Liputan6.com, Jakarta Ekonom INDEF Ahmad Heri Firdaus meminta pemerintah mengkaji ulang wacana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) di 2025. Pasalnya, kebijakan cukai rokok naik bakal membuat penerimaan negara jadi berkurang.
Bukti ini sudah terjadi pada 2023 ketika pemerintah menaikan CHT rata-rata 10 persen. Kala itu penerimaan negara dari cukai rokok sebesar Rp 213,48 triliun, turun 2,35 persen dari penerimaan di 2022.
Baca Juga
Advertisement
"Secara total penerimaan cukai melandai. Jadi katakanlah kenaikan cukai di atas 10 persen, maka kenaikan penerimaannya melandai dari tahun sebelumnya," ujar Heri dalam sesi diskusi di Kota Kasablanka, Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Menurut dia, negara memang dihadapkan pada dilema dalam kebijakan cukai rokok ini. Pemerintah harus memilih mana yang harus dikedepankan, penerimaan negara atau kesehatan warganya.
"Kalau kita perhatikan, ada batas titik tertentu dimana cukai itu harus naik. Kalau dia naik terus-terusan, memang konsekuensinya (peredaran rokok) jadi lebih terkendali," ungkapnya.
"Tapi penerimaan secara total mengalami penurunan. Ini terjadi di tahun 2023 kemarin, dimana penurunan cukainya cukup tajam," kata Heri.
Kenaikan Cukai Rokok
Berdasarkan hasil kajiannya, ia memandang pemerintah semustinya bisa menahan dulu wacana kenaikan cukai rokok di tahun depan. Sebab, lonjakan pita cukai juga turut berdampak terhadap sebaran rokok ilegal yang kian menjamur.
"Tahun depan bagaimana nih tarif cukai? Dari studi terdahulu kami, kalau kenaikan cukai cukup tinggi, excessive, maka secara makro akan melandaikan penerimaan cukainya," ucap Heri.
"Kemudian di sisi industrinya ada peluang-peluang bisnis ilegal yang menjamur, karena permintananya ada. Berbicara rokok terhadap anak, rokok ilegalnya dulu diselesaikan agar pengawasannya lebih mudah, karena penjualan rokok ilegal tidak bisa diawasi. Tapi kalau jual rokok di ritel itu kan pengawasannya relatif lebih mudah. Sehingga pengaturan akses rokok terhadap anak bisa lebih dipantau," bebernya.
Rokok Ilegal Menjamur, Pendapatan Negara dan Produksi Tembakau Menipis
Sebelumnya, Pengusaha rokok buka-bukaan soal kondisi industri hasil tembakau saat ini yang terdesak oleh rokok ilegal yang semakin menjamur. Situasi ini turut berdampak terhadap pemasukan uang negara dan produksi rokok legal.
Adapun penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok pada 2023 sebesar Rp 213,48 triliun. Realisasi itu hanya mencapai 91,78 persen dari target APBN 2023 atau 97,61 persen dari target Perpres Nomor 75 Tahun 2023, dan turun 2,35 persen dari penerimaan di 2022.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachyudi melihat fenomena ini berbeda dari tren-tren tahun sebelumnya, di mana penerimaan negara dari cukai rokok selalu berada di angka 100 persen dari target, atau lebih.
"Ini kelihatannya sudah mulai jenuh. Ini kelihatan bahwa mungkin cukai ini akan menjadi pengendali dari industri hasil tembakau," ujar Benny dalam diskusi di Kota Kasablanka, Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Adapun penurunan penerimaan negara ini disebabkan oleh penurunan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) atau rokok putih, membuat pemesanan pita cukai lebih rendah.
Itu dibenarkan Benny, di mana secara nasional industri hasil tembakau turun dari 350 miliar batang sebelum masa Covid-19, menjadi di bawah 300 miliar batang seusai pandemi.
"Untuk rokok putih dimana Gaprindo menaunginya, dari sebelumnya 15 miliar batang per tahun, sekarang sudah di bawah 10 miliar. Artinya turun 10 persen per tahun," imbuh Benny.
Produksi rokok dan penerimaan negara yang turun ini nyatanya tidak diikuti oleh jumlah perokok yang ikut berkurang. Lantaran, Benny melihat jumlah rokok ilegal kini semakin menjamur di tengah berbagai pembatasan yang dilakukan pemerintah lewat bermacam kebijakannya.
"Kita dibatasi produksinya, tapi di lain pihak rokok ilegalnya meningkat. Kalau rokok ilegal menurut informasi dari kawan-kawan Kementerian Keuangan, itu hampir 7 persen. Kalau itu ditambahkan kepada produksi yang ada, pasti akan tidak turun," tuturnya.
