Kinerja Ekspor Sawit Februari Turun 26,48%, Apa Penyebabnya?

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mencatat secara volume, penurunan terbesar terjadi pada olahan CPO menjadi 1.495 ribu ton.

oleh Tira Santia diperbarui 30 Apr 2024, 18:15 WIB
Diterbitkan 30 Apr 2024, 18:15 WIB
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, kinerja total ekspor CPO Februari turun 26,48%. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, kinerja total ekspor CPO Februari turun 26,48% yaitu dari 2.810 ribu ton pada Januari menjadi 2.166 ribu ton pada Februari 2024.

Secara volume, penurunan terbesar terjadi pada olahan CPO dari 1.933 ribu ton menjadi 1.495 ribu ton (-438 ribu ton), diikuti dengan CPO dari 367 ribu ton menjadi 152 ribu ton (-215 ribu ton), dan oleokimia dari 393 ribu ton menjadi 364 ribu ton (-29 ribu ton). Ekspor olahan PKO naik dari 106 ribu ton menjadi 129 ribu ton (+23 ribu ton).

"Akibat dari penurunan volume yang besar tersebut, nilai ekspor bulan Februari hanya mencapai USD 1.808 Juta, turun dari USD 2.304 Juta pada bulan Januari, meskipun harga CPO cif Rotterdam naik dari USD 958/ton menjadi USD 965/ton," kata Eddy dalam konferensi pers pemaparan kinerja industri sawit, Selasa (30/4/2024). 

Ketua Gapki Eddy  Martono merinci, penurunan volume ekspor dari Januari ke Februari yang terbesar terjadi untuk tujuan India yakni sebesar 287 ribu ton dari 527 ribu ton menjadi 240 ribu ton (-54,45%), diikuti tujuan Pakistan sebesar 97 ribu ton dari 284 ribu ton menjadi 187 ribu ton (-34,15%) dan tujuan Afrika sebesar 91 ribu ton dari 639 ribu ton menjadi 548 ribu ton (-14,24%).

Kemudian tujuan China sebesar 49 ribu ton dari 375 ribu ton menjadi 326 ribu ton (-13,07%) dan Bangladesh sebesar 43 ribu ton dari 77 ribu ton menjadi 34 ribu ton (-55,84%) dab EU sebesar 27 ribu ton dari 368 ribu ton menjadi 341 ribu ton (-7,34%).

 

Tujuan Ekspor Lainnya

Ilustrasi CPO 2 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 2 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Adapun secara YoY hingga Februari 2024 terhadap 2023, ekspor tujuan Pakistan meningkat 54,93% dari 304 ribu ton menjadi 471 ribu ton, tujuan EU naik 2,20% dari 909 ribu ton menjadi 929 ribu ton sedangkan ekspor untuk tujuan China turun 47,37% dari 1.332 ribu ton menjadi 701 ribu ton.

Selanjutnya, untuk tujuan Bangladesh turun 42,78% dari 194 ribu ton menjadi 111 ribu ton, tujuan Afrika turun 19,24% dari 769 ribu ton menjadi 621 ribu ton dan tujuan India turun 17,45% dari 928 ribu ton menjadi 766 ribu ton. 

"Dengan stok awal Februari sebesar 3.032 ribu ton, produksi CPO dan PKO 4.252 ribu ton, konsumsi dalam negeri 1.864 ribu ton dan ekspor 2.166 ribu ton, maka stok akhir Februari 2024 diperkirakan sekitar 3.259 ribu ton atau meningkat sekitar 7,49% dibandingkan stok bulan Januari 2024," pungkasnya.

Gapki Minta Penerapan Regulasi EUDR Ditunda hingga 2026

Konferensi pers Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 tahun, di Jakarta, Selasa (27/2/2024). (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)
Konferensi pers Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 tahun, di Jakarta, Selasa (27/2/2024). (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)

Sebelumnya diberitakan, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Marton, mengaku saat ini pihaknya bersama Pemerintah meminta kepada Uni Eropa untuk menunda penerapan kebijakan Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation-free Regulation/EUDR) hingga 2026.

"Kita mendukung perjuangan pemerintah untuk (EUDR) minta diundur menjadi di tahun 2026. Kenapa demikian? karena petani-petani kita belum siap," kata Eddy Eddy Martono, dalam konferensi pers Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 tahun, di Jakarta, Selasa (27/2/2024). 

Uni Eropa akan menerapkan regulasi EUDR pada Januari 2025. Regulasi tersebut memberlakukan benchmarking atau pengelompokan negara eksportir berdasarkan tingkat risiko deforestasi, yakni ‘Tinggi Risiko’, ‘Risiko Menengah’ dan ‘Rendah Risiko’.

Berdasarkan standard UE, Indonesia dinilai sebagai negara dengan penghasil komoditas yang memiliki risiko deforestasi tinggi, salah satunya melalui ekspor minyak kelapa sawit.

Dia menilai, dengan penerapan regulasi tersebut akan mempersulit ekspor sawit ke Eropa. Untuk menyelesaikan permasalahan itu, Pemerintah Indonesia berencana akan mengundang Uni Eropa ke Indonesia dan Malaysia guna melihat dampak EUDR terhadap petani kelapa sawit.

 

Dukung Rencana Pemerintah

Konferensi pers Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 tahun, di Jakarta, Selasa (27/2/2024). (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)
Konferensi pers Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 tahun, di Jakarta, Selasa (27/2/2024). (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)

Sejalan dengan hal itu, Gapki juga mendukung rencana Pemerintah yang berusaha agar Indonesia tidak dikategorikan sebagai high risk country terkait EUDR.

"Yang paling pemerintah akan perjuangkan adalah jangan sampai kita dikategorikan sebagai high risk country. Ini yang kita perjuangkan untuk masuk ke kategori low risk country," ujarnya.

Dalam kesemptan yang sama, Staf Ahli Konektivitas, Pengembangan Jasa, dan Sumber Daya Alam Kemenko Perekonomian Musdalifah Mahmud, menyebut sawit bukan merupakan komoditas yang merusak hutan.

"Kita sampaikan kita bukan perusak hutan, bukan perusak alam. Hutan kita masih 120 juta hektare (ha). Di dalam hutan itu sendiri kelapa sawit hanya 16 juta ha," kata Musdalifah.

Justru, kelapa sawit merupakan komoditas yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun, sejak adanya regulasi EUDR, kinerja sawit nasional jadi terganggu. Hal yang sama juga dirasakan oleh negara penghasil sawit lainnya.

"Dulu ada regulasi EUDR, sekarang sudah ada. Hampir seluruh negara produsen menolak EUDR," pungkasnya.

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya