Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyoroti terkait wacana Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto yang akan menaikkan rasio utang mencapai 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Hal ini ditegaskan oleh Hashim Djojohadikusumo yang menekankan bahwa peningkatan rasio utang ini akan dibarengi dengan peningkatan penerimaan negara.
Tim Analis Kebijakan Ekonomi APINDO Ajib Hamdani, melihat data utang negara, sementara posisi April 2024 sudah mencapai Rp8.338,44 triliun atau setara 38,64% dari PDB.
Advertisement
Posisi tersebut hampir menyentuh batas rasio utang, yang sesuai dengan Undang-undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maksimal rasio utang Indonesia adalah 40% dari PDB.
Di sisi lain, dalam Rapat Paripurna DPR RI tentang penyampaian pandangan atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) tahun 2025, pada Bulan Mei 2024, Fraksi PDI Perjuangan melalui Edy Wuryanto memberikan catatan bahwa idealnya pengelolaan APBN harusnya diarahkan untuk defisit fiskal 0%. Artinya, APBN dibiayai semuanya tanpa menambah utang baru.
"Perlu dikaji lebih lanjut, mana yang paling realistis, apakah menambah rasio utang sampai dengan 50% PDB atau mendesain kebijakan defisit fiskal 0%," kata Ajib dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (12/7/2024).
APINDO mengakui pengelolaan APBN 2025 memang akan menghadapi tantangan fiskal yang cukup rumit. Paling tidak ada tiga hal mendesak yang membuat ruang fiskal pemerintah sangat sempit.
Pertama, jatuh tempo utang tahun 2025 yang mencapai Rp800,33 triliun, sebagai dampak scarring effect pandemi covid 19. APBN tahun 2026 dan 2027 juga akan menghadapi kondisi utang jatuh tempo yang sama. Dan, negara tidak bisa failed dalam membayar utang.
Â
Â
Â
Tantangan Fiskal
Kedua, adalah beban komitmen program berkelanjutan tentang Ibu Kota Nusantara (IKN), yang akan menyedot keuangan negara. Dengan alokasi pembangunan yang sementara bertumpu dengan kekuatan APBN, pemerintah harus tetap mengalokasikan dana khusus agar ritme pembangunan tetap bisa berjalan dengan baik.
Ketiga adalah program populis pemerintah Prabowo Subianto tentang makan bergizi gratis. Dengan alokasi awal ideal di angka mencapai Rp400 triliun, realitas APBN sementara hanya bisa dialokasikan sebesar sebesar Rp 71 triliun. Untuk tahun-tahun selanjutnya, tentunya program ini memerlukan alokasi dana yang semakin besar.
Dengan struktur beban yang ada, APBN 2025 bahkan sudah dirancang mengalami defisit di kisaran 2,29% sampai dengan 2,82% dari PDB.
Selanjutnya perlu dikaji lebih mendalam, apakah fiskal Indonesia mampu menutup seluruh anggaran berjalan yang dibutuhkan? Paling tidak ada 3 (tiga) hal yang bisa dioptimalkan dalam pengelolaan fiskal ini. Pertama adalah peningkatan peningkatan penerimaan perpajakan.
Peningkatan penerimaan ini dengan cara pemerintah perlu mengidentifikasi grey economy dan melakukan pemajakan yang tepat sasaran.
"Jangan hanya seperti memungut pajak di kebun binatang. Karena hal ini akan kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal selanjutnya dalam peningkatan perpajakan ini adalah dengan mengurangi tax expenditure secara bertahap. Tahun 2024 ini proyeksi tax expenditure mencapai Rp374,5 triliun," ujarnya.
Pengelolaan alokasi ini perlu diefisienkan agar bisa menambah kemampuan fiskal secara keseluruhan.
Â
Advertisement
Pengelolaan Alokasi
Kedua, adalah peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan sumber daya yang berlimpah, penerimaan sektor ini bisa lebih ditingkatkan dari target konservatif tahun 2024 yang sebesar Rp492 triliun.
Ketiga, adalah peningkatan penerimaan deviden dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Negara sebagai pemegang saham BUMN harus mempunyai alat ukur atau benchmarking yang ideal terhadap penerimaan deviden.
Ukuran kuantitatif yang bisa dipakai adalah berapa return on equity (ROE) dari masing-masing BUMN. Dengan deviden di kisaran Rp80 triliun, tapi kemudian ditarik lagi dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar lebih dari Rp40 triliun adalah kondisi manajemen yang kurang mencerminkan manajemen yang highest and best use.
Langkah-langkah ini sangat mungkin dilakukan ketika pemerintah menerapkan good corporate governance (GCG) dan political willingness yang konsisten. Harapan selanjutnya, langkah-langkah tersebut bisa menambal defisit fiskal sampai dengan Rp500 triliun setiap tahun.
"Jadi, narasi defisit fiskal 0% sangat mungkin dilakukan. Ini menjadi langkah produktif menuju kemandirian ekonomi, dibandingkan narasi tentang peningkatan rasio utang 50% dari PDB," pungkasnya.
Prabowo Mau Naikan Rasio Utang Indonesia hingga 50% dari PDB? Ini Faktanya
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan jika rasio utang pemerintahan Prabowo-Gibran tetap berada di bawa 40 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Airlangga menekankan, bahwa defisit APBN 2025 juga tetap di bawah 3 persen.
Hal ini merespons pernyataan adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo yang menyebutkan bahwa ada rencana untuk meningkatkan rasio utang Indonesia hingga 50 persen dari PDB oleh pemerintahan Prabowo-Gibran. Dia menyebut, hingga saat ini tidak ada pembicaraan khusus terkait rencana untuk meningkatkan rasio utang oleh pemerintahan baru mendatang.
"Sekarang kita tidak bicarakan itu. jadi kita tetap konsentrasi di bawah 40 persen dan current account defisitnya 3 persen," kata Airlangga kepada awak media di Hotel The St Regis, Jakarta, Kamis (11/07/2024).
Terkait pernyataan adik presiden terpilih Prabowo tersebut, Airlangga mengatakan hanya sebatas wacana. Dia memastikan, belum ada penyesuaian rasio utang dan defisit APBN oleh pemerintahan Prabowo-Gibran.
"ya itu kan wacana aja yang dibahas," tandasnya.
Peningkatan Utang NegaraSebelumnya, Presiden baru Indonesia, Prabowo Subianto, akan mengizinkan peningkatan utang negara hingga 50 persen PDB untuk mendanai program belanja ambisiusnya.
Kabar ini disampaikan Hashim Djojohadikusumo, saudara laki-laki Prabowo yang juga seorang taipan terkemuka. Dia mengatakan kepada Financial Times bahwa Indonesia masih dapat mempertahankan peringkat peringkat investasi jika rasio utang terhadap PDB naik menjadi 50 persen, dari 39 persen saat ini.
"Idenya adalah untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan tingkat utang," kata Hashim kepada Financial Times di London dilansir Kamis (11/07/2024).
Dia menyebut, rencana untuk meningkatkan rasio utang 50 persen tersebut sudah dikonsultasikan bersama Bank Dunia. Kemudian berdasarkan hukum Indonesia, rasio utang terhadap PDB Indonesia tidak boleh melebihi 60 persen. "Saya sudah berbicara dengan Bank Dunia dan menurut mereka 50 persen adalah tindakan yang bijaksana," tegasnya.
Â
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Â
Advertisement