebih besar bahwa inflasi bergerak secara berkelanjutan menuju 2% sebelum melakukan pelonggaran kebijakan," jelasnya.
"Data terbaru jelas tidak memberikan kita keyakinan yang lebih besar dan malah menunjukkan bahwa kemungkinan akan memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan untuk mencapai keyakinan tersebut," tambah Powell.
Advertisement
IMF: Kenaikan Suku Bunga The Fed Bisa jadi Risiko Global
Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan kenaikan suku bunga Amerika Serikat bukanlah kabar baik bagi seluruh dunia dan bisa menjadi kekhawatiran jika berlanjut dalam jangka waktu lama.
Namun, IMF juga mencatat, Federal Reserve AS sudah bertindak hati-hati dalammengambil kebijakan moneternya.
Mengutip US News, Senin (15/4/2024) Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan pemerintah AS juga dapat mengambil langkah-langkah lain untuk memastikan kinerja perekonomian AS tidak terlalu menurun. Namun, ia tidak memberikan rinciannya.
"Suku bunga yang lebih tinggi bagi negara-negara lain di dunia bukanlah berita bagus. Suku bunga yang lebih tinggi membuat AS lebih menarik sehingga aliran keuangan datang ke sini dan membuat seluruh dunia agak kesulitan," katanya.
Suku bunga yang lebih tinggi juga mendorong nilai dolar Amerika Serikat (USD) lebih tinggi, yang berarti mata uang negara-negara lain melemah.
"Jika hal ini terus berlanjut dalam jangka waktu yang lama, hal ini dapat menimbulkan sedikit kekhawatiran dalam hal stabilitas keuangan," ujar Georgiva.
Data inflasi tingkat konsumen AS untuk Maret yang dirilis pekan lalu secara tak terduga menunjukkan penguatan, menambah keraguan terhadap perkiraan penurunan suku bunga The Fed saat ini pada akhir tahun.
Data tekanan harga yang tidak menguntungkan ini muncul ketika laporan lain juga menunjukkan peningkatan inflasi pada awal tahun ini, sehingga menantang proyeksi terbaru The Fed yang memperkirakan tiga kali penurunan suku bunga untuk tahun 2024.
The Fed Diramal Tahan Penurunan Suku Bunga Imbas Perang Iran dan Israel
Sebelumnya diberitakan, ekonom sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Marie Elka Pangestu mengungkapkan, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) berpotensi tahan penurunan suku bunga, imbas serangan Iran ke Israel pada Sabtu, 13 April 2024.
Menurut Marie, perlambatan penurunan suku bunga ini menjadi efek domino lain dari konflik Iran dengan Israel seperti naiknya harga minyak dunia, harga emas, hingga menguatnya dolar AS.
"Jadi ini skenario di mana diperkirakan harga minyak akan naik, production cost naik, inflasi naik dan ini akan memengaruhi pemulihan di AS, memperlambat penurunan suku bunga yang harusnya terjadi di second half of this year," kata Marie dalam webinar Ngobrol Seru Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI, Eisenhower Fellowships Indonesia Alumni Chapter, Senin (15/4/2024).
Pada kesempatan yang sama, ekonom sekaligus Mantan Menteri Riset dan Teknologi RI periode 2019-2021 Bambang Brodjonegoro turut mengungkapkan, The Fed akan mempertahankan suku bunga acuan lebih lama lagi karena dampak dari eskalasi konflik Timur Tengah.
Menurutnya keputusan tersebut secara tak langsung juga akan turut berdampak terhadap nilai rupiah dan perekonomian Indonesia. Bambang mengatakan, sebagai langkah antisipasi dampak suku bunga The Fed, Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan tetap melakukan intervensi terhadap nilai tukar rupiah.
Ia menambahkan, keputusan untuk menaikan suku bunga BI juga bukan merupakan langkah yang tepat mengingat kondisi dolar AS saat ini yang menguat terhadap hampir semua mata uang negara lainnya.
"Intinya secara eksternal memang kita akan menghadapi tantangan yang serius, dan ini yang bisa membuat rupiah menjadi tertekan. Tapi juga BI tidak mungkin menggunakan cadangan dolar begitu saja untuk melakukan intervensi karena akibatnya akan fatal," jelasnya.
Adapun, akibat konflik Iran dan Israel ini, investor akan beralih pada aset safe haven. Menurutnya, tempat paling aman itu selalu dua yaitu Dolar AS dan obligasi AS.
Advertisement