Aturan Masih Berantakan, Peningkatan Daya Saing Bukan Modal Kuat Tarik Investasi

Meskipun ada kenaikan 7 peringkat daya saing Indonesia dari 49 ke 42, ia menilai beberapa indikator seperti aturan perdagangan, persaingan, dan ketenagakerjaan masih perlu diperbaiki.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 20 Jun 2024, 10:00 WIB
Diterbitkan 20 Jun 2024, 10:00 WIB
BPS Catat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Capai 5,31 Persen
Ratusan kendaraan terjebak kemacetan di kawasan Sudirman, Jakarta, Jumat (10/2/2023). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV tahun 2022 mencapai 5,31 persen secara tahunan (yoy), angka tersebut sesuai dengan target APBN 2022 yang dipatok pemerintah sebesar 5,1-5,3 persen (yoy). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia sukses mencatat kenaikan peringkat daya saing, dari posisi 34 dunia menjadi 27. Alhasil, daya saing Indonesia kini berada di posisi 3 besar ASEAN di bawah Singapura dan Thailand. 

Namun begitu, sejumlah pengusaha menilai capaian itu belum serta-merta jadi modal bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi. Khususnya menyoal faktor efisiensi pemerintah terkait perundangan bisnis, dimana Indonesia masih bercokol di peringkat 42. 

Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Anggawira memaparkan beberapa PR yang harus dilakukan untuk mendongkrak indikator perundangan bisnis.  

Meskipun ada kenaikan 7 peringkat daya saing dari 49 ke 42, ia menilai beberapa indikator seperti aturan perdagangan, persaingan, dan ketenagakerjaan masih perlu diperbaiki. Pertama, terkait reformasi regulasi bisnis. 

"Memperbaiki dan menyederhanakan regulasi yang mengatur perdagangan, persaingan, dan ketenagakerjaan untuk menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Hal ini termasuk mengurangi birokrasi dan mempercepat proses perizinan," jelasnya kepada Liputan6.com, Rabu (19/6/2024).

Anggawira juga menekankan peningkatan kualitas institusi untuk memperkuat institusi hukum dan pengawasan. Sehingga memastikan bahwa regulasi dilaksanakan dengan adil dan transparan, serta memberikan perlindungan yang memadai bagi pelaku usaha dan pekerja.

Pemerintah pun diminta melakukan peningkatan kompetensi kompetensi tenaga kerja, dengan mengembangkan program pelatihan dan pendidikan untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja. "Sehingga mereka dapat bersaing di pasar kerja yang semakin global," imbuhnya.

Terakhir, ia memohon pemerintah konsisten dalam menerapkan suatu kebijakan. "Memastikan kebijakan pemerintah konsisten dan dapat diandalkan, sehingga pelaku usaha memiliki kepastian dalam perencanaan dan investasi jangka panjang," pintanya.

 

Hal Fundamental

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Sri Mulyani menjelaskan perekonomian Indonesia mampu tumbuh di atas 5% sejalan dengan sektor manufaktur yang semakin ekspansif. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Senada, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Bob Azam berpikir bahwa Indonesia masih bergulat dengan hal-hal fundamental dalam membangun daya saing, terutama untuk menarik investasi berorientasi ekspor. 

"Harga energi yang tidak kompetitif, regulasi yang tidak konsisten, serta labor issue dan produktifitas tenaga kerja yang rendah membuat cost of doing business di Indonesia mahal dan tidak menarik bagi investor," ungkap dia kepada Liputan6.com. 

"Selain itu juga tidak ada nya FTA (Free Trade Agreement) dengan negara-negara tujuan ekspor yang daya belinya kuat seperti Amerika Serikat dan Eropa juga jadi kendala kita saat ini," tegas Bob Azam. 

Bob lantas berkesimpulan bahwa peningkatan daya saing ini tidak akan berarti banyak jika tak diiringi dengan regulasi yang rapi dari pemerintah. 

"Betul, salah satunya regulasi harus konsisten dan bisa dibawakan ke investor atau kirim signal yang jelas. Investasi hanya terjadi pada pasar yang bertumbuh, jadi daya beli juga harus jadi perhatian," tuturnya. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya