Liputan6.com, Jakarta Ekonom senior Chatib Basri mengingatkan bahwa konflik yang berkepanjangan di Eropa dan Timur Tengah dapat menimbulkan risiko defisit APBN hingga menembus Rp 300 triliun.
"Kasus terburuk (konflik berkepanjangan) adalah defisit bisa sampai Rp 300 triliun," kata Chatib Basri dalam Grab Business Forum 2024 di Grand Ballroom Kempinski, Selasa (14/5/2024).
Chatib, yang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan di era Susilo Bambang Yudhoyono, menyebutkan bahwa melonjaknya angka defisit APBN disebabkan oleh naiknya harga minyak dunia.
Advertisement
Jika harga minyak naik, maka akan semakin membebani subsidi BBM yang bertambah.
Prediksi Harga Minyak
Ia memproyeksi harga minyak dunia akan menembus USD 64 per barel, jika konflik di Eropa dan Timur Tengah tak kunjung menemukan titik terang.
"Skenario direct war, ini worst case, Israel-Iran, Timur Tengah, all arab country involved. Implikasinya harga minyak naik," bebernya.
"Asumsi di budget itu USD 90 per barel, rata-rata harga USD 82 per barel. Jika harga minyak dunia naik sampai USD 64 dolar per barel, maka ada tekanan terhadap APBN, beban subsidi akan naik," tambah Chatib Basri.
Harga Minyak Dunia Hari Ini Merosot, Bakal Makin Anjlok?
Harga minyak turun hampir USD 1 per barel pada hari Jumat (Sabtu waktu Jakarta) karena komentar dari pejabat bank sentral AS menunjukkan suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama, yang dapat menghambat permintaan dari konsumen minyak mentah terbesar di dunia.
Dikutip dari CNBC, Sabtu (11/5/2024), harga minyak mentah berjangka Brent turun 1,3% menjadi USD 82,79 per barel. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun 1,26% menjadi USD 78,26 per barel.
Kedua patokan harga minyak dunia tersebut menuju penurunan mingguan.
Harga minyak juga tertekan karena dolar AS menguat setelah Presiden Federal Reserve Dallas Lorie Logan mengatakan tidak jelas apakah kebijakan tersebut cukup ketat untuk menurunkan inflasi ke target 2% yang ditetapkan bank sentral AS.
Nilai tukar dolar AS yang kuat membuat komoditas dalam mata uang greenback lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain, dan suku bunga AS yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama juga dapat mengurangi permintaan.
Suku bunga yang lebih tinggi biasanya memperlambat aktivitas ekonomi dan melemahkan permintaan minyak.
Presiden Fed Atlanta Raphael Bostic juga mengatakan kepada Reuters bahwa menurutnya inflasi kemungkinan akan melambat berdasarkan kebijakan moneter saat ini, sehingga memungkinkan bank sentral untuk mulai menurunkan suku bunga kebijakannya pada tahun 2024, meskipun mungkin hanya seperempat poin persentase dan tidak akan sampai pada bulan-bulan terakhir di tahun ini.
“Kedua pembicara The Fed tampaknya mengabaikan prospek penurunan suku bunga,” kata Partner Again Capital LL, John Kilduff.
Advertisement