Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama Holding BUMN Farmasi, PT Bio Farma (Persero) Shadiq Akasya mengungkap kondisi keuangan PT Indofarma. Pada 2023, Indofarma diketahui mengalami kerugian hingga Rp 605 miliar.
Shadiq mengakui kinerja anak usaha Bio Farma itu terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Terbaru, ada laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyoroti kerugian negara atas dugaan fraud di Indofarma sebesar Rp 371 miliar.
"Kami jelaskan bahwa kinerja Indofarma menunjukkan tren yang menurun dari 2021 hingga tahun 2023, baik secara pendapatan maupun profitabilitas," ujar Shadiq dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, di Jakarta, Rabu (19/6/2024).
Advertisement
Dia menuturkan, pendapatan Indofarma pada 2023 tercatat sebesar Rp 524 miliar atau turun 54,2 persen dari tahun sebelumnya. Pendapatan ini ditopang oleh penjualan produk senilai Rp 501 miliar.
Pendapatan Indofarma pada 2022 tercatat sebesar Rp 1,14 triliun. Lalu, ditetapkan sebesar Rp 1,86 triliun dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2023. Namun, Indofarma hanya mencatatkan Rp 524 miliar pada tahun tersebut, jauh di bawah target.
"Ebitda tahun 2023 negatif Rp 293 miliar, mengalami perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya, di Rp 361 miliar minus. Hal ini disebabkan peurunan beban pemasaran dan distribusi seiring penurunan penjualan dan efisiensi atas bebragai biaya operasional kantor," tuturnya.
Serta, laba rugi perusahaan terus anjlok dari 2022 ke 2023. Pada 2022, Indofarma rugi Rp 428 miliar dan turun ke Rp 605 miliar pada 2023.
"Net income menurun dari tahun 2022 sebesar Rp 428 miliar negatif menjadi Rp 600 miliar di tahun 2023. Karena adanya penyisihan piutang sebesar Rp 46 miliar dan adanya biaya-biaya yang terkait dengan pajak kurang lebih sekitar Rp 120 miliar," urai Shadiq.
Â
Kondisi Keuangan Indofarma
Shadiq membeberkan, posisi keuangan Indofarma pada 2022 cenderung belum membaik. Alhasil, nilai aset menjadi negatif Rp 615 miliar. Serta, total aset 2023 menjadi Rp 933 miliar.
Posisi ekuitas perusahaan pada 2023 tercatat negatif Rp 615 miliar. Jauh di bawah RKAP 2023 sebesar Rp 189 miliar dan posisi pada 2022 sebesar Rp 86 miliar.
"Bapak ibu, perlu kami tegaskan indofarma saat ini masih dalam proses PKPU dan legal aspect masih berjalan, nanti bisa kami jelaskan di belakang," pungkasnya.
Â
Advertisement
Imbas Transaksi Fiktif Indofarma, OJK Bakal Tindaklanjuti Pelanggaran Pasar Modal
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) buka suara soal penemuan BPK soal indikasi fraud (kerugian) sebesar Rp 294,77 miliar dan berpotensi kerugian Rp 164,83 miliar pada PT Indofarma Tbk (INAF) dan anak perusahaan Perseroan yakni PT IGM. Temuan tersebut dilaporkan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2023.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon (PMDK)Â OJKÂ Inarno Djajadi mengatakan, pihaknya telah mengirimkan surat kepada PT Indofarma Tbk, untuk meminta klarifikasi kepada Perseroan terkait pemberitaan di media massa atas pinjaman online alias pinjol dan temuan BPK.
"OJK akan menindaklanjuti jika terdapat pelanggaran ketentuan pasar modal," kata Inarno dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa (18/6/2024).
Diketahui sebelumnya, BPK menemukan Indofarma dan anak usahanya menjalankan sejumlah aktivitas yang tidak sesuai dengan seharusnya.
Aktivitas yang merugikan dan potensi kerugian tersebut adalah transaksi jual beli fiktif, penempatan dan pegadaian deposito, pinjaman online (pinjol), penggunaan dana restitusi pajak untuk kepentingan di luar perusahaan, pengeluaran dana tanpa underlying transaction dan permasalahan lainnya dengan jumlah yang melebihi ketentuan.
Laporan BPK
Berdasarkan laporan BPK, Laporan BPK, kedua perusahaan itu melakukan aktivitas berindikasi fraud dengan transaksi jual beli fiktif pada business unit fast moving consumer goods (FMCG).
Selain itu, menempatkan dana deposito atas nama pribadi pada Koperasi Simpan Pinjam Nusantara, menggadaikan deposito pada Bank Oke untuk kepentingan pihak lain.
Tak hanya itu saja, BPK juga menemukan, perseroan melakukan kerja sama pengadaan alat kesehatan tanpa studi kelayakan dan penjualan tanpa analisa kemampuan keuangan customer.
Hal ini antara lain pengadaan serta penjualan teleCTG, masker, PCR, rapid test (panbio), dan isolation transportation yang mengakibatkan indikasi kerugian sebesar Rp 16,35 miliar serta potensi kerugian sebesar Rp 146,57 miliar yang terdiri dari piutang macet sebesar Rp 122,93 miliar dan persediaan yang tidak dapat terjual sebesar Rp 23,64 miliar.
Bahkan perusahaan tersebut melakukan pinjaman online (fintech) serta menampung dana restitusi pajak pada rekening bank yang tidak dilaporkan di laporan keuangan dan digunakan untuk kepentingan di luar perusahaan.
Â
Advertisement