Advertisement
Petani Tembakau Cemas, Kebijakan Cukai Rokok Makin Tak Menguntungkan
Pemerintah telah menyampaikan pengantar Kerangka Ekonomi Makro Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2025 pada rapat paripurna DPR RI, 20 Mei 2024 lalu. Dalam dokumen tersebut, pemerintah merumuskan arah kebijakan cukai antara lain tarif bersifat multiyears, kenaikan tarif moderat, penyederhanaan tarif cuka dan mendekatkan disparitas tarif antar layer.
Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji berpendapat, pemerintah dalam merumuskan arah kebijakan cukai tersebut semakin serampangan dan tidak memperhatikan aspek kelangsungan hidup petani tembakau.
"Poin-poin dalam arah kebijakan cukai itu semakin mendekatkan kiamat bagi petani tembakau. Sehingga niat pemerintah yang ingin membunuh nafas petani tembakau sebagai soko guru di negeri ini semakin nyata," tegas Agus Parmuji, Selasa (28/5/2024).
Agus Parmuji mengungkapkan, kenaikan cukai sebesar 10% yang berlaku tahun 2023 dan 2024 merupakan pukulan telak bagi petani tembakau. Lantaran, sudah 5 tahun berturut-turut keadaan petani tembakau tidak baik-baik saja, bahkan terpuruk mengingat hasil panen tembakau rontok baik harga dan terlambatnya penyerapan.
Menurut Agus Parmuji, dalam 5 tahun terakhir, kenaikan cukai cukup eksesif. Tahun 2020 cukai naik 23%, tahun 2021 naik 12,5%, tahun 2022 naik 12%, tahun 2023 dan 2024 naik 10%.
"Kenaikan cukai yang eksesif dalam 5 tahun terakhir itu semakin mendekatkan petani tembakau dalam jurang kematian," terangnya.
Bagi petani tembakau, salah satu kerontokan ekonomi petani tembakau selama 5 tahun ini merupakan dampak dari kenaikan cukai yang sangat tinggi. Tingginya tarif cukai hasil tembakau (CHT) akan membuat perusahaan mengurangi produksi yang secara tidak langsung, mengurangi pembelian bahan baku. Padahal, 95% tembakau yang dihasilkan petani, untuk bahan baku rokok.
“Pembelian tembakau industri di petani dari tahun 2020 turun terus. Karena cukai naik terus dan pasar rokok legal digerus rokok ilegal. Penurunan pembeliannya tiap tahun kisaran 20-30%," kata Agus Parmuji.
Kenaikan Harga
Agus Parmuji menambahkan, dengan kenaikan harga, simplifikasi cukai, dan mendekatkan disparitas tarif antar layer, maka harga rokok makin mahal sehingga perokok berpotensi beralih ke rokok yang lebih murah, dan harga termurah hanya bisa ditawarkan oleh rokok ilegal.
"Penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai dan mendekatkan disparitas tarif antar layer juga menjadi ancaman harga rokok legal semakin tidak terbeli, dan perokok beralih ke rokok ilegal," terangnya.
Agus Parmuji menegaskan, dengan simplifikasi, tentu yang diuntungkan adalah perusahaan rokok dengan brand internasional, dimana produk-produknya sangat sedikit menggunakan tembakau lokal hasil panen petani. Bila itu diterapkan, bisa menjadi kiamat ekonomi bagi petani tembakau.
"Kami menolak arah kebijakan simplifikasi cukai dan mendekatkan disparitas tarif antar layer akan merugikan perusahaan-perusahaan rokok yang menjual produk-produk kretek. Struktur tarif cukai yang berlaku saat ini harus tetap dipertahankan," katanya.
Petani tembakau pun, kata Agus, sangat berdampak atas kondisi ini. Dibanding dengan industri rokok legal, penghasil rokok ilegal jika membeli tembakau tidak memiliki skema yang jelas. Mulai dari standar harga, waktu, hingga kuantitas yang akhirnya hanya merugikan petani bahkan tidak jelas model penyerapan bahan bakunya.
Ketika rokok ilegal marak di pasaran, mereka akan menggerus produk rokok yang resmi, sehingga produksi rokok yang resmi omset-nya akan turun, otomatis produsen juga akan mengurangi pembelian bahan baku dalam hal ini tembakau.
"Sederhananya, ketika produk rokok resmi semakin mahal pasti penjualanya tergerus rokok ilegal, dampak negatifnya pembelian bahan baku juga akan menurun, di sinilah rugi-nya petani,” katanya.
Advertisement