Liputan6.com, Jakarta Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan bahwa kepemilikan saham pemerintah di PT Freeport Indonesia akan bertambah 10 persen dalam beberapa bulan ke depan. Dari penambahan tersebut, total saham PT Freeport yang dimiliki pemerintah nantinya akan mencapai 61 persen.
Baca Juga
"Dalam pengambilalihan Freeport menuju sekarang 51 persen itu memerlukan 3,5 tahun dan kita bekerja diam-diam, enggak ada yang tahu. Tahu-tagu kita ambil alih. Sebentar lagi, InsyaAllah dalam bulan-bulan depan ini kita akan tambah lagi 10 persen jadi 61 persen," kata Jokowi saat menghadiri Inaugurasi Kepengurusan GP Ansor di Istora Senayan Jakarta.
Jokowi optimis, kepemilikan saham mayoritas di PT Freeport akan memberikan keuntungan besar bagi negara.
Advertisement
Presiden merinci, 80 persen keuntungan PT Freeport nantinya akan masuk ke kas negara, baik dalam bentuk royalti, Pph Badan, Pph Karyawan, bea ekspor, hingga bea keluar.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno menilai, kesempatan penambahan saham PT Freeport merupakan peluang yang bagus untuk dijajaki Pemerintah, selama dilakukan secara Business to Business dan dengan valuasi yang adil, serta keuangan perseroan (dalam hal ini MIND ID)
“Namun jika salah satu dari ketiga elemen di atas tidak terpenuhi, saya rasa rencana penambahan saham di atas perlu di evaluasi kembali,” ungkap Soeparno kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Sementara untuk perekonomian nasional, ia melihat, penambahan saham Freeport mungkin tidak terlalu berdampak.
”Karena rencana pembelian ini akan menggunakan sebagian kas perusahaan plus utang, sementara yang diterima pemerintah terbatas pada pembagian dividen yang lebih besar,” jelas Soeparno.
Meski demikian, dia yakin tentunya ada nilai tambah lain dari aspek pengelolaan Freeport. “Karena dengan penambahan saham ini, MIND ID dapat menempatkan direksinya leih banyak dan mungkin juga dapat mendapat (kendali) dari aspek keuangan, operasional, procurement dan SDM,” paparnya.
Untung Rugi Pemerintah Tambah Saham Freeport Indonesia hingga 61 Persen
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi, menilai meningkatnya kepemilikan saham pemerintah di PT Freeport Indonesia justru merugikan Indonesia ke depannya.
Diketahui, saham Pemerintah Indonesia di PT Freeport akan bertambah 10 persen pada beberapa bulan kedepan. Maka total saham yang akan dimiliki pemerintah di PT Freeport yakni sebesar 61 persen.
"Meskipun Indonesia akan tambahan saham sebesar 10 persen, tapi kan kompensasi kontaknya diperpanjang sampai 2061. Padahalkan baru berakhir tahun 2041, ini kan masih lama sekali. Jadi, seperti digadaikan untuk tambahan 10 persen," kata Fahmy kepada Liputan6.com, Selasa (28/5/2024).Fahmy mengakui bahwa dengan bertambahnya saham Pemerintah Indonesia di PT Freeport, maka dividennya juga akan bertambah. Namun hanya itu keuntungannya.
Menurutnya percuma jika saham Pemerintah Indonesia meningkat, namun pengelolanya masih dari asing seperti McMoRan. Sehingga, penambahan saham itu tidak ada gunanya bagi Indonesia.
"Keuntungannya itu memang sahamnya semakin besar, itu hanya akan membesar dividennya yang diterima Indonesia. Tapi kalau pengedalinya tetap Freeport, itu tidak ada gunanya sama sekali bagi Indonesia untuk menaikkan nilai tambah, yang menikmati nilai tambah tetap saja McMoRan," ujarnya.
Advertisement
Kerugian Pemerintah
Sementara, kerugiannya yaitu Pemerintah Indonesia akan kehilangan kesempatan untuk mengelola keseluruhan Freeport. Lantaran, Pemerintah akan memperpanjang kontrak izin tambang PT Freeport di Indonesia hingga 2061.
"Perpanjang sampai 2061 itu kan sangat tidakpasti, kenapa tidak berakhir 2041 dan dikelola sendiri kan jauh lebih baik daripada mendapatkan saham 10 persen tapi diperpanjang, menurut saya lebih banyak kerugiannya dibanding manfaat yang diperoleh dari sekedar tambahan dividen," ujarnya.
Padahal jika Pemerintah Indonesia menyetop izin tambang PT Freeport hingga 2041, maka peluang untuk meningkatkan nilai tambah dari pengelolaan tambang di Freeport akan sangat menjanjikan.
"Jadi, yang selama ini di ekspor itu konsentrat yang nilai tambahnya sangat rendah, tapi kalau diolah atau di smelterkan di Indonesia maka yang dihasilkan adalah tembaga, perak, emas, yang nilai tambahnya jauh lebih besar. Jadi, kita akan kehilangan opportunity, karena kehilangan kesempatan memperoleh nilai tambah yang jauh lebih besar," pungkasnya.